Ironis, Bersuka Cita di Tengah Penderitaan Rakyat Gempa Cianjur

Oleh: Anindita Ekaning Saputri

Alumnus UHAMKA

 

Dilansir dari www.cnnindonesia.com, kontestasi pemilihan presiden 2024 masih dua tahun lagi, namun upaya politik dari para paslon untuk membranding diri mereka sudah mulai banyak dilakukan. Salah satunya dalam acara Nusantara Bersatu yang digelar oleh Relawan Jokowi di GBK (Gelora Bung Karno) menyisakan 31 ton sampah berserakan pada Sabtu, 26 November 2022 lalu. Dalam acara tersebut, Presiden Jokowi menyampaikan sejumlah pencapaiannya selama memerintah, terkhusus di bidang infrastruktur. Juga sempat dijabarkan sejumlah catatan yang dianggap penting untuk dicermati oleh relawan terkait sosok dan kriteria calon presiden 2024.

Namun, yang menjadi viral dan menjadi sorotan publik adalah penampakkan lautan sampah di GBK setelah acara berlangsung. Dikatakan dalam www.cnnindonesia.com, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengerahkan 500 personel pasukan oranye untuk membersihkan dan mengangkut semua sampah hingga berhasil mengumpulkan sebanyak 31 ton sampah usai acara tersebut. Acara ini juga menjadi gambaran dari empati yang terkikis. Jelas kita ketahui belum lama, negeri ini diguncang bencana yakni gempa bumi yang melanda Cianjur beberapa waktu lalu.

Korban yang terkena gempa bumi pun banyak sekali. Mereka sangat membutuhkan pertolongan dan bantuan. Dilansir dari www.bbc.com, korban meninggal dunia akibat gempa Cianjur bertambah menjadi 318 dan korban hilang bertambah menjadi 14 jiwa. Namun sangat disayangkan, di tengah duka lara bencana gempa Cianjur, penguasa justru mengadakan pertemuan besar demi kepentingan politiknya, padahal pertemuan besar itu pastinya menghabiskan biaya yang juga besar. Apalagi di tengah suasana menjelang pemilu 2024, pertemuan dengan relawan pasti ‘rawan’ ditunggangi kepentingan pribadi dalam hal jabatan maupun kekuasaan.

Bahkan dugaan adanya’penipuan kegiatan’ makin menguatkan. Hal tersebut sudah menjadi tabiat penguasa dalam sistem kapitalisme yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibanding urusan rakyatnya. Tabiat ini hadir karena paham kapitalisme membuat penguasa hanya melihat manfaat sebagai orientasi kebijakannya. Para penguasa akan melihat mana peluang pesar yang mampu untuk menaikkan eskalasi kepemimpinannya.

Berbagai acara mulai dilakukan, mulai dari pencitraan; mengunjungi korban bencana demi formalitas, atau mengumpulkan masa dengan klaim bahwa itu relawan. Bagi penguasa kapitalisme, hal itu lebih penting di banding mengurus korban bencana secara mutlak, karena politik demokrasi yang menjaga eksistensi kapitalisme mengharuskan seorang penguasa yang legal adalah mereka yang memiliki suara mayoritas. Karena itu, publik bisa menyaksikan masih ada bahkan banyak penguasa yang melakukan pencitraan di tengah bencana.

Sangat berbeda sekali dengan sistem Islam. Dalam Islam, penguasa dan rakyat harusnya saling menguatkan. Ibnu Qutaibah (w. 276 H) mengutip perkataan Kaab al-Akhbar rahimahumallah: “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya, tenda besarnya adalah Islam, tiangnya adalah kekuasaan, tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat, satu bagian tidak akan baik tanpa bagian lainnya.

Hubungan seperti ini bisa terjalin sebagai bentuk ketaatan pada sabda Rasulullah SAW: “Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum Muslim, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasehati mereka, kecuali dia tidak akan masuk surga bersama mereka” (Shahih Muslim).

Ahmad bin Muihammad bin Abi Bakr bin Abdul Malik Al-Qasthalani dalam Irsyad As-Sari Li Syarh Shahih al-Bukhari menjelaskan makna ar-ra’i adalah al-hafidz al-mu’taman yakni penjaga, pemelihara, wali, pelindung, pengawal, pengurus, pengasuh yang diberi amanah. Penguasa/pemimpin wajib mewujudkan kemashlahatan siapa saja yang berada di bawah kepemimpinannya. Dalil-dalil sultaniyah (kekuasaan) inilah ynag menjadi rujukan ataupun cara pandang penguasa dalma sistem Islam untuk mengurusi rakyatnya.

Maka ketika dahulu sistem Islam tegak dan mampu menguasai 2/3 dunia justru banyak sekali penguasa yang begitu luar biasa dan cerdas yang sangat memperhatikan kepentingan rakyatnya dibanding dirinya. Salah satunya adalah pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, pada masa kekuasaannya, pernah terjadi bencana paceklik pada akhir tahun ke-18 H, tepatnya bulan Dzulhijjah dan berlangsung selama 9 bulan, pada waktu itu kekeringan sudah melanda seluruh bumi Hijaz dan rakyat mulai resah juga kelaparan, banyak dari mereka pergi ke Madinah untuk menemui Khalifah Umar bin Khattab. Namun sikap Khalifah Umar sangat sigap dan tanggap, beliau mendirikan tungku-tungku dan posko-posko bantuan makanan yang dananya diambil dari baitul mal, pada waktu itu bantuan tersebut bisa mencukupi 6000 penduduk.

Pada masa itu, khalifah umar hanya makan roti dan minyak hingga kulitnya berubah menjadi hitam Khalifah Umar rela ikut menabung rasa lapar bahkan menolak daging dan hati yang disuguhkan kepada beliau dan meminta makanan itu untuk diberikan kepada rakyatnya. Inilah penguasa dalam sistem Islam, mengurus rakyat dengan sepenuh hati bukan untuk kepentingan eksistensi kekuasannya melainkan demi menjalankan kewajiban yang Allah ta’ala berikan.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post