Gelaran Pernikahan Megah di Balik Derita Rakyat


Oleh Nining Sarimanah
Aktivis Muslimah

Pernikahan anak bungsu nomor satu di Indonesia menuai perhatian publik baik di tingkat pejabat hingga rakyat jelata. Megah nan mewah menyelimuti nuansa pernikahannya selama dua hari, sejak 10-11 Desember 2022. Namun, gelaran acara tersebut tersaji saat rakyat sedang dirundung duka, sungguh nirempati yang  mereka tampakkan!

Sejumlah menteri di kabinet presiden Joko Widodo di antaranya Luhut Binsar Pandjaitan (Menteri Koordinator Maritim dan Investasi), Pratikno (Menteri Sekretaris Negara), Erick Thohir (Menteri BUMN), Budi Karya Sumadi (Menteri Perhubungan), dan Bahlil Lahadiala (Menteri Investasi) turut sibuk mengurusi pernikahan Kaesang dan Erina. Menurut Mardani Ali, Ketua DPP PKS, tak masalah membantu 'bos'. Namun, jangan sampai para menteri terfokus pada acara tersebut dan ini akan menjadi pertanyaan publik. (Tribunews.com, 06/12/2022)

Pernikahan Kaesang memang tak dianggap biasa. Pasalnya, selain sejumlah menteri turut andil dalam kepanitiaan untuk menyukseskan acara sakral terssebut, gabungan TNI-POLRI yang berjumlah sekitar 11.800 pun turut diterjunkan. Tak ayal, untuk memantau kelancaran resepsi pernikahan Kaesang dan Erina, dipasang ratusan kamera CCTV di sejumlah titik. Selama dua hari tampak tugas kenegaraan teralihkan dan larut pada pesta pernikahan anak penguasa negeri ini yang super meriah tersebut.

Realitas Rakyat

Permasalahan bangsa seakan terlupakan sejenak. Padahal, sekitar 2.000 lebih warga mengungsi akibat erupsi Gunung Semeru dan ada 5.389 pengungsi Cianjur yang masih menanti bantuan dari pemerintah akibat gempa beberapa waktu lalu. Tak hanya itu, kondisi ekonomi rakyat pun belum pulih benar, apalagi ada ancaman PHK yang masih membayanginya dan siap mengancam sumber penghasilan mereka. Sungguh, persoalan bangsa ini masih banyak sehingga diperlukan perhatian serius untuk segera diselesaikan dengan kebijakan penguasa.

Tampaknya penguasa negeri ini harus belajar berempati. Pantaskah menebar pesta megah di atas duka rakyatnya? Layakkah menyiarkan gelaran hajatan mewah saat rakyat bersusah payah mengais rezeki demi menyambung hidup di tengah krisis ekonomi?

Fenomena para pejabat bermegah-megah dengan memanfaatkan fasilitas negara bukan hal baru yang kita saksikan di sistem kapitalisme. Berbagai fasilitas berupa jaminan kehidupan yang serba berkecukupan dan berlebih menjadi magnet tersendiri di antara mereka untuk berlomba dalam ajang pesta demokrasi, pemilu. Baik menjadi calon presiden, anggota legislatif, kepala daerah bahkan menjadi pendukung kekuasaan. Semuanya tentu dilakukan demi meraih jabatan dan kekuasaan. Miris, setelah mereka berada di tampuk kekuasan, mereka lupa diri akan janji manisnya untuk peduli terhadap rakyat. Justru, kebijakan banyak berpihak pada kepentingan segelintir orang (para kapital).

Penguasa yang peduli terhadap kondisi rakyatnya nyatanya menjadi barang langka kita temukan di sistem kapitalisme. Gaya hidup mewah dengan barang bermerek kerap melekat dalam tampilan mereka, nyaris bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Namun, kehidupan bersahaja mudah kita temukan pada masa peradaban Islam, baik dari sisi pakaian, gaya hidup, dan sosoknya yang amanah.  

Sistem Islam Melahirkan Pemimpin Ideal

Khalifah Umar bin Abdul Aziz salah satu sosok pemimpin yang sederhana dan amanah. Ia menorehkan banyak prestasi sebagai kepala negara. Kehidupannya jauh dari kata mewah meskipun ia diamanahi sebagai penguasa umat Islam dengan masa kekuasaannya singkat. Saking amanahnya, ia  mematikan lampu penerang saat putranya menemuinya untuk membicarakan masalah keluarga. Alasannya,  minyak yang digunakan dibeli dari uang negara sehingga tidak patut dimanfaatkan selain untuk urusan umat. Maka, Umar pun menyuruh pembantunya untuk mengambil lampu miliknya yang berada di luar untuk digunakan ketika putranya berbicara urusan keluarga dengan ayahnya.

Selain Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kesederhanaan dalam hidup pun kita temukan pada Khalifah Umar bin Khattab. Konon, baju yang biasa dikenakannya memiliki empat belas tambalan, padahal beliau saat itu menjabat sebagai kepala negara yang memungkinkan baginya untuk memakai baju dengan harga mahal. Namun, rasa takutnya pada Allah jauh lebih besar dibandingkan untuk memenuhi keinginannya. Ini tampak saat putranya, Abdullah bin Umar menangis karena temannya mengejek bajunya yang banyak tambalannya. Ia pun meminta ayahnya untuk membelikan baju baru.

Khalifah Umar segera ke Baitulmal untuk meminjam dana yang akan digunakannya untuk membeli baju baru anaknya. Karena pejabat negara tidak ada, ia pun menuliskan surat tersebut. Pejabat tersebut membalas dan berkata "Wahai Amirul mukminin, adakah akhir bulan nanti ada jaminan Anda masih hidup untuk melunasinya?" Seketika, pertanyaan tersebut menjadikan khalifah menangis dan mengurungkan niatnya.

Kesimpulan

Inilah sosok pemimpin ideal sepanjang sejarah peradaban Islam dalam memberikan contoh kepemimpinan yang amanah dan kesederhanaan hidup ketika menjadi kepala negara. Pemimpin yang bertakwa akan berpikir ulang untuk menggunakan fasilitas negara demi kepentingan pribadinya jika masih ada rakyatnya yang kesusahan dan kelaparan. Hanya saja, pemimpin yang ideal mustahil lahir di sistem sekuler kapitalisme. Ia akan ada jika sistemnya ideal yaitu sistem Islam. 

Wallahu 'alam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post