Haji Terganjal Regulasi, Kewajiban Muslim Kok Dizalimi?


Oleh Merli Ummu Khila
Pemerhati Kebijakan Publik

Labbaika allahumma labbaik, Laa syariika laka labbaik. Innalhamda wan-ni'mata laka wal mulk, laa syariikalak (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu)." (HR. Muslim)
  
Hati seorang muslim mana yang tidak rindu melafazkan talbiyah di hadapan Baitullah? Keinginan untuk berhaji itu selalu ada dalam diri setiap muslim terlebih bagi yang merasa mampu. Namun, apa jadinya jika keinginan ini justru sulit diwujudkan hanya karena regulasi. Kewajiban yang harusnya difasilitasi negara secara maksimal, nyatanya yang didapat hanya pelayanan minimal.

Setelah dua tahun haji diliburkan dan seiring kurva kasus Covid-19 yang mulai melandai, Arab Saudi akhirnya membuka pintu dan mengundang umat Islam untuk menunaikan ibadah haji. Namun dengan beberapa syarat diantaranya: kuota terbatas yaitu 100.051 jamaah, hanya separuh dari kuota biasanya sebelum pandemi yaitu sebanyak 221.000 jamaah di tahun 2018. Syarat lainnya ialah haji hanya dibuka untuk usia dibawah 65 tahun dan sudah harus vaksin lengkap dan surat negatif Covid-19 72 jam sebelum berangkat ke Arab Saudi. (Kompas.com, 11/04/2022) 

Nyaris Gagal Haji Karena Terganjal Regulasi

Beberapa syarat ini tentu membuat ribuan calon jamaah hari terancam batal bahkan sudah bisa dipastikan batal. Calon jamaah yang harusnya sudah berangkat dua tahun silam ternyata banyak yang usia diatas usia 65 tahun. Seperti dikutip dari Kompas.com (25/05/2022) ada sebanyak 1.086 orang calon jamaah di Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang harus mengubur harapannya berhaji tahun ini karena tidak memenuhi syarat keberangkatan haji. 

Tidak hanya calon jamaah yang terkendala usia, calon jamaah yang bermasalah  administrasi juga jauh lebih banyak, lebih dari 17 ribu calon jamaah. Menurut Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, persoalan administrasi tersebut adalah ketentuan vaksinasi yang menjadi syarat haji. “Bagi yang belum divaksinasi dosis lengkap, maka tidak akan diberangkatkan”, ujarnya. (Okezone.com, 19/05/2022)

Sungguh menyedihkan mengingat haji merupakan kewajiban bagi seorang muslim. Jika secara syariah syaratnya jika mampu. Maka pada faktanya saat ini syarat haji itu menjadi sebuah regulasi yang maha sulit dan berbelit. Bayangkan saja, untuk mendaftar haji saja perlu tahunan bahkan puluhan tahun mengantre. Belum lagi banyak syarat yang sebenarnya melanggar syariat salah satunya kepesertaan BPJS menjadi syarat calon jamaah haji. Dana tabungan haji pun tidak jelas akadnya dan diinvestasikan kemana.

Faktor inilah yang membuat sebagian besar muslim yang sudah mampu namun enggan mendaftar, sementara itu ada juga jamaah yang ternyata berhaji berkali-kali. Intinya ibadah haji seolah kehilangan urgensinya sebagai sebuah rukun Islam yang wajib dilaksanakan.

Penyelenggara Bervisi Untung Rugi

Sejak awal terjadinya pandemi, dunia sudah gagal dalam pencegahan serta penanganan kasus. Dua tahun merebak ke seluruh dunia membuktikan bahwa pandemi gagal ditaklukkan secara sistemik oleh dunia. Bahkan terkesan gagap dan minim manajemen krisis. Hal ini sangat merugikan semua orang tidak terkecuali calon jamaah haji.  

Arab Saudi sebagai penyelenggara haji harusnya bisa mengupayakan terselenggaranya haji meskipun ditengah pandemi. Mengingat Arab Saudi merupakan negara kaya raya, bukan mustahil melakukan berbagai treatment khusus sehingga ibadah haji tetap bisa dilaksanakan umat dari penjuru dunia.

Namun faktanya memang pelayanan haji ini tidak lebih dari transaksi untung rugi. Sebagai tuan rumah, Arab Saudi mempunyai otoritas penuh dalam mengatur kuota dan syarat kedatangan calon jamaah. Seolah Baitullah milik Kerajaan Arab Saudi, umat Islam dari negara lain hanyalah tamu yang numpang beribadah dan harus berbesar hati mengikuti semua aturan tuan rumah. Arab Saudi menang banyak, meraup keuntungan secara lansung dari jamaah dan keuntungan dari perputaran uang dari bisnis hotel, katering, maskapai penerbangan, dan sektor bisnis penunjang lain.

Sekat Nasionalisme dan Memudarnya Eksistensi Haji Sebagai Rukun Islam

Sengkarut haji dari pendaftaran hingga pelayanan sejatinya berawal dari sistem yang salah. Umat Islam yang terpecah menjadi negeri-negeri kecil lalu tersekat oleh batas-batas teritorial dan nasionalisme membuat umat tidak lagi merasa persaudaraan dalam satu akidah. Begitu juga sistem administrasi negara yang mempersulit regulasi keluar masuknya umat meskipun di negeri Islam.

Eksistensi haji sebagai rukun Islam pun memudar, yang ada hanyalah ritual tahunan bahkan kerap dijadikan ajang wisata, demi sebuah eksistensi bahkan sekadar pamer. Naudzubillah. Jamaah haji tidak lagi menjadikan ibadah haji sebagai perjalanan spiritual yang penuh dengan keikhlasan semata meraih rida Allah.

Walhasil, kisruh haji ini bukanlah perkara teknis yang salah. Namun, mindset penguasa yang tidak bervisikan pelayanan. Sehingga solusi tidak akan didapatkan selama dunia masih setia berada dalam dekapan kapitalisme. Ibadah haji hanya mampu dirindukan jutaan umat namun tidak bisa diwujudkan.

Wallahua'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post