Tawuran Sulit Dihentikan, Ada Apa dengan Sistem Pendidikan?



Oleh Rizka Adiatmadja
(Praktisi Homeschooling)

Tawuran selalu tak terelakkan bahkan memakan korban. Ada apa dengan generasi bangsa ini, sehingga pertikaian tak kunjung menemukan titik henti? Mengapa kanal pendidikan tak bisa meregulasi bibit demi bibit arogansi, bukankah mendidik itu melahirkan generasi yang seharusnya berpikiran cemerlang dan cerdik? Segala petuah bijak pendidikan tak bisa meredam, berulang dan terus berulang mempertontonkan episode yang buram, berakhir dengan penggunaan senjata tajam.

Jeratan hukuman terus digencarkan, tetapi kurva kenaikan kasus tawuran meningkat signifikan. Kemanakah ruh pendidikan bermuara, benarkah hanya berupa angka yang tertera di selembar ijazah semata?

Dikutip dari  Republika.co.id (15/2/2022), aksi tawuran sejumlah siswa SMP berhasil digagalkan oleh Satlantas Polres Semarang, peristiwa tersebut terjadi di jalan utama Bawen-Salatiga, Desa Asinan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang. Pada Senin (14/2) petang, delapan orang siswa diamankan beserta peralatan yang diduga akan digunakan sebagai senjata untuk mereka beraksi. Ada sajam dari jenis sabit dan sabuk gir. Informasi yang diterima dari warga menjadi sebuah petunjuk yang bisa menggagalkan aksi tawuran tersebut.

Data dari KPAI mencatat tujuh belas kasus kekerasan yang di dalamnya melibatkan peserta didik dan pendidik. Tawuran sesama pelajar menempati peringkat tertinggi. Tentunya ini bukan lagi permasalahan kecil yang bisa ditoleransi dan dipahami sebagaimana kesalahan remaja yang sedang mencari jati dirinya.
Namun, ada hal mendasar yang mengindikasikan secara jelas tentang kesalahan sistem yang semakin menjalar, merusak sendi-sendi tatanan generasi.

Ada apa dengan dunia pendidikan yang tak sanggup menghasilkan para pemuda dan pemudi yang terdidik kepribadiannya? Padahal aturan demi aturan negara terkait pencegahan dan penanganan kekerasan dicanangkan agar bisa dijalankan, tetapi kedisiplinan tak kunjung tercerminkan, bahkan masalah semakin berlarut-larut tak terselesaikan.

Aturan Permendikbud 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan dan Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kedua aturan tersebut adalah panduan yang seharusnya bisa menangani kondisi ketimpangan yang terjadi pada generasi hari ini. Tetapi ternyata semua tak cukup untuk mencegah ketimpangan demi ketimpangan yang ada. Pemuda yang menentukan hitam dan putih masa depan sebuah bangsa, telah dilegamkan keberadaannya sejak dini.

Problematika yang terjadi hari ini, tentu hasil dari sistem pendidikan yang mengusung sekularisme, di mana agama tidak dihadirkan menjadi panduan kehidupan. Hasilnya para pemuda hari ini hidup dalam keadaan yang menyedihkan secara mental dan fisik. Bahkan disebut generasi stroberi, hakikatnya tidak kuat saat dihantam hal yang keras, berkiblat pada kehidupan yang bebas, lemah dan layu sebelum berjuang.

Tawuran biasanya berawal dari hal-hal yang sepele. Pengaruh media sosial menguatkan mereka untuk bersikap barbar, mudah tersulut emosi, tak punya kendali diri. Dari konflik kecil pribadi, kemudian membesar menjadi perang antar kelompok.

Pemahaman sekuler membentuk lingkungan dan pemikiran permisif terhadap pelanggaran. Bahkan dunia pendidikan cenderung membebaskan pilihan atas nama psikologi pendidikan, sehingga generasi itu semakin terpuruk dan hancur dalam kubangan kemaksiatan dan dosa.

Tak hanya itu, ketidakberfungsian sosok ayah dan ibu di rumah sebagai sekolah pertama pun menjadi pengaruh besar. Sistem perekonomian kapitalisme dan pemahaman sekularisme telah berhasil mencerabut tatanan keluarga. Bagaimana tidak? Lapangan kerja untuk seorang ayah begitu sulit, sehingga memikirkan mencari nafkah sangat menghabiskan energi. Begitu pun seorang ibu akhirnya beralih fungsi, dari sosok yang harus jadi jantungnya rumah, berpindah menjadi pencari nafkah. Kapan waktunya untuk mengasuh dan mendidik anak? Bahkan ilmu parenting saja tak mereka temukan dari rumah orang tuanya. Padahal orang tualah yang memiliki kewajiban memberi pemahaman kehidupan yang berfondasikan akidah.

Tinggalah anak-anak yang miskin teladan, dibimbing gawai dan media sosial, tak sanggup menangkal agresifnya konten-konten rusak tanpa filter. Lingkungan yang sekuler pun semakin menambah panjang faktor kerusakan, di mana perzinaan, perjudian, hamil di luar nikah, bahkan tawuran warga pun menjadi topik yang seakan-akan sudah lumrah adanya. Ada kata bijak yang bisa kita resapi. “Untuk mendidik satu orang anak butuh satu kampung”. Betapa luar biasanya lingkungan masyarakat, menjadi pengaruh besar bagi kesalehan dan kerusakan para pemuda dan pemudinya.

Fungsi negara dalam sistem Islam, tak hanya cukup mencabut satu ranting masalah saja. Negara sejatinya adalah orang tua bagi para generasi, tentu harus memiliki aturan yang menyeluruh seperti yang Islam ajarkan. Mengatur kurikulum agar dunia pendidikan kondusif dan mengalirkan atmosfer takwa pada setiap individu pendidik ataupun siswa.

Negara menjadi garda terdepan menjaga generasi dari paparan pemahaman sekularisme, pluralisme, dan liberalisme yang dibungkus sistem kapitalisme.

Negara menjadi filtrasi yang kuat dalam memilih serta memilah konten-konten yang ditayangkan oleh televisi ataupun media sosial. Sehingga tidak terjadi krisis moral. Tontonan pornografi, pornoaksi, dan kekerasan tidak dikonsumsi oleh para pemuda dan pemudi. Negara pun harus mengatur kondusivitas masyarakat sehingga ruh yang terlahir di setiap interaksi adalah amar makrur nahi mungkar.

Basis pendidikan Islam adalah akidah yang bisa mengalirkan kepribadian islami, pola pikir dan pola sikapnya yang islami akan memancarkan jiwa dan langkah takwa sepanjang masa. Negara wajib memberikan fasilitas pendidikan yang memadai, kurikulum yang dibentuk bukan menciptakan ladang mengeruk materi rakyat, tetapi benar-benar mencerdaskan generasi dan naungan Islam. Bukankah untuk mengetahui esensi dan hakikat umat, hal yang perlu ditanyakan bukan seberapa banyaknya simpanan harta dan emas, tetapi hal yang harus diperhatikan adalah kualitas kaum mudanya?

Keresahan dan kegalauan pemuda hari ini berbanding lurus dengan penyimpangan-penyimpangan syariat yang dilakukan masyarakat karena diakomodir oleh sistem kapitalisme di negeri tempatnya berpijak.

Sudah sepatutnya, kerusakan generasi hari ini menjadi bahan koreksi totalitas bagi negara, masyarakat, dan keluarga. Ketidakberadaan pendidikan yang berbasis akidah, sudah mencerabut mental kaum muda menjadi tidak bermoral, rapuh dari akar, sehingga tidak sanggup tumbuh menjadi generasi cerdas. Hendaknya kegemilangan pendidikan Islam bukan sekadar menjadi bahan reminisensi, tetapi pijakan utama untuk mengubah haluan kaum muda masa kini menjadi pribadi yang unggul dan islami.

Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post