(Pendidik Generasi Khoiru Ummah)
Tawuran antar pelajar sudah menjadi permasalahan klasik di negeri ini. Selama tahun 2021 Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listyarti mengatakan, KPAI mencatat ada 17 kasus kekerasan yang melibatkan peserta didik dan pendidik. Sepuluh di antaranya adalah tawuran pelajar. Ini yang terdata, tentu yang tidak terdata jauh lebih banyak. Ironisnya lagi, tawuran pelajar terjadi ketika program sekolah mayoritas BDR (Belajar Dari Rumah).
Sebelum pandemi (2018) KPAI mencatat sekitar 202 anak berhadapan dengan hukum akibat terlibat tawuran dalam rentang dua tahun terakhir. Sekitar 74 kasus anak dengan kepemilikan senjata tajam. [kpai.go.id]
Di awal tahun 2022 ini, kasus tawuran pun bermunculan. Anggota Satlantas Polres Semarang menggagalkan aksi tawuran yang melibatkan sejumlah siswa SMP, di jalan utama Bawen-Salatiga, di wilayah Desa Asinan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Senin (14/2) petang. Delapan siswa SMP diamankan berikut sejumlah peralatan yang diduga akan digunakan sebagai senjata dalam aksi tawuran ini. Dari pemeriksaan di lokasi, diamankan sejumlah barang bukti, antara lain seperti sebilah sabit, tiga buah sabuk gir, tiga botol minuman bersoda serta delapan sepeda motor. [republika.co.id/ 15-02-2022]
Pemerintah bukan tanpa usaha untuk menyelesaikan masalah ini. Sebut saja Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan. Bahkan pada 20 Desember 2021 lalu, pemerintah telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Bidang Pendidikan. Namun, ternyata solusi tersebut tidak cukup mampu menangkal kenakalan remaja yang kian meresahkan.
Kenakalan remaja saat ini bahkan sudah masuk dalam tataran kriminalitas remaja. Bagaimana tidak, selain menghancurkan fasilitas umum aksi tawuran pelajar tersebut memakan korban jiwa, baik pelaku tawuran ataupun masyarakat umum.
*Akar Masalah Kenakalan Pelajar*
Solusi yang diberikan pemerintah tidak menyentuh akar permasalahan kenakalan pelajar. Setidaknya kita akan melihat dari dua faktor penyebab kenakalan remaja yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
_Faktor internal,_ remaja usia SMP-SMA tentu pada masa pencarian jati diri dan ingin mengeksiskan dirinya. Bergabung dengan kelompok-kelompok yang mereka anggap menyenangkan, masa mencoba-coba, ditambah dengan era sosial media yang mudah tersulut. Hilangnya jati diri para remaja, sehingga mereka memandang bahwa kehidupan hanya untuk bersenang-senang, termasuk aksi tawuran maupun kenakalan pelajar lainnya.
_Faktor eksternal,_ selain faktor internal dalam diri pelajar ternyata maraknya kasus kenakalan remaja diakibatkan oleh faktor eksternal, baik keluarga, lingkungan (lingkungan sekolah maupun tempat tinggal) dan juga Negara.
Keluarga berperan dalam pembentukan karakter sang pelajar. Bagaimana mau terdidik seorang pelajar, apabila di rumah kedua orang tua sibuk bekerja. Anak tidak terbimbing dengan baik di rumah. Anak hanya dibekali gadget, tanpa pendampingan. Bahkan terjadinya tawuran antar pelajar berawal dari saling mengolok di sosial media. Mereka kehilangan panutan dalam keluarga. Setelah ini tentu mereka akan mencari panutan dari luar (lingkungan). Tidak ada yang mengingatkan mereka di rumah apabila mereka melakukan kesalahan, bahkan kriminalitas.
Lingkungan sekolah saat ini pun tidak membantu banyak. Selain beban belajar yang semakin berat, konsep pendidikan yang berorientasi pada materi semakin menghampakan kondisi pelajar. Guru pun tersibukkan dengan administrasi yang melelahkan. Maka tidak heran mereka para pelajar berkumpul dan bersenang-senang sesuai dengan pemikirannya. Aksi tawuran antar pelajar pun sulit dihindarkan.
Tidak jauh berbeda dengan lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat pun abai dengan para remaja yang sedang dalam pencarian jati diri ini. Masyarakat sibuk dengan urusan mereka sendiri. Langkanya minyak goreng, mahalnya harga-harga serta permasalahan lainnya cukup menyibukkan masyarakat.
Negara sebagai penentu kebijakan arah pendidikan tentu turut berperan dalam kenakalan pelajar. Arah pendidikan yang sekuler materialistik terbukti gagal melahirkan manusia shalih yang sekaligus menguasai iptek. Materialistik menjadikan pendidikan hanya sebatas angka. Sekulerisme yang memisahkan agama dengan kehidupan. Liberalisme yang membebaskan tingkah laku mereka. Mengakibatkan pelajar bertindak sesuka hatinya, tidak mau terikat dengan aturan. Termasuk kebebasan dalam mengakses segala hal di dunia digital saat ini. Bahkan kebebasan dalam beraksi tawuran.
Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera dan berakhlak mulia sesuai dengan visi pendidikan Indonesia tentu hanya angan-angan belaka. Sebaliknya, peradaban atau masyarakat semakin hancur karena para remaja (pemuda) yang rusak. Bukankah pemuda saat ini yang akan menjadi tonggak peradaban kelak?
*Solusi Islam*
Remaja ataupun pelajar yang kehilangan jati diri tersebab pandangan hidup sekulerisme yang memisahkan agama dengan kehidupan. Sehingga pelajar enggan taat pada aturan. Pelajar harus membuang pemahaman sekulerisme, liberalisme dan paham-paham rusak lainnya.
Energi besar yang dimiliki para remaja harus diarahkan yang positif. Secara praktis dalam kondisi saat ini pelajar harus diarahkan mengikuti kajian Islam. Agar hidup lebih bermakna dan mengetahui apa tujuan dari diri dia diciptakan.
Namun, solusi di atas sebenarnya cukup sulit untuk dilakukan ketika tidak didukung, bahkan kajian Islam saat ini malah dicap negatif, radikal. Sehingga solusi tuntas menyelesaikan permasalahan kenakalan remaja termasuk tawuran adalah dengan mengubah konsep pendidikan sekuleristik matrealistik menjadi sistem pendidikan Islam.
Namun sistem pendidikan Islam tidak mampu berdisi sendiri. Dibutuhkan _support system_ lainnya untuk menopang sistem pendidikan Islam. Sistem ekonomi yang berbasis aqidah Islam yang akan menopang segala kebutuhan-kebutuhan dalam sistem pendidikan. Sistem peradilan yang tegas dalam mengadili para pelaku tawuran ataupun kriminalitas pelajar. Dibutuhkan asas Negara yang berbasis aqidah Islam sehingga paradigma sekuler (pemisahan agama dengan kehidupan) dapat tersingkirkan.
Asas pendidikan Islam adalah aqidah Islam. Asas ini berpengaruh dalam penyusunan kurikulum pendidikan, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, budaya yang dikembangkan dan interaksi semua komponen penyelenggara pendidikan. Kurikulum pendidikan Islam tidak akan berorientasi pada materi. Guru pun tidak akan disibukkan dengan administrasi yang melelahkan, namun berkualitas.
Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang berkarakter, yaitu: (1) berkepribadian Islam, yaitu membentuk pola pikir Islam dan pola sikap Islam; (2) menguasai tsaqofah Islam, dan (3) mengusai ilmu kehidupan yang memadai.
Sistem pendidikan yang berbasis aqidah Islam akan melahirkan para pembelajar yang berkepribadian Islam. Sebab tujuan dari pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Islam, yaitu memiliki pola pikir Islami dan pola sikap Islam. Para pelajar tidak hanya pintar secara intelektual (baik pemahaman agama maupun ilmu keduniaan), namun juga para pembelajar berkarakter Islam.
Dalam sistem pendidikan Islam lahirlah generasi para penakluk Islam dan para ilmuwan Islam. Tidakkah kita menantikan lahirnya Imam Syafi’i? Yang di usia 13 tahunnya telah dikirim oleh ibunya untuk pergi ke Madinnah untuk belajar kepada ulama besar, Imam Malik. Tidakkah kita menantikan lahirnya Muhammad Al Fatih? Yang di usia 21 tahun mampu menaklukan jantungnya dunia kala itu, dengan strategi yang luar biasa.
Banyak juga para tokoh maupun shahabat Rosulullah saw. yang di usia mudanya telah menorehkan tinta emas dalam peradaban umat manusia. Lahirnya para ilmuan Islam tidak terlepas dari _support system_ Negara yang memfasilitasi.
_Allahu ‘alam bi ash showab_