Sekulerisme Liberalisme, Lahirkan Generasi Bar-bar


Oleh: Rengga Lutfiyanti
Mahasiswi dan Pegiat Literasi

Darah muda darahnya para remaja
Yang selalu merasa gagah
Tak pernah mau mengalah
Masa muda masa yang berapi-api
Yang maunya menang sendiri
Walau salah tak perduli

Begitulah penggalan lirik dari lagu berjudul "Darah Muda" karya Rhoma Irama. Lagu tersebut menggambarkan tentang sikap anak muda yang penuh dengan semangat bergejolak, selalu merasa gagah, dan tidak mau mengalah. 

Ya, masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju ke dewasa. Pada masa ini, emosi remaja cenderung tidak stabil. Mereka mudah sekali tersulut emosi. Mereka memiliki sikap agresif, yaitu ditunjukkan dengan sikap yang suka menantang, watak yang keras kepala, suka berkelahi, dan sering mengganggu yang lain. (dosenpsikologi.com)

Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Tim Patroli Perintis Presisi Polres Metro Depok menangkap tujuh anak muda yang hendak tawuran. Katim Perintis Presisi Polres Metro Depok, Iptu Winam Agus, mengatakan kelompok ABG ini ditangkap saat mencari lawan tawuran di Jalan Cagar Alam, Depok. Saat dimintai keterangan, komplotan anak muda tersebut berniat tawuran karena merasa tertantang oleh komentar di Instagram. Tidak hanya itu, polisi juga mengamankan senjata tajam berupa celurit dan parang yang dibawa oleh anak muda tersebut. (detiknews.com, 27/02/2022)

Kasus ini bukanlah yang pertama. Sebab sebelumnya juga terjadi kasus-kasus yang serupa. Sepanjang tahun 2021, jajaran Satuan Reserse Kriminal Polresta Bogor Kota telah menangani 45 kasus tawuran antar pelajar, yang terjadi di sejumlah wilayah di Kota Bogor. Kasatreskrim Polresta Bogor Kota, Kompol Dhoni Erwanto, mengatakan dari 45 kasus tersebut ada lima pelajar yang mengalami luka-luka. Bahkan dua pelajar dinyatakan meninggal dunia akibat aksi tawuran antar pelajar. Tidak hanya itu, Kasatreskim Polresta Bogor juga mengamankan sebanyak 314 senjata tajam dengan berbagai jenis dan ukuran. Sentaja-sentaja tersebut digunakan oleh para pelajar untuk tawuran. (republika.co.id, 19/12/2021)

Jika kita perhatikan, tawuran antar pelajar saat ini tidak lagi dikenal sebagai kenakalan remaja yang terjadi di lingkungan sekolah. Tetapi sudah melebar ke jalan-jalan umum. Bahkan tidak jarang mereka juga merusak fasilitas-fasilitas umum. Berulangnya kasus tawuran, serta penggunaan senjata tajam hingga memakan korban jiwa. Seharusnya, mendorong untuk melakukan evaluasi mendasar pada sistem pembangunan generasi. Yaitu pendidikan di keluarga, sekolah, dan lingkungan. 

Seperti yang diketahui, bahwa corak kehidupan saat ini sangat dipengaruhi oleh cara pandang sekuleris-liberalis. Paham sekuler yang berasal dari barat ini, mengantarkan manusia pada kondisi bahwa kehidupan mereka harus dipisahkan dari agama. Karena mereka berpikiran agama  ada tetapi hanya di ranah individu. Sehingga agama harus dijauhkan dari kehidupan manusia. Akibatnya, lahirlah kebebasan dalam diri manusia. Mereka berbuat sesuka hati mereka. Tanpa peduli perbuatan mereka akan merugikan orang lain ataukah tidak, termasuk kemaksiatan dan mendapat dosa. 

Sehingga tidak heran, jika saat ini muncul remaja yang "setengah matang". Yaitu remaja yang hanya memiliki kematangan fisik, tetapi tidak diimbangi dengan kematangan dalam hal ketaatan. Tentu saja kondisi ini akan mendorong remaja merasa bebas untuk menunjukkan eksistensinya sebagai "makhluk dewasa" dengan jalan tawuran antar pelajar. 

Cara pandang sekuler-liberal juga mempengaruhi pendidikan di tingkat keluarga, masyarakat, dan negara. Tidak jarang pendidikan anak-anak saat ini hanya dicukupkan pada keberhasilan intelektualitas. Sementara pendidikan keagamaan hanya diposisikan sebagai pelajaran tambahan saja. Alhasil, suasana ini semakin membuat remaja tidak memahami jati diri mereka. Sehingga ketika ingin menunjukkan eksistensinya, tawuran antar pelajar dipilih sebagai solusi alternatifnya.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan sistem Islam. Sebab Islam memandang, generasi muda sebagai generasi penerus tongkat estafet kepemimipinan. Mereka adalah aset bangsa. Maka perhatian ini diwujudkan secara praktis di tiga tingkat institusi yang menerapkan pendidikan Islam bagi anak. Yaitu keluarga, masyarakat, dan negara. 

Dalam keluarga, Islam telah memerintahkan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka dengan ketakwaan dan ketaatan. Orang tua bisa mengajarkan anak-anak sejak dini untuk mengenali dirinya sebagai seorang hamba Allah swt. Sehingga selama hidupnya, mereka akan sadar bahwa mereka adalah seorang mukallaf yang harus terikat sesuai dengan syarak.

Bukan hanya mengajarkan anak untuk taat terhadap aturan Islam, tetapi keluarga juga diperintahkan untuk mendidik anak-anak mereka dengan life skill, kemandirian, dan berdakwah. Semua kemampuan ini akan membantu anak-anak kelak bisa bertahan hidup dalam kondisi apapun. Mereka dapat menyelesaikan permasalahan pribadi maupun masyarakat sesuai dengan hukum syarak. 

Selanjutnya, masyarakat akan berperan sebagai entitas penerap aturan kehidupan bagi remaja. Islam memerintahkan agar masyarakat hidup dalam kondisi saling tolong menolong (taawun). Yaitu dengan amar makruf nahi munkar. Sehingga, suasana yang terbentuk dalam masyarakat tidak lain adalah suasana keimanan. Bukan suasana yang menunjukkan eksistensi dengan jalan yang salah, seperti tawuran. 

Sementara negara, berperan untuk menyediakan pendidikan yang berbasis akidah Islam. Sehingga dari lembaga pendidikan akan terbentuk generasi yang memiliki kepribadian Islam. Yaitu pola pikir dan pola sikap sesuai dengan Islam. 

Inilah cara Islam untuk mencetak generasi yang hebat dan berkualitas. Bukan hanya menghasilkan remaja yang cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki ketakwaan dan ketaataan kepada Allah swt. Sehingga tidak heran, jika peradaban Islam pernah menjadi peradaban paling gemilang.

Wallahu a'lam bishshawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post