Salah Kaprah Solusi Kenaikan Harga Minyak Goreng Kemasan

Oleh: Ummu Haura

Aktivis Dakwah

 

Pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan baru terkait HET (harga eceran tertinggi) minyak goreng. Per 16 Maret 2022, harga minyak goreng kemasan menjadi Rp 23.000 per liter. Kenaikan ini jelas membuat gaduh masyarakat khususnya kalangan ibu rumah tangga. Harga minyak goreng yang sebelumnya Rp 14.000 per liter, saat ini harga tersebut hanya untuk minyak goreng curah atau minyak goreng non kemasan.

Akibat kebijakan tersebut, stok minyak goreng langsung membanjiri berbagai supermarket yang sebelumnya sangat sulit dicari. Tapi, banyaknya stok minyak goreng kemasan tidak serta merta membuat daya beli meningkat karena karenakan kemasan minyak goreng 2 liter berbagai merk, harga jualnya hampir menyentuh angka Rp50.000.

HET minyak goreng kemasan memunculkan banyak solusi di tengah-tengah masyarakat. Solusi yang beredar di masyarakat antara lain boikot minyak goreng kemasan, membuat minyak goreng sendiri dari bahan baku kelapa, hingga memasak dengan cara merebus, membakar atau mengukus. Apakah solusi-solusi tersebut menjadi jalan keluar atas kenaikan harga minyak goreng kemasan?

Ternyata, boikot minyak goreng kemasan solusi yang tidak tepat. Mengapa? Pertama, kebutuhan minyak goreng kemasan digunakan tidak hanya kalangan ibu rumah tangga, pedagang skala UMKM juga membutuhkan minyak goreng kemasan sebagai bahan baku utama. Walau kondisi ini membuat mereka bisa saja mengganti dengan minyak goreng curah, tapi kualitas minyak goreng kemasan menjadi pertimbangan untuk tetap membelinya. Selain itu, kalangan menengah ke atas tidak terlalu berefek dengan kenaikan harga minyak goreng kemasan karena mereka masih mampu membelinya.

Kedua, pengusaha bahan mentah minyak sawit (CPO) tidak terlalu berpengaruh jika masyarakat memboikot pembelian minyak goreng kemasan. Masih ingat bagaimana kemampuan para pengusaha bermodal besar ini selama berminggu-minggu menahan stok minyak goreng di gudang-gudang mereka, karena harga minyak goreng pada saat itu 'hanya' Rp14.000 per liter? Bahkan, pengusaha bisa saja mengalihkan porsi bahan mentah minyak sawit (CPO) untuk industri biodiesel daripada industri minyak goreng. Pemerintah bahkan memberi subsidi ke biodiesel, tetapi tidak ada subsidi ke minyak goreng. Belum lagi harga CPO untuk industri biodiesel lebih tinggi dibanding harga industri minyak goreng. Jelas ini lebih menguntungkan bagi pengusaha CPO.

Membuat minyak sendiri dari bahan baku kelapa juga ramai diperbincangkan sebagai solusi alternatif ketergantungan terhadap minyak goreng kelapa sawit. Padahal solusi ini membutuhkan proses berjam-jam dalam menghasilkan minyak kelapa, belum termasuk tenaga yang dikeluarkan dan biaya yang lebih mahal. Sebagai ilustrasi, butuh sekitar 6 butir kelapa untuk menghasilkan minyak sebanyak 1 liter. Jika harga 1 butir kelapa yang sudah menjadi santan sebesar sepuluh ribu rupiah, maka butuh 60rb untuk menghasilkan 1 liter minyak kelapa.

pedagang, membuat minyak sendiri akan membuat proses produksi lebih panjang dan modal bertambah besar. Yang akan berimbas pada harga jual barang dagangan mereka. Jika solusi membuat minyak kelapa dilakukan oleh masyarakat, bukankah akan membuat harga kelapa juga mengalami kenaikan?

Solusi lain yang tidak tepat adalah usulan dari seorang pejabat publik yang videonya viral di media sosial dan mendapat respon dari netizen. Ia menyarankan untuk mencoba cara lain seperti merebus dan mengukus. Minyak goreng adalah salah satu dari sembilan bahan pokok (sembako), yang artinya seluruh kalangan masyarakat di Indonesia membutuhkannya sebagai bahan pokok.

Maka tak heran jika konsumsi minyak goreng di Indonesia sangat tinggi. Berdasarkan grafik konsumsi minyak goreng yang dirilis Setjen Pertanian pada 2018, minimal 1 liter minyak goreng dikonsumsi masyarakat Indonesia setiap bulannya. Seperti penjelasan di atas, tak hanya kalangan rumah tangga yang membutuhkan minyak goreng, para pedagang kecil yang bergerak di industri makanan pun memerlukan minyak goreng sebagai bahan baku atau bahan pendamping. Apakah memungkinkan mereka harus mengganti jualannya yang biasa digoreng menjadi direbus atau dikukus?

Jika melihat fakta dan data di atas, apakah solusi mengganti proses memasak makanan dengan rebus, kukus atau bakar adalah solusi efektif? Tentu tidak sesederhana itu solusinya. Hendaklah para pejabat publik mengerem diri untuk memberi solusi-solusi yang tidak tepat. Ketika harga daging sapi naik, maka solusi makan keong disodorkan pada masyarakat. Ketika harga cabai naik, maka masyarakat disuruh menanam pohon cabai. Hal-hal seperti ini janganlah sampai terjadi lagi.

Sudah sepantasnya masyarakat Indonesia memahami bahwa, solusi permasalahan mahalnya harga minyak goreng kemasan bukan diserahkan pada level individu, tapi dibereskan oleh level negara atau penguasa. Tugas para penguasa memastikan ketersediaan minyak goreng berkualitas yang murah. Karena mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk mengaturnya. Jika penguasa mampu menyelesaikan permasalahan ini dengan baik maka jangkauannya lebih luas dan efeknya bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat.

Tapi sayangnya, di era kapitalisme saat ini, penguasa cenderung 'kalah' menghadapi persoalan kenaikan harga berbagai bahan pokok. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, di depan anggota DPR komisi VI meminta maaf kepada rakyat Indonesia karena dirinya tak berdaya mengontrol mafia minyak goreng. Menurutnya hal ini terjadi karena sifat manusa yang rakus dan jahat. Ia juga mengatakan bahwa kewenangan untuk mengusut masalah mafia dan spekulan harga dibatasi dalam undang-undang.

Rakus dan jahat adalah tabiat kapitalisme. Tak peduli apa pun caranya akan dilakukan agar keuntungan setinggi-tingginya dapat dicapai. Sudah sepantasnya jika masyarakat khususnya kaum Muslim menyadari bahwa tidak ada sistem yang sebaik Islam. Penguasa dalam sistem Islam akan mengatur pendistribusian bahan pokok dengan sebaik-baiknya dan mengarahkan para pengusaha untuk tunduk dalam aturan hukum syara mengenai perdagangan.

Ketegasan penguasa dalam mengatur masalah perdagangan, seperti dicontohkan Khalifah Umar bin Khattab ketika mendengar adanya kecurangan mengoplos susu dengan air juga melarang praktik monopoli di pasar-pasar kaum Muslim. Jika masih ditemukan kecurangan dan monopoli, tak segan penguasa dalam syariat Islam akan menghukum para pedagang yang melakukan hal tersebut.[]


Post a Comment

Previous Post Next Post