Perlukah Menunda Pemilu?


By : Sri Gita Wahyuti A.Md
Aktivis Pergerakan Muslimah

Wacana perpanjangan masa jabatan presiden kembali mencuat, setelah beberapa elit politik dan ketua partai menggulirkan narasi tersebut. Tak ayal kegaduhan pun terjadi di tengah-tengah masyarakat. 

Usulan penundaan pemilu yang disuarakan oleh ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar ini muncul di tengah polemik perpanjangan masa jabatan yang belum usai. Sebelumnya pernah juga muncul usulan masa jabatan presiden adalah delapan tahun dalam satu periode. Selain itu juga ada yang mengusulkan agar masa jabatan presiden menjadi empat tahun serta dapat dipilih sebanyak tiga kali. 

Muhaimin Iskandar menyebutkan bahwa usulan penundaan pemilu merupakan usulan dan masukan dari pengusaha, pemilik usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), analis ekonomi dan sebagainya. Usulan ini pun mendapat banyak dukungan, antara lain dari Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan dan Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia. 

Alasan penundaan antara lain kondisi pandemi yang masih belum sepenuhnya teratasi, anggaran pemilu yang pastinya butuh banyak dana, dan tingginya tingkat kepuasan rakyat terhadap Presiden Jokowi. 

Tak hanya dukungan, suara penolakan pun turut bergulir. Semisal, sikap yang ditunjukkan oleh Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Ia menilai, wacana menunda pemilu merupakan pemikiran yang tidak logis dan melanggar konstitusi. Belum lagi, hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) membuktikan bahwa mayoritas masyarakat justru menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden ini. 

Begitulah ciri khas demokrasi. Dengan slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, seolah mengutamakan kepentingan rakyat. Faktanya, slogan tersebut hanya berlaku saat ada manfaat yang bisa diambil dari rakyat. Usai pesta demokrasi, rakyat pun dikhianati. Untuk melanggengkan kekuasaannya, tipu-tipu, manipulasi bahkan jual beli nama lumrah terjadi. Rakyat pun terjebak dalam kepalsuan janji-janji. Lagi dan lagi. 

Hal semacam ini jelas tidak akan terjadi pada sistem pemerintahan Islam. Dalam Islam, penguasa adalah pelayan rakyat, wajib mengurus dan menerapkan hukum Allah Swt. dalam setiap urusan. Meneladani Rasulullah saw. dalam bernegara dan memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Dalam sistem pemerintahan Islam, terdapat perbedaan antara kedaulatan (al-siyadah) dan kekuasaan (al-sulthan). Islam memandang bahwa kedaulatan berada di tangan syarak. Hanya Allah Swt. satu-satunya pemilik otoritas membuat hukum (al-hakim) dan syariat (al-musyarri'), baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqubat.

Islam tidak membenarkan manusia menetapkan hukum. Baik ia berkedudukan sebagai rakyat maupun khalifah, mereka semua adalah mukallaf (pihak yang mendapat beban hukum). Ia wajib tunduk dan patuh pada seluruh hukum yang dibuat oleh Allah Swt.

Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umat diberi hak untuk menentukan siapa yang menjadi penguasa. Pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan syarak. Seorang kepala negara harus memenuhi syarat sah (syuruth al-in'iqad). Ia haruslah seorang muslim laki-laki, balig, berakal, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kekhilafahan.

Kekuasaan merupakan kenikmatan tersendiri. Banyak orang menginginkannya. Dengan kekuasaan, seseorang bisa melakukan apa saja sesuai kepentingan diri maupun kelompok. Maka tak heran banyak orang berusaha meraihnya. Sementara itu mereka yang sedang berkuasa, akan mencari cara untuk menjadikan kekuasaan tersebut tetap berada dalam genggamannya. 

Namun, Islam mengingatkan kaum muslim betapa berbahaya cinta kekuasaan. Apalagi jika kekuasaan tersebut diperoleh dengan jalan manipulasi dan untuk kepentingan segelintir orang saja. Namun fakta ini justru seringkali terjadi bahkan pada setiap penyelenggaraan pemilu. 

Hal ini menjadi bukti, dilaksanakan pemilu sesuai waktu ataukah ditunda bukanlah hal yang dibutuhkan oleh rakyat sekarang. Karena apa yang dibutuhkan rakyat adalah pergantian sistem. Yakni sistem yang mampu meriayah rakyat secara sempurna tanpa tipu-tipu dan sekadar memberi harapan palsu akan terwujudnya kesejahteraan. Sistem tersebut adalah sistem pemerintahan khilafah yang menerapkan hukum Islam secara kafah. 

Wallaahua'lam bishshawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post