Pemerhati Kebijakan Publik
"Perbaikan nasib ini hanya bisa datang seratus persen, bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme." (Ir. Soekarno, Presiden pertama RI)
Mendadak antrian mengular di setiap swalayan, berebut minyak goreng yang mendadak turun harga. Semua rela berdesak-desakan di tengah pandemi demi dua liter minyak goreng bersubsidi. Setelah sebelumnya menjelang akhir tahun harga minyak goreng melejit dua kali lipat.
Entahlah apa penyebab naiknya harga seperti misteri sekaligus ironi, mengingat negeri ini penghasil bahan baku minyak goreng terbesar. Harusnya harga minyak goreng di negeri ini paling murah di dunia. Faktanya harga minyak goreng melambung tinggi tak terkendali.
Gonta Ganti Kebijakan
Setelah masuk bulan keempat pasca kenaikan harga minyak goreng, pemerintah berusaha menekan kenaikan harga dengan menetapkan kebijakan satu harga. Atas kebijakan ini pemerintah menggelontorkan dana sebesar sebesar Rp3,6 triliun yang berasal dari dana kelolaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Namun sayangnya kebijakan ini terkesan tanpa perhitungan. Terjadi panic buying di masyarakat sehingga terjadi kelangkaan stok minyak goreng di ritel modern. Hal ini juga disinyalir, penimbunan barang dan distribusi dari produsen ke pedagang yang rentan terjadi kolusi.
Demi mengatasi kelangkaan yang terjadi, kebijakan berganti dengan mengatur domestic market obligation (DPO) dan domestic price obligation (DPO). Melalui kebijakan ini, Kementerian Perdagangan mulai mewajibkan para eksportir produk minyak sawit mentah agar memasok produk ke pasar dalam negeri melalui mekanisme DMO dengan harga khusus atau DPO per Kamis (27/1/2022).
Dan kabar terbaru, bahwa pemerintah telah menetapkan
HET (Harga Eceran Tertinggi) terbaru terhitung mulai 1 Feb 2022 termasuk PPN. Namun selama masa transisi, penetapan satu harga tetap berlaku selama produsen dan pedagang melakukan penyesuaian.
Aturan Pragmatis Tanpa Perhitungan Matang
Kebijakan ini bukanlah kabar gembira bagi seluruh masyarakat, pasalnya turunnya harga minyak goreng menyebabkan permasalahan baru. Perubahan harga ini hanya terjadi pada pasar modern yaitu pada retail tertentu saja. Inilah yang menyebabkan kelangkaan minyak goreng. Di pasar tradisional justru tidak laku karena stok di pedagang dibeli dengan modal normal sebelum terjadi penurunan harga.
Terlebih lagi, kebijakan ini rentan sekali penimbunan. Masyarakat harus rela bergerilya di berbagai retail karena kelangkaannya. Syndrom panic buying juga terjadi di mana-mana. Banyak yang rela mengerahkan seluruh anggota keluarga demi mengantri untuk mendapatkan banyak stok. Bahkan ada yang sengaja memanfaatkan situasi dengan menimbun dan menjual kembali.
Kelangkaan minyak goreng ini terjadi tanpa solusi pasti, semua pihak tidak mau bertanggung jawab dan saling menyalahkan. Retail beralasan karena distribusi yang tidak merata. Namun distributor beralasan bahwa produsen tidak siap dengan permintaan pasar sehingga tersendat dalam proses produksi. Hal ini seolah mengonfirmasi, bahwa betapa kebijakan pemerintah ini bersifat pragmatis dan terkesan tanpa perhitungan.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Pengurus Harian Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi. Tulus menyayangkan program subsidi minyak goreng yang diberlakukan pemerintah saat ini sia-sia. Menurutnya, justru harusnya harga minyak goreng di Indonesia termurah di dunia mengingat negara ini merupakan penghasil CPO terbesar.
Tidak hanya itu, Tulus juga menyayangkan sikap pemerintah yang menetapkan harga minyak secara sepihak. Hal ini tentu saja menjadi kebijakan yang anti kompetisi yang rentan sekali terjadi kolusi antara pemerintah dan pelaku pasar.
Kebijakan Pragmatis, Khas Perekonomian Kapitalistik
Beginilah jika perekonomian diatur berdasarkan asas kapitalisme. Negara menihilkan perannya sebagai pengatur dan pelindung rakyat. Semua kebijakan pasar diserahkan sepenuhnya pada pelaku usaha. Pemerintah hanya bertindak sebagai regulator.
Ketidakstabilan harga menjadi sebuah keniscayaan, pasalnya sudah menjadi tabiat pelaku pasar yaitu profit oriented.
Harga menjadi pengendali distribusi barang. Para pelaku pasar membentuk kartel, menguasai dan menentukan harga. Terlebih lagi ketika para pelaku pasar ini sudah bersimbiosis dengan pemangku kebijakan.
Sungguh berbeda dengan Islam, perekonomian dalam Islam dibangun atas dasar ri’ayati su’unil ummah (pemeliharaan dan pengaturan urusan umat). Sistem bernegara yang menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai tolak ukur dalam semua urusan tata kelola negara. Khilafah sebagai kepala negara wajib memastikan seluruh warga negara mendapatkan haknya berupa pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Dalam Islam, praktik kartel yang melakukan monopoli pasar merupakan perbuatan yang dilarang sebagaimana hadis Rasulullah saw.:
“Siapa yang masuk ke dalam (memonopoli) harga (barang-barang) kaum muslimin untuk menaikkan harganya, maka sudah menjadi ketetapan Allah Swt. untuk mendudukkanya pada tulang yang terbuat dari api kelak di hari kiamat.” (HR. Ahmad)
Ekonomi Islam menerapkan sistem hisbah, yaitu pengecekan langsung atas ukuran dan berat, kendali mutu, dan standarisasi. Negara bertanggung jawab menjaga ketersediaan barang kebutuhan pokok rakyat.
Will Durant, seorang sejarahwan Barat, dalam bukunya, Story of Civilization, menyatakan, “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat dalam sejarah setelah zaman mereka.”
Wallahu a'lam bishshawaab