Kedelai Mahal, Dampak Refocusing Anggaran Covid-19?



Oleh Sri Ayu Juma Ela S.M
(Aktivis Dakwah)

Permasalahan umat kian banyak hari ini. Mulai dari kisruh pemindahan ibu kota negara baru, penistaan terhadap agama Islam, kerugian yang di alami PLN, BUMN dan banyak lagi. Terus, ditambah baru-baru ini terjadi kelangkaan minyak goreng. Masalah tersebut belum selesai malah timbul masalah baru yaitu kabar naiknya harga kedelai.

Negara menegaskan naiknya harga kedelai ini akibat pasokan impor Brazil dan Argentina yang sedang mengalami gagal panen. Ironis Inilah negara agraris yang tidak mampu mandiri dalam hal pangan dan bergantung pada pemasukan impor semata.

Padahal pemerintah berjanji akan menjamin swasembada pangan. Rakyat menjadi sengsara akibat dari kebijakan pemerintah yang tak pasti dan rancu. Umat dibuai dengan ide pemindahan ibu kota baru (IKN) tetapi menindas pada yang lainya.

Mahalnya harga kedelai dalam beberapa waktu belakangan membuat Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo angkat suara. Dia mengklaim, pihaknya sulit menggenjot produksi kedelai dalam negeri karena anggaran yang dipangkas akibat kebijakan refocusing (memusatkan) anggaran karena pandemi Covid-19.

Imbasnya kebutuhan kedelai dalam negeri harus dipenuhi impor sebanyak 2,4 juta ton. "Karena anggaran kita turun dan itu sudah diputuskan dalam rapat dengan pendapat. Kemarin tidak mungkin kita naikan dengan anggaran yang turun," kata Syahrul saat rapat dengan komisi lV DPR

Sementara faktor lainya yang membuat harga kedelai tinggi, dikarenakan petani dalam negeri tidak terlalu tertarik untuk menanam kedelai karena harga jual yang murah. Kenapa impor lebih besar karena harga diluar jauh lebih murah, sementara petani kita baru bisa untung kalau dibeli diatas Rp 6 ribu sampai 7 ribu per kilo barulah dia akan untung katanya. (suara.com, 14/2/2022)

Sebenarnya ini menjadi tanggung jawab negara. Negara seharusnya menjalankan perannya dengan baik yaitu sebagai pelindung umat dengan menyiapkan berbagai alternatif ketika mengalami krisis.

Sedangkan penyebab naiknya harga kedelai impor menjadi mahal di Indonesia. Penyebab pertama adalah cuaca buruk El Nina di Argentina, Amerika Selatan. Hal itu mengakibatkan harga kedelai per gantang naik, dari 12 dolar As menjadi 18 dolar AS.

Penyebab kedua, permintaan kedelai tinggi, terutama dari Cina. Sementara menurut Mendag, Cina memiliki lima miliar babi dan pakannya adalah kedelai. Saat ini, Mendag menjelaskan bahwa kebutuhan kedelai dalam negeri adalah 3 juta ton. Sementara stok dalam negeri  yang tersedia 500 hingga 700 ton per tahun.

Untuk menutupi kekurangannya, Indonesia mengimpor kedelai dari negara lain, terutama dari kawasan Amerika Selatan. Akibatnya, perajin tempe dan tahu dalam negeri sendiri kelabakan dengan tingginya harga kedelai.

Bahkan, perajin yang bergabung dalam Gabungan Koperasi Produsen tempe tahu (Gakoptindo) mengancam akan mogok produksi pada 21 hingga 23 februari 2022. Ketua umum Gakoptindo Aip Syarifudin menyatakan, pihaknya akan mogok karena bahan baku utama tempe dan tahu adalah kedelai.

Jika harga bahan baku tinggi, maka modal yang dikeluarkan juga tinggi. Sementara laba yang didapatkan tidak seimbang dengan modal yang dikeluarkan. Akibatnya, perajin tempe dan tahu bakal merugi. (Kompas.com, 19/2/2022)

Hal ini menegaskan ketergantungan negeri ini pada pangan impor. Pemerintah tidak bisa penuhi swasembada pangan dengan alasan refocusing anggaran untuk penanganan Covid-19. Ini sejatinya menegaskan tidak adanya keseriusan pemerintah atas kemandirian pangan.

Negara mestinya memperbanyak produksi kedelai dengan cara mendukung petani dalam negeri agar semakin memperbanyak menanam kedelai, sehingga pasukan bahan baku kedelai tidak terjadi kemerosotan. Alhasil, negara seolah abai dengan rakyat  dan hanya mengandalkan impor dari negara-negara lain. Akhirnya, negara jadi ketergantungan dan tidak mandiri dalam hal pangan.

Alasan penanganan Covid-19 sebagai salah satu faktor mahalnya harga kedelai terdengar kurang bijak dilontarkan. Betapa tidak, kedua masalah tersebut merupakan masing-masing masalah yang harus ditangani pemerintah dengan serius serta harus terselesaikan dengan bijak.

Sedangkan dana penanganan Covid-19 sangat besar yaitu berjumlah Rp 677,2 triliun. Direktur Eksekutif for Action Againts Corruption (IAAC) Dodi Lapihu mengatakan, jumlah anggaran ini besar karena krisis kesehatan akibat pandemi sudah menjalar menjadi krisis ekonomi yang memberikan dampak kepada semua lapisan masyarakat. Akhirnya segenap pihak meminta agar pengelolaan dana ini harus secara transparan dan akuntabel.

Namun sayang, sejumlah catatan menunjukkan dana ini termasuk dana bansos yang dikorupsi oleh sejumlah oknum dari birokrasi. Hasilnya dana penanganan Covid-19 banyak tetapi tetap saja tunggakan membengkak. Tercatat pembengkakan tunggakan penanganan Covid-19 periode 2021 sebesar Rp 25 triliun, sementara yang sudah terbayar mencapai Rp 26, 8 triliun.

Ditambah lagi  para pejabat memanfaatkan pandemi ini sebagai kepentingan politik. Sebut saja salah satu yang terjadi di Klaten bantuan hand sanitizer yang bergambar wajah bupati. Inilah polemik negeri saat ini.

Sangat berbeda dengan Islam dalam menangani swasembada pangan. Dalam Islam negara berkewajiban untuk meningkatkan lahan pertanian agar tidak mengandalkan negara lain. Bahkan Islam melarang impor dalam bentuk apapun karena sangat berdampak buruk pada pertumbuhan pangan negara itu sendiri.

Negara Islam menerapkan tiga cara dalam mencapai swasembada pangan. Pertama, menghentikan aktivitas impor dan memberdayakan sektor pertanian. Kedua, menggalakan kebijakan intensifikasi dilakukan dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia dengan cara menyebarluaskan dan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani. Diantaranya membantu pengadaan mesin pertanian, benih unggul, pupuk, serta sarana pertanian lainya. Pengembangan IPTEK pertanian ini penting agar negara secara mandiri melakukan produktivitas pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

Negara harus memberikan modal bagi siapa saja yang tidak mampu, negara juga memberikan akses air secara gratis sebab, air merupakan kepemilikan umum yang menjadi faktor penting bagi irigasi pertanian.

Ditambah membuka lahan-lahan baru dan menghidupkan tanah mati, memerintahkan setiap orang agar memiliki tanah untuk bisa dikelola secara baik.

Ketiga, kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang penimbunan barang serta permainan harga di pasar. Pelarangan itu untuk menjaga stabilitas harga di pasar terjaga. Dan juga Islam akan memastikan tidak ada kelangkaan barang akibat larangan menimbun tersebut.

Inilah perbedaan penanganan swasembada pangan dalam sistem Islam dan sistem kapitalisme. Karena Islam memberikan kebijakan untuk kemaslahatan umat sedangkan kapitalisme tidak memperdulikan rakyatnya yang penting para oligarki diuntungkan. Sudah saatnya ganti sistem dengan sistem Islam kafah.

Wallahu a'lam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post