Harga Kedelai Mahal: Dampak Covid-19 atau Impor?


Oleh : Firda Faradilah

Tahu dan tempe sudah menjadi makanan pokok orang indonesia karena merupakan salah satu sumber protein yang paling terjangkau (murah) bagi rakyat menengah ke bawah. Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali menyampaikan kabar buruk mengenai kenaikan harga kedelai sebagai imbas naiknya harga kedelai dunia. Pemerintah mengklaim hal ini terjadi karena pasokan impor kedelai dari Brazil dan Argentina sedang mengalami gagal panen. Aneh, bagaimana Indonesia sebagai salah satu negara Agraris bisa kekurangan produksi kedelai dalam negeri dan mengimpor kedelai dari luar negeri, persoalan lama yang tidak kunjung didapatkan penanganannya. 


Indonesia adalah negara pengonsumsi kedelai tertinggi ke-dua di dunia setelah Cina. Data Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi orang indonesia dalam satu minggu bisa mencapai 0.15 kg dan tempe bisa mencapai 0,13 kg. Rata-rata konsumsi kedelai per tahun 2019 bisa mencapai 2,09 kg per orang. Jumlah konsumsi ini cukup tinggi dan diprediksi akan terus meningkat (Katada.co.id, 10/06/2021). 


Untuk saat ini, Mendag menjelaskan bahwa kebutuhan kedelai dalam negeri adalah tiga juta ton. Sementara, stok dalam negeri yang tersedia hanya 500-750 ton per tahun. Untuk menutupi kekurangannya, Indonesia mengimpor kedelai dari negara lain, terutama dari kawasan Amerika Selatan. Hal ini menunjukan bahwa negara Indonesia menjadikan negara-negara ini sebagai salah satu pemasok bahan pangan (kedelai).


 Sungguh ironis, bahwa Indonesia mengalami ketergantungan terhadap pangan impor dibandingkan lokal. Ditambah juga dengan para petani dalam negeri yang tidak terlalu tertarik untuk menanam kedelai karena harga jualnya yang murah. Hal ini terjadi akibat perbedaan kualitas yang sangat mencolok dari kedelai lokal dan impor. 


Melihat masalah yang sudah begitu kompleks terjadi, maka untuk mengatasi kebutuhan kedelai yang cukup tinggi pemerintah mengimpor kedelai dari luar. Lalu, apa kabar dengan janji Swasembada kedelai? Apakah akan terealiasasikan?


Sungguh miris, tahu tempe yang kita konsumsi selama ini ternyata hasil impor kedelai dari luar negeri. Inilah konsekuensi yang harus kita tanggung jika membuka peluang investasi dan pinjamana luar negeri terlalu lebar. Dimana, ketika suatu negara terjebak hutang yang diterimanya, maka, potensi investasi dari negara penanam modal dan pemberi hutang sangat besar sehingga akibatnya usaha rakyat dalam negeri yang terancam karena bahan-bahan yang dibutuhkan berasal dari bahan impor yang sangat mahal. Ditambah kenyataan bahwa kurang minatnya petani Indonesia menanam kedelai karena harga jual yang rendah. Sedangkan kebutuhan kedelai tinggi sehingga untuk mengatasinya pemerintah Indonesia sangat ketergantungan dengan kedelai impor untuk memproduksi tempe. 


Imbas dari kenaikan harga kedelai dunia yang terus berulang ini menyebabkan para produsen tahu tempe dalam negeri terancam dan akibatnya mengehentikan produksi daripada bertambah rugi. Makanya pada awal pandemi tahun lalu keberadaan tempe dan tahu sangat langkah di pasaran akibat harga kedelai dunia melonjak. Sementara, janji pemerintah untuk Swasembada kedelai tidak bisa dipenuhi dengan alasan refuccing anggaran untuk penanganan Covid yang melanda negara ini. Hal ini menegaskan ketidakseriusan pemerintah untuk penanganan kemandirian pangan.


Kemudian, dalih refuccing anggaran Covid-19 dijadikan sebagai salah satu alasan mahalnya harga kedelai. Terdengar kurang bijak memang, jika dilontarkan oleh pemerintah yang pada dasarnya kedua masalah tersebut merupakan urusan yang wajib diselesaikan oleh pemerintah, yakni menangani wabah dan menstabilkan harga. Bukan malah menjadikan salah satu masalah sebagai dalih ketidak-mampuan pemerintah dalam menyelesaikan masalah. Belum lagi situasi selama pandemi ini seringkali dijadikan oleh beberapa oknum sebagai ladang mencari keuntungan, misalnya dalam bidang politik. Bukankah ini menunjukan ketidakfokusan terhadap masalah yang dialami umat?


Berbeda dengan solusi yang diberikan Islam. Ketika masa kekhilafahan, negara menjamin ketahanan pangan umatnya, termasuk selama dan sesudah wabah. Dalam Islam, negara adalah penanggung jawab paling utama yang mengatur kebutuhan pangan rakyatnya. Islam sangat paham mengenai masalah ini. Oleh sebab itu, kebijakan pangan sangat bergantung terhadap kemandirian negara. Kunci utamanya ada pada politik pertanian yang mengacu pada peningkatan produksi pertanian dan adanya distribusi pangan.


 Untuk mewujudkan kemandirian negara dalam sektor pangan, Pemerintah memberhentikan aktivitas impor dan melakukan peningkatan sumberdaya pada sektor pertanian. Apalagi kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara Agraris yang memilki lahan pertanian yang cukup luas. Jika hal ini dilakukan, maka kebutuhan pangan akan terpenuhi dan negara tidak akan mudah membuka jalan untuk melakukan impor bahan pangan dari luar negeri. Sehingga, sektor pertanian sudah mandiri dan bisa memenuhi kebutuhan sendiri jika suatu saat ada masalah seperti wabah. 


Selain untuk membantu dalam hal menghadapi wabah, kemandirian di sektor pangan bisa dimanfaatkan negara untuk memajukan ilmu pengetahuan dan memenuhi kebutuhan dalam hal teknologi dalam bidang pertanian serta membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk dan sarana produksi pertanian lainnya.


Setelah sektor pertanian mandiri, maka negara tidak boleh melakukan ekspor bahan pangan ke luar negeri setelah kebutuhan pokok setiap individu dalam negeri terpenuhi dengan baik. Mulai dari pemberian modal , sampai dengan pengadaan lahan untuk dapat diolah secara mandiri oleh umat. Setelah kebutuhan umat terpenuhi, maka negara akan susah menemukan rakyatnya yang mengalami kesusahan, semua rakyat akan terjamin dan hidup sejahteraan.


Sungguh, kita rindu akan kembalinya sistem Khilafah dalam hidup kita, sistem Islam yang telah terbukti menyejahterakan. Sebab, ketika Islam diterapkan Allah akan melimpahkan keberkahan dari langit dan bumi. Maa Syaa Allah.

Post a Comment

Previous Post Next Post