Berulangnya Kasus Tawuran Antarpelajar, Koreksi Total Sistem Pendidikan


Penulis: Nur Octafian NL. S.Tr.Gz 
(Pemerhati Sosial)_ 

Tawuran antarpelajar berulang untuk kesekian kalinya, konflik sosial remaja seperti tawuran kerap kali terjadi. Ada apa dengan sistem pendidikan di negeri ini? Rupanya inilah wajah asli dari sebuah sistem pendidikan sekuler. 

Padahal sudah sederet peraturan dilahirkan seperti aturan yang memberi panduan pencegahan dan penanganan tindakan kekerasan di lingkungan pendidikan, yaitu Permendikbud, tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan, serta Permendikbudristek, tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kemudian Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja). Selain itu kurikulumpun sudah sering berganti, tentu saja ini semua upaya untuk mencegah tindakan kekerasan di lingkungan pendidikan.  

Namun, ternyata regulasi tersebut tidak cukup mampu menanggulangi kenakalan remaja yang kian meresahkan. Data KPAI mencatat, terdapat 17 kasus kekerasan melibatkan peserta didik dan pendidik. Kasus yang terbanyak ialah tawuran antarpelajar.

Di lansir dari detik.com (27/2/2022) Tim Patroli Perintis Presisi Polres Metro Depok menangkap tujuh anak muda yang hendak tawuran. Para ABG itu diketahui tengah siaran langsung di media sosialnya untuk mencari lawan tawuran.
 
Serupa itu juga, Anggota Satlantas Polres Semarang menggagalkan aksi tawuran yang melibatkan sejumlah siswa SMP, di jalan utama Bawen-Salatiga, di wilayah Desa Asinan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang. Republika.Co.Id (15/2/2022)

Kasus tawuran bukan saja satu problem dalam dunia pendidikan, permasalahan lainnya menambah daftar panjang buramnya pendidikan di negeri ini. Tawuran, pergaulan bebas dan penggunaan obat terlarang adalah satu contoh kegagalan sistem pendidikan sekuler. Generasi mengalami penurunan moral dan hilangnya jati diri.

Fenomena kerusakan yang terjadi di tengah pendidikan negeri ini yang kerap kali berulang bukan saja terjadi karena kebetulan ataupun kesalahan individu semata, tapi lebih kepada kesalahan sistematis yang haruslah menemui akar permasalahannya. 

Menilik fenomena kenakalan remaja saat ini, tidak lain dan tidak bukan penyebabnya ada dua, yaitu faktor internal dan eksternal.

Faktor internal adalah hilangnya identitas hakiki diri remaja sebagai seorang hamba Allah yang diakibatkan sistem kehidupan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Mereka menanamkan hedonisme yang memandang kehidupan ini sekedar tempat bersenang-senang.

Akidah sekuler yang menjauhkan remaja dari aturan agama menjadikan mereka terombang-ambing dan terbawa arus. Menjadikan remaja pembebek. Jadilah remaja kita tak berakhlak, gemar bermaksiat, dan berperangai buruk, batinnya pun kosong dengan nilai Islam.

Maka tak heran, remaja yang terlahir dan terdidik dari sistem sekuler ini sangat bringas, mudah untuk kemudian mengalami frustrasi, tidak stabil, sangat mudah emosi. Tidak ayal, banyak di antara remaja mengalami depresi hingga berakhir bunuh diri. 

Adapun faktor eksternal terbagi menjadi tiga aspek, yaitu keluarga, lingkungan masyarakat dan negara. Faktor keluarga ialah cara pandang kedua orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Jika paradigmanya adalah hedonisme, sekuler kapitalistik, maka anak-anak akan tumbuh menjadi generasi sekuler pula yang tentunya hanya berorientasi pada materi semata yaitu kesuksesan duniawi.

Hal ini karena masa remaja adalah fase krusial dalam kehidupan manusia. Masa dimana mereka mengalami transisi dari fase anak-anak menuju dewasa. Maka tak heran di fase ini mereka cenderung labil, tingkat keingintahuan mereka meningkat. Maka pada masa inilah peran orang tua sangat mereka butuhkan untuk membimbing dan membina mereka menjadi berkepribadian mulia. Ini agar para remaja tidak mudah terwarnai oleh arus sekularisasi dan liberalisasi.

Faktor lingkungan atau masyarakat pula sangat memengaruhi pembentukan kepribadian generasi. Jika generasi tersebut hidup dalam lingkungan yang agama sudah tak lagi menjadi pedoman hidup secara mutlak serta Islam tidak lagi menjadi standar dalam menilai perbuatan. Maka akibatnya, pergaulan remaja menjadi sangat bebas. Gaya hidup liberal dan hedonistik telah merasuk ke dalam diri para remaja. Bahkan, tak heran bila masa depan mereka di renggut paksa oleh keadaan.

Pemikiran sekulerisme inilah yang menjadi jalan bagi penjajah untuk tetap eksis menjajah negeri ini, meski bukan lagi dalam bentuk penjajahan fisik. Namun dengan menyasar generasi guna dirusak aqidah maupun akhlaknya, maka sudah dapat melanggengkan keberadaan mereka. Oleh karena tidak ada lagi generasi emas yang kritis dan vokal dalam menyuarakan kebenaran. 

Sedangkan faktor negara ialah penerapan kurikulum dan sistem pendidikan. Tugas negara adalah membangun suasana takwa pada setiap individu. Allah Swt telah mengingatkan secara jelas pentingnya mempersiapkan generasi muda yang kuat dalam berbagai sisi. Terutama dalam syariat Islam. Oleh karena itu, menyiapkan generasi muda yang memahami Syari’at Islam merupakan sesuatu yang tidak diragukan lagi urgensitasnya. Maka jelaslah selain keluarga dan lingkungan yang berperan penting, negarapun berkewajiban penuh melindungi generasi dari paparan ideologi sekuler kapitalisme yang jauh dari Islam yang dapat merusak kepribadian mereka.

Oleh karena itu ada cara pandang yang harus diubah oleh negeri ini, yaitu jika generasi rusak maka pemerintah harus dianggap gagal, sebab pembangunan sesungguhnya bukan hanya membangun infrastruktur. Pembangunan paling penting adalah pembangunan generasinya. 

Oleh karenanya, untuk menghasilkan generasi emas yang unggul, cerdas, dan bertakwa, tidak cukup dengan memangkas masalah cabang saja. Sementara, akar masalahnya— sekuler kapitalisme—masih tetap berdiri kokoh menjadi pedoman dalam menyusun kerangka kurikulum dan kebijakan pendidikan. Negeri ini harus mengevaluasi, serta mengoreksi total sistem pendidikan agar tawuran antarpelajar dan problem remaja lainnya dapat terselesaikan secara tuntas.

Pendidikan berbasis sistem Islam sangat berbeda dengan pendidikan berbasis sistem sekuler. Islam memandang generasi adalah aset negara, maka perhatian ini di wujudkan secara praktis di tiga tingkat institusi yang menerapkan Islam bagi anak. Yakni keluarga, lingkungan masyarakat dan negara. 

Pertama, keluarga. Dalam Islam orang tua telah ditekankan untuk membina keluarganya dengan ketaqwaan dan ketaatan. Orang tua berkewajiban memberikan bimbingan sejak dini pada anak-anaknya untuk kemudian mengenali hakikat dirinya sebagai seorang hamba Allah.  

Setiap keluarga yang menginginkan anak-anaknya cerdas dan bertakwa wajib menjadikan akidah Islam sebagai basis dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak, bukan yang lain. Setiap anak harus dibekali keimanan dan kecintaan yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan bekal iman inilah akan terbentuk ketakwaan dalam diri mereka yang dapat mencegahnya dari berbuat maksiat.

Kedua, lingkungan masyarakat. Islam memerintahkan agar masyarakat hidup dalam kondisi saling taawun, amar maruf nahi munkar, agar masyarakat selalu dalam suasana keimanan dan ketaatan bukan saling menunjukkan eksistensi dengan jalan yang salah seperti tawuran, sehingga tentunya perilaku masyarakat akan selalu kondusif dan suasana tersebut akan berdampak positif pada anak. 

Ketiga, negara. Tugas negara adalah menyelenggarakan pendidikan secara komprehensif. Negara wajib menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, mulai dari sarana dan prasarana, pembiayaan pendidikan, tenaga pengajar profesional, hingga sistem gaji guru yang menyejahterakan. Dan terpenting kurikulumnya berbasis akidah Islam yang akan membentuk generasi yang memiliki syaksiyah Islam yaitu generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam. 

Pada masa Khilafah Islam, telah banyak lahir generasi cemerlang yang unggul. Tidak hanya unggul dalam ilmu saintek, mereka pun sukses menjadi ulama yang faqih fiddin. Keseimbangan ilmu ini terjadi karena menjadikan Islam sebagai asas dan sistem yang mengatur dunia pendidikan.
Wallahualam.

Post a Comment

Previous Post Next Post