Untaian Doa


By Rumaisha

Dini hari yang menyejukkan. Hembusan angin menyatu dengan desahan nafas. Bertafakur sejenak, adalah sarana yang efektif bagi seorang hamba untuk berdialog dengan Allah Swt.

"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"

Siti terpaku sejenak, ketika membaca Surat Ar-Rahman dan isi yang dikandungnya. Pelan-pelan hatinya mulai merasakan ketenangan yang luar biasa, sudah lama ia tidak merasakan hal seperti itu. Hatinya  merasa ada kedekatan kembali dengan Sang Pencipta, yang akhir-akhir ini mulai luntur terkikis oleh rasa kecewa menerima qadha. 

Semenjak suaminya meninggal lima tahun yang lalu, dia merasa Tuhan tidak adil terhadap dirinya. Siti belum sepenuhnya rida terhadap ketetapan Allah Swt. atas diri dan keluarganya. Astagfirullah! Siti mengucapkannya berkali-kali.

Pagi itu, ia dan kedua anaknya, Ikmal dan Salsabila sedang sarapan. Kebiasaan di keluarganya sebelum berangkat keluar rumah diwajibkan untuk sarapan terlebih dahulu. Sarapan sangat baik untuk menjaga tubuh ketika seharian melakukan aktivitas.

"Bu, Ikmal ingin kuliah, sebentar lagi kan beres mondoknya," katanya tiba-tiba, sambil melihat ke arah ibunya dengan tatapan cemas.

Siti melihat kepada anaknya dengan lembut. Surat Ar-Rahman yang tadi subuh dibacanya melintas seketika.

"Iya Nak, emang mau kuliah di mana?" Siti memandang kepada anaknya.

"Universitas Al-Azhar, Mesir, Bu. Kata teman-teman banyak beasiswa untuk kuliah ke sana, Restu tinggal ikut tes."

"Dan menyiapkan sedikit biaya untuk tambahan saja," kata Restu, seakan ingin meyakinkan ibunya.

Universitas Al-Azhar adalah salah satu pusat intelektual yang masyhur di Kairo. Kampus ini terbentuk sejak masa Dinasti Fatimiyah, yang menguasai Mesir periode tahun 909-1171. Kota yang terletak di daerah delta Sungai Nil ini sejak zaman dulu menjadi pusat peradaban dunia. Sebuah peninggalan yang luar biasa dari peradaban Islam yang agung. Sampai sekarang masih berdiri dengan kokoh.

Universitas Al-Azhar, Perguruan Tinggi yang banyak diminati mahasiswa dari seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Universitas Al-Azhar menyediakan beasiswa bagi siapa saja yang hendak kuliah di sana, dengan catatan lulus seleksi.

"Iya, Nak. Doakan Ibu mempunyai rezeku untuk bisa menyekolahkan kamu ke sana. Kamu juga harus istikharah minta yang terbaik. Semoga Allah Swt. memberikan pilihan untuk kebaikan dunia dan akhirat."

"Iya, betul, kamu harus belajar yang baik dan berdoa, biar dapat beasiswa," kata Salsa ikut nimbrung.

Ikmal dan Salsabila baru saja pergi sekolah. Tinggallah Siti termenung seorang diri. Dia bingung, satu sisi dia ingin memenuhi keinginan anaknya untuk menuntut ilmu ke Mesir, di sisi yang lain dia tidak punya biaya yang cukup. Menurutnya, mewariskan ilmu lebih baik daripada mewariskan harta.

Meminta bantuan kepada keluarga almarhum suaminya, ah, Siti tidak ingin memelas dan minta belas kasihan mereka. Seharusnya mereka faham, bahwa kewajiban  nafkah anak-anak ada di pundak mereka, pihak ayahnya. Tetapi apalah daya, mereka tidak memahami hukum Islam terkait jalur nafkah. Ah, seandainya ada pemimpin yang menerapkan hukum Islam. Pikirnya sambil membereskan sisa sarapannya.

Dari peninggalan warisan suaminya, Siti akhirnya memutuskan untuk melakukan bisnis kecil-kecilan. Kebetulan ada seorang sahabatnya yang punya toko herbal. Siti akan memulai bisnisnya dengan berjualan macam-macam herbal. Tekadnya sudah bulat.

Bismillah. Siang itu matahari tepat di atas kepala. Panasnya sengatan matahari tidak menyurutkan Siti untuk keluar rumah. Semangatnya membara. Dia akan bisnis herbal untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk tambahan biaya sekolah anaknya.

Obat herbal, saat ini banyak diminati oleh masyarakat. Biaya kesehatan yang sangat mahal, menyebabkan banyak orang mencari obat alternatif yang terjangkau. Menurut sebagian orang, herbal aman dari bahan kimia.

Begitulah, sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Pemerintah abai terhadap kesehatan rakyatnya. Padahal, kesehatan adalah hak mendasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara.

"Eh, Bu Siti, perlu herbal apa?" kata Pak Yusup pemilik herbal.

Siti menyebutkan satu-persatu catatan herbal yang diperlukannya. Dengan cekatan Pak Yusup mengemasnya dalam sebuah kardus, biar memudahkan untuk membawanya.

"Bu, nanti ada pameran herbal. Kalau Ibu berminat, kita bisa berbagi lapak, biar agak ringan biaya sewanya," kata Pak Yusup sambil menghitung belanjaan.

"Boleh Pak, alhamdulillah, semoga pamerannya rame ya."

Menjelang asar, Siti sampai di rumahnya. Ikmal dan Salsabila sudah menunggunya. Mereka kaget dengan setumpuk herbal yang ia bawa.

"Ibu, jadi bisnis herbalnya?" tanya Salsa  dengan wajah penasaran.

"Iya, Nak. Doakan saja supaya lancar usahanya."

"Nanti Ikmal bantuin promosikan di online," celetuknya. 

Siti bersyukur mempunyai anak-anak yang soleh dan solehah. Selalu membantu ibunya, saling meringankan satu sama lain. Inilah doa yang senantiasa ia panjatkan kepada Allah Swt.

"Robbana hab lana min azwaajina wa dzurriyyatina qurrota a'yun wal'alna lil muttaqiina imaam! Wahai Tuhan Kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa!"

Siti tidak pernah mengeluh dengan apa yang dijalaninya. Pagi-pagi, ia sudah membuka kios herbalnya. Ruang tamu yang disulapnya menjadi kantornya, memudahkan ia untuk melakukan aktivitas. Sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Kewajibannya untuk menuntut ilmu dan berdakwah juga dijalani dengan kesungguhan.

Suatu pagi, siti mendapat kabar dari Pak Yusuf bahwa, pameran herbalnya tidak jadi dilaksanakan. Alasannya, karena pandemi Covid-19  yang masih masif, jadi panitia memutuskan untuk menunda pamerannya. Padahal, ini harapan Siti untuk menambah biaya anaknya pergi ke Mesir.

"Ibu, Ikmal lulus tes beasiswa ke Mesir," serunya. Terlihat rona bahagia di raut wajahnya.

"Alhamdulillah Nak. Ibu bersyukur, semoga apa yang menjadi impianmu tercapai."

Tidak terasa air mata bahagia menetes di pipinya. Semoga saja semua usahanya selama ini bisa mencukupi kebutuhan tiap bulannya selama Ikmal di sana. Siti berharap, warisan ilmu yang ia berikan kepada anak-anaknya akan bermanfaat untuk hidupnya kelak. Siti tidak bisa memberikan warisan harta yang berlimpah, karena keterbatasan ekonominya.

Malam itu, Ikmal tidur dalam keadaan suka cita. Senyuman tersungging di bibirnya. Siti dan anaknya yang sulung berpelukan sangat erat. Siti berdoa semoga Allah Swt. senantiasa memberinya kesehatan sehingga bisa menjaga buah hatinya. 

Di luar, bulan bersinar indah, menidurkan setiap insan dalam pelukan malam yang gelap. Siti pun terlelap dalam tidurnya, dengan sejuta harapan di dadanya. Semoga perubahan besar terjadi kala bangun di pagi hari. 

Tamat

Post a Comment

Previous Post Next Post