Pengesahan UU IKN untuk Kepentingan Siapa?



Oleh Syahrini

Undang-undang Ibu Kota Negara (IKN) telah disahkan oleh DPR pada 18 Januari 2022. Salah satu elemen penting dari UU ini adalah pemindahan ibu kota negara yang sebelumnya berada di DKI Jakarta akan dipindahkan ke Nusantara. Kota yang direncanakan menjadi pusat pemerintahan Indonesia, terletak di kabupaten Penajam Paser Utara dan kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Pemindahan ibu kota sebetulnya tidak ada dalam visi misi presiden, tidak ada pula dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2005-2025 (kompas.tv, 18/1/22). Wacana pemindahan ibu kota mulai bergulir sejak pidato presiden pada 26 Agustus 2019, lalu sempat redam karena negara dihantam pandemi. Lalu pembahasannya dikebut kembali sejak September 2021. 

Publik menilai pengesahan UU IKN terlalu terburu-buru serta minim partisipasi dan konsultasi publik. Sejak penyerahan draft hingga ketok palu, proses RUU IKN hingga menjadi UU IKN hanya 42 hari saja.

Mengapa Dikebut?
Pemerintah menyebutkan, pulau Kalimantan lebih potensial untuk menjadi wilayah ibu kota dibanding pulau Jawa. Selain lokasinya yang berada di tengah-tengah Indonesia. Pulau Kalimantan dipandang minim resiko bencana. Alasan lain di balik pemindahan IKN adalah ketersediaan lahan negara hingga 180 ribu hektar, serta sebagai upaya pemerataan ekonomi agar perekonomian tidak beputar Jawa-sentris. Pulau Kalimantan dianggap tepat karena profil wilayah ibu kota baru akan dekat dengan kota yang sedang berkembang, yakni Balikpapan dan Samarinda.

Meskipun alasan-alasan tersebut nampak masuk akal, kritik terhadap UU IKN terus bergulir dari berbagai pihak. Pindah ibu kota saat pandemi masih melanda dinilai bukan langkah yang bijak. Terlebih lagi, inkonsistensi pemerintah dalam menetapkan sumber anggarannya. Awalnya, pemerintah menyampaikan skema pendanaan pindah ibu kota sejumlah Rp 466 triliun akan diambil dari 19,2% APBN dan 80,8% dari KPBU (Kerjasama Pemerintah & Badan Usaha) dan investasi swasta. Namun, tak lama kemudian dimuat dalam laman resmi IKN, skema pendanaan pindah ibu kota direvisi menjadi 53% diambil dari APBN. (kompas.com, 19/1/2022).

Selain dikritik karena persoalan skema anggaran, rencana pemindahan ibu kota juga dinilai minim pertimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Kalimantan punya riwayat banjir pada tahun 2021 karena perpaduan curah hujan yang tinggi dan kenaikan air laut. Pemindahan IKN dikhawatirkan akan semakin merusak ekologi di pulau Kalimantan. Ketika DKI Jakarta diprediksi tenggelam 2050, semestinya upaya yang dilakukan pemerintah adalah menyelesaikan masalah tersebut dari sumbernya, bukan malah melarikan diri dan membuat masalah baru.

Namun, pendapat sejumlah tokoh, akademisi dan segenap rakyat rupanya tidak ada pengaruhnya bagi ambisi pemerintah meneruskan mega proyek IKN ini. Gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan dilakukan para tokoh juga menyisakan harapan sangat kecil mengingat pengalaman sebelumnya saat pemerintah berambisi mengesahkan UU Minerba lalu dilaporkan ke MK, putusan yang dikeluarkan hanyalah status inkonstitusional bersyarat.

Benarkah Mewakili Rakyat?
Jargon demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat rupanya hanya jargon belaka. Jika rakyat ramai-ramai menolak UU IKN, lantas mengapa DPR yang mengaku mewakili rakyat malah bersekongkol mengambil keputusan yang mengkhianati rakyat? Siapakah yang ingin diuntungkan dari mega proyek pemindahan ibu kota?

Di Balik Pengesahan UU IKN

Temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) rupanya memberi benang merah atas banyak kecurigaan mengenai pemilik kepentingan di balik UU IKN. Lahan IKN sebanyak 180 ribu hektar yang diakui pemerintah di berbagai media sebagai lahan negara, nyatanya telah mengantongi izin usaha. Konsesi kehutanan yang mendapat perizinan di antaranya: Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. International Timber Corporation Indonesia Kartika (PT. IKU) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) PT. International Timber Corporation Indonesia Hutani Manunggal (PT. IHM).

 Mantan menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro membenarkan bahwa PT. IHM milik Sukanto Tanoto seluas 6 ribu hektar digunakan pembangunan IKN tahun pertama (detikFinance, 18/9/2019).

Tentu menjadi pertanyaan, apakah perusahaan pemegang izin tersebut akan rela angkat kaki dari kawasan IKN, atau akan mendapatkan kompensasi sebagai imbalan ganti rugi?

Titik kritis lain di balik proyek IKN adalah adanya lubang bekas tambang yang ditinggalkan para korporasi dan belum direklamasi di kawasan IKN. Melansir dari idn.times, (19/1/2022) Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menyampaikan, “menurut catatan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) Kaltim terdapat 94 lubang tambang yang berada di kawasan IKN. Seharusnya tanggung jawab untuk melakukan reklamasi pasca tambang adalah korporasi. Namun, kini korporasi tersebut tidak perlu pusing. Lantaran, sejak IKN masuk proyek strategis negara, maka tanggung jawab reklamasi akan dilakukan pemerintah.”

Berdasarkan uraian tersebut, tidak berlebihan jika dikatakan bukan rakyat yang diuntungkan dari UU IKN. Mega proyek ini akan lebih banyak bertransaksi dengan pemilik konsesi. Para korporasi dan pemilik perusahaanlah yang akan bernegosiasi dengan pemerintah termasuk ‘pemutihan’ bekas tambang yang seharusnya direklamasi. Jelaslah, pemindahan IKN sarat dengan kepentingan kapitalis oligarki. Para pemilik modal dapat diuntungkan dari kompensasi lahan, pembangunan sarana dan prasarana di IKN, maupun penyewaan dan penjualan aset-aset negara di IKN lama.

Pemindahan Ibu Kota dalam Islam

Dalam sejarah Daulah Islam, pemindahan ibu kota terjadi sebanyak 12 kali. Diawali di Madinah dan berakhir di Turki. Pemindahan Ibu kota dilakukan oleh khalifah dengan berbagai pertimbangan politis. Misalnya, Ali bin Abi Thalib memindahkan ibu kota ke Kufah (Irak) untuk memudahkan administrasi wilayah kekhalifahan yang bertambah luas sejak kebijakan ekspansi oleh Umar bin Khattab. Atau saat Sultan Muhammad al-Fatih memindahkan ibu kota ke Konstantinopel karena wilayah tersebut merupakan kawasan perdagangan internasional, adanya keinginan meruntuhkan dominasi Byzantium Romawi Timur di kawasan Timur Tengah, serta menegaskan kekuatan pengaruh Islam di dunia internasional. 

Jadi, dalam Islam pemindahan ibu kota memiliki tujuan politis, yakni untuk memperkuat pengaruh negara Islam dan mempermudah pengurusan umat, bukan malah menjadikan negara sebagai sandera dan rakyat yang jadi korban.

Selain itu, pemindahan ibu kota dalam Daulah Islam tidak dilakukan pada kawasan mati yang tak punya infrastruktur sama sekali, tetapi memilih kawasan yang sudah maju baik dari aspek pembangunan fisik maupun SDM.  

Hal ini dapat memperkecil biaya yang dibutuhkan karena di wilayah ibu kota baru telah tersedia fasilitas yang memadai. Kalaupun perlu dilakukan pembangunan infrastruktur tambahan, maka tak perlu mencari investor. Apalagi sampai mengambil utang riba dari luar negeri karena sumber pemasukan Daulah Islam telah jelas; ada fa’i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, serta pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya. Pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang serta harta zakat. Juga tidak perlu ada mutasi pegawai besar-besaran, karena di ibu kota baru telah tersedia SDM yang unggul.

Demokrasi vs Islam

Pemindahan ibu kota yang terjadi saat ini adalah bukti tidak pekanya penguasa terhadap urusan rakyatnya. Inilah konsekuensi hidup dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Kebijakan yang diambil penguasa lebih mempertimbangkan untung dan rugi bagi pihaknya, bukan sebagai pengabdian tulus demi kebaikan rakyat yang dipimpinnya. Termasuk persoalan pindah ibu kota, nyatanya yang akan banyak meraup keuntungan adalah para oligarki kapital. UU IKN yang disahkan meski cacat prosedur tak jadi soal, pun segenap penolakan dan pandangan dari para akademisi dan tokoh-tokoh bangsa tak juga diindahkan. 
Dalam sistem demokrasi, akan selalu ada lingkaran setan antara penguasa yang menyia-nyiakan amanah jabatan, untuk memberi keuntungan kepada oligarki dan korporasi, lalu keuntungan tersebut akan digunakan untuk pembiayaan politik dalam demokrasi. Siklus tersebut akan terus berulang. Rakyat dalam demokrasi hanya dimanfaatkan hak pilihnya dalam pemilu, setelahnya aspirasi rakyat tak lagi didengar. 

Berbeda halnya dengan sistem pemerintahan Islam. Sistem ini menempatkan rakyat sebagai pemilik sejati kekuasaan, sementara penguasa posisinya sebagai pemegang amanat untuk memimpin dan mengatur rakyat dengan syariat Islam.

Apakah kita akan tetap bertahan dengan sistem yang ada saat ini? Padahal nyata kerusakan yang ditimbulkan.
Wallahu a’lam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post