Pariwisata dalam Islam, Healing Tanpa Hilang


Oleh Ika Misfat Isdiana 
Aktivis Muslimah dan Ustadzah TPA di Jember

Ritual nyeleneh kembali terulang. Nur Hasan (35) warga Dukuh mencek yang diketahui memimpin ritual tersebut  mengawali prosesi dengan tabur bunga, peserta kemudian membentuk dua barisan dan saling bergandengan tangan. Selanjutnya rombongan bermaksud untuk mandi di air laut sebagai bentuk ritual menyucikan diri. Semua itu dilakukan dini hari, walaupun sebelumnya sudah diperingatkan petugas setempat. Dan naas, karena ombak besar datang menghanyutkan para korban.

Ada sebelas orang dilaporkan meninggal dunia dalam ritual laut di Pantai Payangan Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, Jember. Sementara tiga belas orang lainnya selamat. 

Menurut keterangan Bupati Jember, Hendy Siswanto, Padepokan Tunggal Jati Nusantara bukanlah nama asli dari padepokan tersebut. Nama aslinya adalah Garuda Nusantara, beranggotakan 40 orang, dan masih baru serta diduga tidak memiliki izin.

Sebagai langkah preventif, bapak bupati berjanji akan berkoordinasi dengan ulama setempat. Untuk mengedukasi masyarakat terkait praktik keagamaan. 

Wisata Klenik Membahayakan Masyarakat

Sering kita jumpai tempat-tempat wisata khususnya pantai selatan dijadikan sasaran praktik ritual klenik. Berkedok menyucikan diri, mencari ketenangan ataupun ngalap (meminta) barakah. Ritual tersebut lebih mendekati ritual pemujaan terhadap makhluk Allah yang lain, yakni jin penunggu pantai selatan. Mitos yang sejak lama berhembus di tengah masyarakat Jember,  yang lebih dikenal dengan sebutan 'Roro Kidul'.

Walau hanya beberapa kasus yang sampai mengorbankan jiwa, namun ada bahaya besar yang mengancam masyarakat. Yakni ancaman budaya animisme serta dinamisme. Budaya penyembahan primitif terhadap roh dan benda-benda yang dianggap keramat. Budaya yang menjerumuskan umat Islam pada kesyirikan. Dosa besar yang tak diampuni Allah. Tentu hal ini tidak kita inginkan. Karena dosa syirik akan mengundang murka Allah dengan munculnya banyak kerusakan (azab) di muka bumi.

Mengharap Sinergi Ulama dan Pemerintah

Janji bupati Hendy untuk bekerjasama dengan ulama untuk mengedukasi masyarakat terkait pemanfaatan wisata yang sesuai dengan Islam tentu sangat diharapkan oleh masyarakat. Pasalnya kebijakan dari pemerintah akan memberikan pengaruh yang lebih besar dan luas. 

Sementara peran ulama sungguh sangat penting. Sebagai pendidik masyarakat yang  kompeten dan dekat dengan umat. Wawasannya yang luas tentang tsaqofah Islam diharapkan mampu memberikan pemahaman yang benar terkait pemanfaatan wisata yang sesuai dengan Islam. Memberikan pemahaman yang jelas dan benar tentang ragam ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Teknis ibadah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah dan lain lain. 

Semua ini agar masyarakat tidak menyalahgunakan tempat wisata. Menjadikannya sasaran praktik ritual yang menyimpang dari Islam. Dan tidak ada lagi korban yang berjatuhan, akibat keawaman terhadap syariat Islam. Baik korban padepokan yang menyimpang, ataupun korban ritual yang membahayakan.

Teladan peradaban Islam mengelola tempat wisata 
Islam menjadikan prinsip dakwah dalam mengelola sektor pariwisata ini. Prinsip ini menjadikan negara tidak membiarkan pintu kemaksiatan masuk melalui sektor pariwisata. Selain itu pariwisata menjadi salah satu sarana yang menyenangkan untuk menggambarkan keagungan Islam kepada wisatawan non muslim. 
Sehingga obyek yang dijadikan tempat wisata ini, bisa berupa potensi keindahan alam, yang bersifat natural dan anugerah dari Allah Swt, seperti keindahan pantai, alam pegunungan, air terjun dan sebagainya. Bisa juga berupa peninggalan bersejarah dari peradaban Islam. Obyek wisata seperti ini bisa dipertahankan, sebagai sarana dakwah.

Ketika melihat dan menikmati keindahan alam, misalnya, yang harus ditanamkan adalah kesadaran akan kemahabesaran Allah, Dzat yang menciptakannya. Sedangkan ketika melihat peninggalan bersejarah dari peradaban Islam, yang harus ditanamkan adalah kehebatan Islam dan umatnya yang mampu menghasilkan arsitektur yang luar biasa. Obyek-obyek ini bisa digunakan untuk mempertebal keyakinan wisatawan yang melihat dan mengunjunginya akan keagungan Islam.
Namun, jika obyek wisata, yang merupakan peninggalan bersejarah tersebut bertentangan dengan Islam maka perlu dilihat, 

Pertama, jika obyek-obyek tersebut merupakan tempat peribadatan non muslim, maka harus dilihat: Jika masih digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan dibiarkan. Tetapi, tidak boleh dipugar atau direnovasi, jika mengalami kerusakan. Namun, jika sudah tidak digunakan sebagai tempat peribadatan, maka obyek-obyek tersebut akan ditutup, dan bahkan bisa dihancurkan. Bukan dimanfaatkan sebagai tempat wisata.

Kedua, jika obyek-obyek tersebut bukan merupakan tempat ibadah, maka tidak ada alasan untuk dipertahankan. Karena itu, obyek-obyek seperti ini akan ditutup, dihancurkan atau diubah.  Seperti dunia fantasi yang di dalamnya terdapat berbagai patung makhluk hidup, seperti manusia atau binatang. Tempat seperti ini bisa ditutup, patung makhluk hidupnya harus dihancurkan, atau diubah agar tidak bertentangan dengan peradaban Islam.

Sebagai contoh, ketika Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel, karena waktu itu hari Jumat, maka gereja Aya Shopia pun disulap menjadi masjid. Gambar-gambar dan ornamen khas Kristen pun dicat. Setelah itu, gereja yang telah disulap menjadi masjid itu pun digunakan untuk melakukan shalat Jumat oleh Muhammad al-Fatih dan pasukannya.

Itulah gambaran kebijakan peradaban Islam dalam mengelola pariwisata yang bisa kita teladani.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post