Melonjaknya Harga Kedelai : Negara Lalai?


Ummu Arrosyidah 

Setelah minyak goreng, tempe dan tahu langka di pasaran. Pengrajin duo olahan kedelai ini meluapkan kekecewaan mereka dengan aksi mogok produksi dari tanggal 21 hingga 23 Februari 2022. Mereka dipusingkan dengan harga kedelai yang melonjak. Perkilo kedelai mentah dibanderol dengan harga Rp. 12.000 dari harga semula Rp. 9.500 dalam beberapa bulan terakhir. 

Kenaikan harga kedelai disebabkan harga kedelai impor melonjak. Menteri Perdagangan, Muhammad Luthfi menjelaskan penyebab melonjaknya harga kedelai impor. Pertama, faktor cuaca buruk El Nina di Argentina yang menyebabkan gagal panen. Kedua, permintaan kedelai yang tinggi dari China. 

Langkah impor kembali diambil karena produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan. Indonesia memiliki stok kedelai 500 hingga 750 ton per tahun, sementara kebutuhan kedelai dalam negeri adalah 3 juta ton per tahun. Kementan mengakui bahwa Indonesia semakin bergantung pada kedelai impor. Selama periode 2015-2019, tingkat ketergantungan impor (Import Dependency Ratio/IDR) ada di 78,44%. (CNBCIndonesia, 12/01/2022).

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo mengatakan bahwa pihaknya kesulitan menggenjot produksi karena terbatasnya anggaran sebagai dampak refocusing anggaran penanganan pandemi Covid-19.

Akar Candu Impor
Candu impor kedelai telah terjadi sejak 1998. Pada 1998 sesuai kesepakatan yang tertuang dalam Letter Of Intens (LOI) dengan IMF, Peran Bulog sebagai pengelola persediaan dan harga beras, gula, gandum, terigu, kedelai, pangan dan bahan pakan lainnya harus dilepaskan.  Letter Of Intens tersebut dibuat sebagai syarat dari IMF yang telah membantu Indonesia mengatasi krisis ekonomi. 

Letter of Intens tersebut mengubah mindset pembuat kebijakan dari swasembada pangan menjadi pro impor. Keran impor dibuka lebar dengan menurunkan bea masuk impor produk pertanian pangan sebesar nol persen dan produk pertanian non pangan sebesar lima persen.  

Hal ini berdampak pada nasib pertanian dalam negeri. Lahan panen terus menyusut. Kementan menyebutkan bahwa alih fungsi lahan pertanian di Indonesia untuk proyek pembangunan jangka panjang seluas 60.000 ha setiap tahunnya.  "Angka sebesar itu nyaris setara dengan angka penurunan produksi sebanyak 300.000 ton produksi pertanian setiap tahun," kata Kepala Biro Humas dan Informasi Publik (Kementan) Kuntoro Boga Andri. (Republika.co.id, 13/01/2020)

Selain itu, benih unggul dan pupuk bersubsidi tidak tersedia. Harga jual ketika panen juga rendah. Berdasarkan data BPS, harga produksi kedelai di tingkat petani rata-rata sebesar Rp. 8.248 per kg. Sedangkan harga jual ke konsumen hanya Rp. 10.415 per kg.

Kebijakan tersebut tentu tidak lepas dari penerapan sistem ekonomi di negeri jamrud khatulistiwa, yaitu sistem kapitalisme. Kapitalisme menjadikan negeri ini tunduk di bawah dikte asing yang berniat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya meski harus mengorbankan rakyat. Sementara sekulerisme menjadi senjata ampuh memuluskan aksi tersebut. Aturan tidak didasarkan pada tuntunan sang Pencipta, tapi dibuat berdasarkan kepentingan para pemilik modal. 

Islam dan Pertanian
Islam memandang bahwa negara bertanggung jawab menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap individu rakyat. Pangan adalah salah satu kebutuhan asasiyah, maka menciptakan kedaulatan pangan adalah tugas besar negara. 

Dalam mewujudkan kedaulatan pangan, maka negara menetapkan beberapa kebijakan, baik kebijakan ekstensifikasi maupun intensifikasi. Kebijakan ekstensifikasi seperti peningkatan produktivitas lahan dan produksi pertanian. Upaya ini dilakukan dengan menghidupkan tanah-tanah mati. Dalam As Sunnah, Sayyid Sabiq memaparkan bahwa ihya al mawat itu merupakan penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif. Aktivitas menghidupkan tanah mati itu adalah dengan memanfaatkannya. 

Selain itu, negara akan mengambil alih bila ada tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun. Negara akan memberikan tanah tersebut kepada individu rakyat yang mampu mengelolanya. 

Kebijakan intensifikasi dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahman Al-Maliki dalam kitabnya As-Siyaasatu al-Iqtishodiyatu Al-Mutsla (Politik Ekonomi Islam). Kebijakan tersebut dengan optimalisasi lahan melalui pemanfaatan teknologi dan teknik-teknik modern, pengadaan benih dan budidayanya untuk meningkatkan hasil pertanian.  Negara  memberikan modal bagi petani yang tidak mampu sebagai hibah, bukan sebagai hutang. Hal ini agar petani mampu membeli alat, obat, maupun benih yang dibutuhkan oleh petani. 

Dalam menjamin pasokan pangan, Islam menetapkan mekanisme pasar yang sehat. Negara melarang praktik penimbunan, penipuan, praktik ribawi dan monopoli. Pengendalian harga dilakukan dengan kebijakan mekanisme pasar yaitu mengendalikan supply and demand bukan mematok harga.

Intervensi asing dalam pembuatan aturan juga terhindarkan karena dalam menjalin hubungan internasional, negara memiliki konsep yang khas. Kerangka politik internasional ini inheren dalam sistem Islam yang utuh pada sistem negara Islam (Khilafah Islam). Maka, negara tidak menjalin hubungan dengan negara kafir harbi fi’lan yang secara nyata memerangi kaum muslimin, terlebih berhutang pada mereka. 

Demikianlah tuntunan Islam dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan penerapan Islam secara kaffah. Wallaahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post