Kebijakan Ambigu Soal PTM, Korbankan Generasi



Oleh Rizkika Fitriani

Melonjaknya kasus Covid-19 yang diikuti dengan kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM) 50 persen menimbulkan gejolak di masyarakat. Kebijakan itu dirasa kurang tepat untuk pembelajaran siswa.  “Kalau PTM 50 persen itu pembelajaran tidak maksimal. Lebih baik tetap 100 persen dengan protokol kesehatan lebih ketat,” ujar Dewi salah seorang wali siswa.

Kebijakan pembelajaran 50 persen, justru akan membebani orang tua. Tidak hanya menyita waktu namun juga menguras tenaga. Mereka harus mengajari anaknya, sehingga banyak kegiatan lain yang tertunda. “Beban orang tua juga bertambah harus mengajari, padahal tidak semuanya punya waktu luang,” kata Dewi. (iNews.id, 6/1/2022)

Pendidikan di sekolah menjadi polemik di tengah arus pandemi. Masih menjadi dilema pada guru, orang tua, maupun murid itu sendiri. Kebijakan silih berganti seakan menjadi uji coba, namun nahas justru semakin memperburuk keadaan. PJJ sudah dilakukan, berbagai macam kendala menyerang seakan mendorong untuk mengeluarkan kebijakan PTM. PTM yang dilakukan dengan keyakinan pemerintah akan berjalan baik-baik saja dan merasa bahwa prokes sudah diperketat, sayangnya PTM tidaklah berjalan secara maksimal, karena sudah banyak memakan korban berjatuhan terkena pandemi yang menular. Kebijakan yang serba salah, hanya membuat masyarakat sengsara.

Setelah berjalannya PTM, banyak para orang tua yang mengkhawatirkan anaknya dikarenakan banyak berita tentang murid yang positif. Namun di satu sisi orang tua juga merasa terbebani ketika anaknya melakukan PJJ, karena bisa menambah perkejaan orang tua itu sendiri untuk membina anaknya selama PJJ.

Dari hal inilah seakan mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan sebagai solusi atas segala polemik saat ini. Namun justru kebijakan masih menekankan untuk PTM tetap dilaksanakan 50%. Sementara menanggapi desakan orang tua, Kemendikbud memberi pilihan pada orang tua apakah menyetujui PJJ atau PTM. Kebijakan ini justru membingungkan dan membuat standar pembelajaran tidak terkontrol karena setiap orang bisa menetapkan sesuai pertimbangan sendiri.

Inilah faktanya demokrasi yang membuat kebijakan ambigu yang asal jadi tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi. Padahal yang seharusnya menjadi fokus pemerintah yaitu mengatasi semua masalah dan kendala pembelajaran. Jika selama ini banyak murid yang terpapar, itu artinya prokes tidaklah diterapkan. Seharusnya pemerintah lebih memastikan dan memfasilitasi kebutuhan prokes, bukan hanya sekedar memerintahkan kemudian lepas tangan.

Lihatlah, betapa mirisnya dunia pendidikan yang terkena imbas pandemi akibat kelalaian dan ketidakseriusan pemerintah untuk menghentikan pandemi. Sudah banyak korban apalagi generasi penuntut ilmu juga ikut terpapar. Namun seakan semua masih baik-baik saja dengan dibukakannya penerbangan yang seakan dibebaskan. Padahal kalau dilihat dampaknya, sangatlah fatal dan berujung kesengsaraan.

Dengan diberikannya kebijakan kebebasan untuk memilih PJJ dan PTM, justru akan menimbulkan pembelajaran yang tidak maksimal ditambah lagi korban yang banyak berjatuhan. Percuma, kalau protokol kesehatan tidak diterapkan dan hanya mengandalkan sekolah itu sendiiri untuk menerapkan dan menyediakan kebutuhan prokes, karena tidak semua sekolah mampu, terkhusus bagi sekolah dikalangan bawah.

Seperti inilah situasi hidup dibawah kendali kapitalis, tidak akan serius dan tidak akan mampu memberikan solusi. Hanya Islam yang akan memberikan solusi hakiki, di mulai dengan keseriusan memberantas pandemi, kemudian bertanggung jawab mengatasi dampak akibat pandemi.
Termasuk pendidikan, karena pendidikan itu wajib dan penting untuk diberikan kepada generasi, maka pendidikan yang diberikan haruslah maksimal. Pendidikan di tengah arus pandemi juga harus dipastikan bahwa akan membawa kenyamanan tanpa ada rasa kegundahan.

Menanggapi soal pandemi yang melunjak, justru Islam tidak akan memaksakan untuk dilakukan PTM. Karena sudah bisa dipastikan akan membawa dampak bahaya dan akan memakan korban. Yang akan dilakukan yaitu PJJ. Selama PJJ maka dibutuhkan peran orang tua terutama seorang ibu yang memiliki tiga peran  (1) ummu warobatul bait (2) Madrasatul ‘Ula (3) Ummu Ajyal. Maka sudah kewajiban seorang ibu untuk melaksanakan perannya. Tidak ada lagi istilah merasa terbebani apalagi merasa bahwa akan mengganggu pekerjaan, justru bekerja bagi seorang wanita adalah mubah, yang diwajibkan yaitu menjalankan tugasnya yang disebutkan tiga tadi.

Namun jika memang situasi memungkinkan untuk PTM, maka Islam juga akan memastikan bahwa pembelajaran akan terjalin dengan aman dan nyaman dengan diperketat protokol kesehatan.

Demikian rinci peraturan dalam Islam, masih kah kita akan bertahan dengan kondisi yang ada?

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post