Demokrasi, Pemerintahan Paling Mahal dan Jahat Lahirkan Oligarki


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam AMK

Eforia demokrasi setiap lima tahun sekali, kembali akan digelar pada 2024. Gelaran yang menyita perhatian hampir seluruh rakyat Indonesia mulai ramai diperbincangkan. Akankah pesta demokrasi membawa perubahan kearah kebaikan atau kehancuran?

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan pemungutan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) akan digelar 14 Februari 2024, Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) Februari atau Maret 2024. Sedangkan, pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak digelar November 2024.

Untuk penyelenggaraan pemilu 2024 tersebut, KPU membutuhkan anggaran 86 triliun lebih. Sumber dana diperoleh dari APBN yang diambil secara bertahap.
Jumlah biaya yang sangat fantastis, ada peningkatan tiga kali lipat dibanding dana pemilu 2019 sebesar Rp25,59 triliun. 

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (Emil), mengaku ikut mencalonkan diri sebagai calon presiden (capres) 2024. Berencana 2023 masuk partai politik sebagai kendaraan politiknya menuju RI-I. Menurut syarat sistem demokrasi bahwa capres harus diusung oleh partai politik. Emil, juga mengungkapkan biaya nyapres mahal. Menurut riset dibutuhkan Rp8-9 triliun, ini duit dari mana, saya belum memiliki," kata Emil dalam acara Fisipol Leadership Forum: Road to 2024 yang diadakan oleh Fisipol UGM (2/12/2021).

Menurut Data Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarkat (LPEM) FE UI, memperkirakan besaran pengeluaran seorang caleg bervariasi antara Rp1,18 miliar sampai Rp4,6 miliar. Jumlah itu, berdasarkan penelitian Pemilu 2014. Bisa jadi, 2024 naik jadi tiga kali lipat.

Demokrasi, Sistem Pemerintahan Paling Mahal dan Jahat Lahirkan Oligarki, dapat dianalisis sebagai berikut:

Pertama, biaya yang mahal disebabkan oleh tuntutan persyaratan sistem demokrasi. Setidaknya ada tiga syarat untuk bisa menang dan terpilih, yakni (1) Elektabilitas dan kesukaan. (2) Ada logistik. (3) Capres harus diusung oleh partai politik sesuai sistem demokrassi di Indonesia. Semua itu, butuh modal untuk sarana dan prasarana. Di antaranya, jasa survei, konsultasi komunikasi pencitraan, jasa pengerah masa, jasa tim sukses pemenangan, jasa periklanan (dari baliho, billboard, iklan di media cetak, online, tv dan lainnya). Ironisnya, partai politik bisa dibeli hanya sebagai alat kendaraan. Money politics (politik uang) untuk massa pemilih. Bahkan, ada transaksional dengan para pihak terkait penghitungan suara. 
Pertanyaannya, dari mana calon mendapatkan dana?

Kedua, ada simbiosis mutualisme (kongkalikong). Bagi calon berduit tidak jadi masalah. Tapi, bagi capres atau caleg yang tidak berduit dananya diperoleh dari cara utang atau berselingkuh dengan pemilik modal. Padahal, tidak ada makan siang gratis. Ketika menang dan terpilih, terjadi kesepakatan politik balas jasa.

Ketiga, secara sistemik demokrasi melahirkan negara oligarki yang dibentuk dari simbiosis mutualisme politik dan pemilik modal yang mendukungnya. Akibatnya kebijakan atau UU yang dihasilkan bukan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk pemilik modal yang mendukungnya sebagai balas jasa.
Di sinilah kekuasaan akhirnya akan dikuasai dan disetir oleh pemilik modal (oligarki). Di sisi lain, penguasa dan wakil rakyat (DPR) yang dipikirkan balik modal, bagaimana mengembalikan investasi politik yang mahal sekaligus untuk mempertahankan kekuasaan.

Keempat, sistem demokrasi menjadikan uang atau modal sebagai panglima. Akibatnya, maraknya praktik suap-menyuap yang dapat mempengaruhi kebijakan politik, kolusi, manipulasi, dan korupsi untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Semua itu menjadi bertambah subur di negara penganut demokrasi seperti Indonesia. 

Kelima, uang sebagai panglima inilah, yang membuat sistem demokrasi menjadi sistem yang jahat. Sebab, melahirkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat, justru merugikan rakyat. Sebab, kebijakannya memihak pada pemilik modal (oligarki). 
Maka, tidak heran jika kita menyaksikan drama dalam sidang paripurna yang menghasilkan kebijakan yang justru melegitimasi kebijakan liberal. Contohnya kebijakan yang baru: UU Omnibus Law dan UU IKN. Meskipun banyak penolakan dari berbagai kalangan dan merugikan rakyat tetap saja jalan terus. Anehnya lagi, UU Omnibus Law yang melanggar konstitusi, vonis Mahkamah Konstitusi mandul. 

Itulah wajah buruk sistem demokrasi yang diagung-agungkan selama ini. Di samping berbiaya mahal dan jahat, inti kerusakan demokrasi adalah kedaulatan dan kekuasaan ditangan rakyat. Serta liberalisasi (kebebasan) sebagai pilarnya, dan sekularisme, yakni sistem yang menafikan agama untuk mengatur kehidupan dijadikan sebagai asasnya. Saatnya diganti dengan sistem Islam.

Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya “Ad Dimukratiyah Nizhamul Kufur” menjelaskan bahwa menurut Islam, as siyadah (kedaulatan) berada di tangan syariat bukan di tangan umat (rakyat). Artinya hanya Allah Swt. yang bertindak sebagai musyari’ (pembuat hukum). Penetapan halal dan haramnya suatu perbuatan adalah hak prerogatif Allah Swt.  

Sebagaimana firman Allah Swt. "Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang paling baik." (QS. al- An'am [6]: 57)

Allah Swt. berfirman, " Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka." QS. al-Maidah [5]: 49)

Karena itu, Allah menegaskan bahwa tidak ada pilihan bagi umat Islam, kecuali tunduk kepada hukum yang telah diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya saw. sebagai wujud keimanan.

Sejatinya syariat Islam telah menegaskan bahwa penguasa dipilih rakyat tidak lain hanya untuk menerapkan dan menjalankan hukum syarak (aturan Allah).

Adapun perkara memilih penguasa atau pemimpin telah dinyatakan di dalam nash-nash syariah. Begitu pun cara pelaksanaannya dengan jalan pembaiatan seperti yang dicontohkan oleh para khulafaur rasyidin. Adapun dari sisi teknis, sistem politik Islam pelaksanaannya lebih mudah, murah dan cepat. Tidak memerlukan biaya kampanye yang menghabiskan uang rakyat dan bebas dari politik uang apalagi kecurangan.

Wallahu’alam a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post