Lagi, Wacana Penghapusan Premium dan Pertalite, Kado Pahit di Tahun 2022


Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Belum tuntas kepanikan masyarakat dengan rencana pemerintah yang akan menaikan tarif dasar listrik, kini muncul persoalan baru berupa wacana pemerintah yang akan menghapus Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan Pertalite. Pasalnya pada masa peralihan, diharapkan pola konsumsi bahan bakar bensin jenis RON 88 atau Premium dapat diubah menggunakan BBM yang lebih ramah lingkungan, yakni BBM RON 90 (Pertalite) kemudian dilanjutkan shifting ke Pertamax.

Atas dasar ini pada tanggal 31 Desember 2021, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 117 Tahun 2021 yang mengatur ketentuan penyaluran dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tahun 2022. Perpres ini merevisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Beleid tersebut diterbitkan dengan pertimbangan untuk mendukung komitmen nasional dalam menurunkan emisi gas buang kendaraan bermotor serta mengoptimalkan penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak di seluruh Indonesia. (http://kompas.com, 3/1/2022)

Polemik pun tidak terhindarkan, mengingat rencana ini terjadi di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang semakin sulit akibat pandemi Covid-19. Peneliti Institute of Defelopment and Economics Finance (Indef) Abra Tallatov mewanti-wanti agar pemerintah memperhitungkan baik dan buruknya keputusan tersebut bagi kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Menurutnya, ketika Premium dan Pertalite ini dihapus pasti akan berdampak yang luar biasa besar bagi ekonomi dan sosial, karena masyarakat diharuskan mengeluarkan tambahan biaya dan pengeluaran. (Kontan.co.id, 28/12/2021).

Saat ini, dari laman resmi PT Pertamina (Persero), perusahaan menjual Premium dengan harga Rp.6.450 per liter di wilayah Jabodetabek, sementara itu Pertalite dijual dengan harga Rp.7.650. Adapun Pertamax adalah Rp 9.000, dan Pertamax Turbo yang memiliki RON 98 tersedia dengan harga Rp. 12.000 per liter. 

Andai premium dihilangkan, paling tidak Pertalite merupakan jenis BBM yang masih masuk akal secara harga. Akan tetapi jika keduanya dihapuskan, jelas masyarakat tertekan. Bagi masyarakat kecil, uang seribu, dua ribu itu berdampak besar untuk mereka, demi keperluan makan, keperluan keluarga, untuk anak sekolah dan sebagainya. Untuk itu, pemerintah terkesan memaksakan kehendak jika rencana ini terealisasi.

Memang sejauh ini premium, termasuk Pertalite tidak sesuai dengan lingkungan hidup terkait emisi gas buang, akan tetapi yang terpenting bagi masyarakat kecil adalah bagaimana mendapatkan harga BBM yang terjangkau untuk menggerakkan kegiatan ekonomi. Mestinya, jika pemerintah menghapus kedua jenis BBM di atas, harus menyediakan jenis lain seperti Pertamax dengan harga murah agar pemenuhan hajat hidup masyarakat tetap berjalan dengan baik. Bukankah negeri ini memiliki sumber daya strategis migas yang melimpah? 

Benar, negeri ini dianugerahi oleh Sang Pencipta dengan Kekayaan Alam yang melimpah, termasuk energi minyak dan gas bumi. Sayangnya, masyarakat lokal tidak menikmati potensi tersebut akibat liberalisasi energi yang semakin dalam. Lahirnya UU yang melegalkan pengelolaan migas dengan bebas seperti dalam UU Migas ataupun UU Minerba sebagai payung hukum bagi swasta untuk mengeksploitasi sumber daya migas di Indonesia. Lebih lanjut, mereka semakin menguasai berbagai sektor dalam negeri hingga pengelolaan migas dan penjualan BBM. 

Sungguh berat menjadi rakyat di negara Indonesia ini. Persoalan demi persoalan tumpang tindih mengusik kehidupan rakyat. Tatkala rakyat masih berjibaku untuk mengembalikan kehidupan yang luluh lantak akibat pandemi Covid-19, perekonomian masih guncang, tarif listrik naik, pajak naik, dan sekarang BBM jenis premium akan dihapus. Dengan ini swastalah yang mendapatkan keuntungan berlipat-lipat.

Inilah kesalahan tata aturan kapitalisme-liberal, beragam dalih yang dihadirkan pemerintah sebagai jalan penyelesaian sekadar solusi tambal sulam. Pada dasarnya, mereka bekerja bukan untuk mengurusi urusan rakyat, melainkan mengurusi urusan pemodal, baik lokal bahkan asing demi keuntungan sesaat tanpa memikirkan nasib rakyatnya. 

Padahal, seharusnya potensi SDA dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat, termasuk penyediaan bahan bakar transportasi yang mudah dan terjangkau. Pertamina sebagai BUMN yang mengelola BBM, harus berorientasi pada pelayanan rakyat dengan sebaik-baiknya. BBM sebagai SDA umum harus dinikmati seluruh rakyat di negeri ini. Bukan segelintir orang berduit demi kepentingan pribadi semata. Akan tetapi hal seperti ini mustahil terjadi dalam kepemimpinan kapitalisme-liberal. Sebab sifat bawaannya memang tidak untuk mempertanggungjawabkan amanahnya. 

Tidak ada jalan lain untuk menghadirkan solusi atas persoalan ini, kecuali mengambil Islam dengan aturannya yang sempurna dan terbaik.

Terkait kebijakan pemimpin Islam, orientasinya adalah mewujudkan kemakmuran rakyat. Semua SDA dikelola secara mandiri oleh negara dengan tenaga kerjanya dari rakyat itu sendiri. Dalam situsi ini, bukan hanya dapat menjamin ketersediaan BBM untuk rakyat dengan mudah, bahkan memenuhi kebutuhan rakyat secara menyeluruh.

Jika aturan Kapitalisme hanya menjadi biang kesengsaraan umat, mari menerapkan aturan Islam dalam segala aspek kehidupan agar terwujud kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Wallahu'alam bi showwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post