HARGA KOMODITAS NAIK RUTIN, KAPAN STABIL?

Oleh : Ummu Nadzif


Harga minyak goreng, cabai hingga telur terus mengalami peningkatan menjelang akhir tahun kemarin. Ketiga bahan pokok yang tidak bisa dihindari oleh hampir semua keluarga Indonesia. Dan sedihnya kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok ini secara rutin terjadi di setiap menjelang nataru dan juga lebaran idul fitri. 

Peneliti Core Indonesia, Dwi Andreas mengatakan saat ini harga-harga komoditas tersebut telah melewati batas harga psikologis. Harga cabai di tingkat konsumen telah tembus Rp 100.000 per kilogram. Harga minyak goreng curah sudah lebih dari Rp 18.000 per kilogram dan harga telur yang mencapai Rp 30.000 per kilogram. Andreas menjelaskan kenaikan harga cabai ini dipicu fenomena alam la nina yang membuat para petani banyak yang gagal panen. Sementara permintaan di akhir tahun selalu tinggi, sehingga hukum ekonomi berlaku.

Sesuai hukum permintaan dan penawaran, jika permintaan meningkat sementara penawaran kecil atau persediaan barang tidak ada, otomatis harga akan naik. Maka Langkah yang paling logis adalah memastikan stok aman agar harga tidak melonjak naik. Diantara penyebab stok kurang adalah permainan para pengepul. Sedangkan mengenai kenaikan harga minyak disebabkan karena meningkatkan permintaan sawit di luar negeri dan para pengusaha sawit berusaha meraup keuntungan dengan mengekspor sawit ini ke luar negeri.

Jika penyebab sudah diketahui, bukankah Langkah antisipasi dan penanganan sudah nyata di depan mata. Terlebih begitu banyak pakar dan juga ada Dinas khusus yang menangani hal tersebut.

Lantas pertanyaan yang selalu tidak terjawab setiap tahun adalah mengapa hal ini rutin terjadi. Mengapa rakyat kembali harus merasakan hal yang sama. Bahkan rakyat diminta agar mulai terbiasa dan bersabar pada kuartal I tahun 2022 akan Kembali turun.

Setiap kenaikan harga di tengah kondisi ekonomi sulit akan berdampak menurunnya kesejahteraan apalagi saat kondisi Kesehatan di masa pandemi maka akan memperburuk. Lantas bagaimana solusinya?

Islam sebagai dien yang sempurna, sudah pasti mempunyai solusi atas segala permasalahan yang menimpa manusia. Tidak hanya memberi solusi tapi juga mempunyai Langkah-langkah pencegahan yang sangat lengkap. Termasuk dalam hal ini adalah masalah pengaturan stabilitas harga, terutama menyangkut harga kebutuhan pokok.

Pada prinsipnya, Islam membebaskan pasar dalam prinsip persaingan bebas. Namun negara hadir dengan melakukan intervensi dalam kegiatan ekonomi baik dalam bentuk pengawasan, pengaturan hingga pelaksanaan kegiatan ekonomi. Kebijakan dan regulasi juga hanya bisa dilakukan oleh negara. Bukan masyarakat apalagi individu. Diantaranya di sini adalah pelarangan ekspor bahan kebutuhan pokok, jika masih dibutuhkan di dalam negeri. Justru Ketika saat-saat kebutuhan meningkat saat nataru maupun hari raya idul fitri, negara bisa melakukan impor barang kebutuhan tersebut agar stok bahan makanan pokok cukup sehingga harga tidak melonjak naik. Bukannya malah mengijinkan ekspor sawit, sehingga mengakibatkan harga minyak goreng melonjak naik.

Dalam ekonomi Islam, harga ditentukan oleh operasi bebas kekuatan pasar. Nabi Muhammad SAW tidak menganjurkan campur tangan apa pun dalam proses penentuan harga oleh negara atau individual. Di samping menolak untuk mengambil aksi langsung apa pun, beliau melarang praktek-praktek bisnis yang dapat membawa kepada kekurangan pasar. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW menghapuskan pengaruh kekuatan ekonomi atas mekanisme harga.

Diriwayatkan dari Anas bahwa ia mengatakan harga pernah mendadak naik pada masa Rasulullah SAW. Para sahabat mengatakan: "Wahai Rasulullah, tentukanlah harga (ta'sir) untuk kita. Beliau menjawab: "Allah SWT itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan dan pencurah serta pemberi rizki. Aku mengharap dapat menemui Tuhanku dimana salah satu diantara kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta."

Ada pula larangan-larangan yang diperintahkan nabi. Diantaranya adalah : Taluqqi rukban, yaitu dilarang karena pedagang yang menyongsong di pinggir kota mendapat keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari kampung akan harga yang berlaku di kota. mengurangi timbangan, menyembunyikan barang cacat, menukar kurma kering dengan kurma basah, penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik, ikhtikar (melakukan penimbunan), dan Ghaban fahsy yaitu menjual di atas harga pasar.

Menurut Al-Ghazali, dalam melakukan perniagaan tidak hanya untuk mencari keuntungan yang besar saja, seperti pada sistem kapitalisme. Akan tetapi, keuntungan yang sesungguhnya harus dicari yaitu keuntugan dunia dan akhirat, bukan hanya keutungan dunia saja.

Adapun tujuan akhir dari ekonomi islam sama seperti pada tujuan syariah islam yaitu untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat (falah) dengan tata kehidupan yang baik. Terdapat lima kemaslahatan menurut al-Syathibil untk mencapai kehidupan manusia yang sejahtera.

Perbedaan prinsip perniagaan dan tujuan akhir dari ekonomi ini akan sangat mempengaruhi praktik ekonomi di sebuah negeri. Termasuk dampaknya kepada masyarakat secara luas. Bukankah hakikat keinginan masyarakat adalah hidup sejahtera. Maka hanya aturan dari sang Pencipta sajalah yang bisa mewujudkan kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.
Wallohu alam bi showab

Penulis : Ummu Nadzif, S.Si.

Post a Comment

Previous Post Next Post