Racun Liberalisasi Dalam Balutan Permen PPKS


Oleh: Eno Fadli
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Mendikbudristek Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbudristek nomor 30/2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Dikeluarkannya peraturan Menteri ini karena pertimbangan semakin meningkatnya kekerasaan seksual di lingkungan kampus, seringkali kasus tersebut tidak terselesaikan karena lemahnya penanganan kekerasan seksual di kampus dan tidak adanya instrumen hukum yang melindungi korban kekerasan seksual tersebut.

Data dari Komnas Perempuan dan anak sepanjang tahun 2015 sampai 2020 dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual terdapat 27 persen kasus terjadi di perguruan tinggi. Dan Survei Kemendikbud tahun 2020 juga menyebutkan 77 persen pernah terjadi kekerasan seksual di kampus dan 63 persen tidak melaporkan kasus tersebut kepada pihak kampus dan mayoritas dari korban adalah perempuan (Tempo.com, 12/11/2021).

Namun sangat disayangkan dalam Permendikbudristek nomor 30/2021 yang dikenal dengan Permen PPKS justru membuka ruang pada perilaku seks bebas. Di mana terdapat frasa ‘tanpa persetujuan’ pada pasal-pasalnya. Hal ini tentunya menuai kritikan banyak pihak, karena frasa tersebut kalau dipahami jika pihak yang melakukan hubungan seksual terdapat consent (persetujuan) maka itu tidak dipandang sebagai kekerasan seksual dan itu legal.

Dalam Permen PPKS ini juga membuka ruang dan perlindungan pada perilaku penyimpangan seksual seperti LGBT karena pada pasal 5 ayat 2 poin (a)  menyebutkan bahwa kekerasan seksual meliputi: menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh atau identitas gender korban.

Identitas gender yang dimaksud tentunya bukan sekedar untuk laki-laki ataupun perempuan tapi dapat diartikan untuk siapapun di lingkungan kampus termasuk kaum LGBT. Karena jika ada tindakan mengkritisi pelaku seks menyimpang, itu termasuk pada tindakan mendiskriminasi dan dikatagorikan kepada kekerasan seksual.

Penolakan dan kritikan muncul dari berbagai pihak atas diundangkannya Permen PPKS pada tanggal 3/9/2021 ini. Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof. Cecep Darmawan menilai bahwa permen ini bermuatan liberal dan kontroversial dan jika sejumlah pasalnya tidak direvisi atau dicabut bisa membahayakan generasi muda (islamtoday.com, 6/11/2021). Begitupun Majelis Ormas Islam (MOI) yang terdiri dari 13 ormas, juga mengkritik isi Permen tersebut karena dinilai secara tidak langsung telah melegalkan seks bebas, MOI juga meminta pencabutan Permen PPKS ini (kumparan.com, 2/11/2021).

Meskipun banyak kritikan dan penolakan dari sejumlah pihak tidak membuat Nadiem merevisi bahkan mencabut Permen tersebut,  Nadiem membantah keras bahwa Permen tersebut melegalkan zina karena pihaknya secara spesifik hanya mengatur regulasi terhadap persoalan kekerasan seksual yang marak terjadi di lingkungan kampus, yang berdasarkan definisinya kekerasan seksual sebagai tindakan yang dilakukan secara paksa atau tanpa persetujuan (CNN.com,11/11/2021).

Memang seperti inilah pemikiran pemerintah yang menjadikan kapitalis sekuler sebagai asas. Karena dalam cara pandang kapitalis penggunaan barang dan jasa yang layak disebut ekonomis ketika masih ada yang menginginkan. frasa sexual consent pada Permen PPKS, yang dapat diartikan jika terjadi aktivitas seksual ketika ada persetujuan dari korban atau aktivitas tersebut diinginkan maka aktivitas tersebut tidak termasuk kekerasan seksual dan itu legal.

Sedangkan dalam Islam segala aktivitas yang mengarah kepada seks bebas (tanpa ikatan perkawinan) merupakan suatu yang diharamkan, karena inilah permen ini dianggap bermuatan liberal.
Permen PPKS ini juga berpotensi memberikan perlindungan pada perilaku penyimpangan seksual seperti LGBT di mana terdapat pada pasal 5 ayat 2 bagian (a) yang berbunyi “bahwa kekerasan seksual meliputi: menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan identitas gender korban”.

Tentunya identitas gender yang dimaksudkan bukan hanya sekedar untuk laki-laki dan perempuan tetapi bisa diartikan juga untuk kaum LGBT. Jika ada siapa saja yang mengkritisi atau melarang mereka kaum LGBT termasuk mendiskriminasi atau melecehkan, sehingga termasuk katagori kekerasan seksual.

Miris memang ketika perguruan tinggi yang diharapkan menjadi tempat lahirnya intelektual peradaban yang melahirkan insan yang memiliki kepribadian luhur pencetus perbaikan pada masyarakat, justru terfasilitasi oleh kebijakan yang sarat dengan pemikiran-pemikiran liberal, bahkan menjadi wadah yang dapat menjerumuskan generasi aset bangsa ini menjadi generasi pemuja syahwat.

Maraknya tindak kekerasan seksual yang terjadi sehingga lahirlah aturan-aturan yang justru menumbuh suburkan seks bebas tentunya berakar dari pemikiran ala kapitalis sekuler itu sendiri, dimana Islam hanya dianggap sekedar agama bukan ideologi yang memiliki seperangkat aturan yang mengatur kehidupan baik itu individu, masyarakat ataupun negara.

Padahal, Islam memiliki solusi jitu dalam menangani kasus kekerasan seksual. Baik itu penanganannya secara kuratif (penanggulangan) ataupun preventif (pencegahan). Bagaimana dalam sistem Islam mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan, baik itu dalam ranah privasi ataupun publik, dengan adanya larangan khalwat (berdua-duaan), ikhtilat (campur baur), bahkan dalam sistem islam ada perintah untuk menundukkan pandangan (ghadlul bashar).

Sistem Islam menutup semua celah yang akan menimbulkan kejahatan seksual (zina) ataupun kekerasan seksual, baik itu dari aktivitas mengumbar aurat di ranah pubik atau mengatur media-media agar tidak mempertontonkan aktivitas kebebasan, mengumbar atau mendorong  naluri seksualitas dengan mencontohkan perilaku bebas, dan lain-lain. Karena kekerasan seksual yang terjadi disebabkan adanya rangsangan dari luar.

Adanya kontrol dari masyarakat berupa amar makruf nahi mungkar dengan nasehat-menasehati dalam kebaikan  dan ketakwaan, dan menentang terhadap segala bentuk kemaksiatan.

Dalam sistem Islam pun memiliki sistem sanksi yang dipastikan mampu menangani segala bentuk kejahatan seksual (zina), di mana pelaku zina akan dirajam (dilempari batu) hingga mati jika pelakunya sudah menikah (muhshan), dicambuk (jilid) 100 kali dan diasingkan jika pelakunya belum menikah (ghairu muhshan).

Dan bagi praktek seks menyimpang (LGBT) akan diancam sanksi yang berat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به

Siapa saja yang menjumpai orang yang melakukan perbuatan homo seperti kelakuan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya.
(HR. Ahmad).

Dengan melaksanakan berbagai mekanisme inilah kekerasan seksual yang marak terjadi dapat dicegah, karena kekerasan seksual atau kejahatan seksual (zina) timbul karena pemahaman sekuler yang mengakar kuat dan kini akar sedang menjalar dalam dunia pendidikan. Dan tentunya mekanisme ini hanya dapat diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah).

Wallahu a’lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post