Abai Perawatan, Pertamina Kebakaran lagi


Oleh Ratna Ummu Rayhan 
(Muslimah Peduli Ummat)


Tangki kilang minyak Pertamina di Cilacap terbakar kembali. Kebakaran ini adalah yang ke tujuh kalinya sepanjang sejarah kilang minyak Pertamina Cilacap dibangun.

Pertamina Cilacap yang memiliki 228 tangki dengan kapasitas pengolahannya mencapai 270 ribu barel perhari, tahun ini tercatat sudah dua kali tangkinya terbakar. Sebelumnya terjadi kebakaran pada Juni lalu.

Tak hanya itu, akibat kebakaran ini keselamatan wargapun terancam. Dilansir dari Tribun News pada 14 November 2021, terdapat sekitar 80 warga terdampak sedang di evakuasi. Pasalnya, pemukiman warga hanya terbatas tembok dan hanya berjarak 500 meter dari tangki yang terbakar.

Kebakaran terjadi setelah hujan petir, sehingga dugaan awal tangki terbakar akibat petir. Namun demikian, banyak pengamat yang meminta untuk mengusut lebih lanjut kasus kebakaran tangki Cilacap. Karena berpotensi ada kejahatan yaitu kesengajaan dengan motif tertentu.

Seandainya di karenakan petir, seharusnya Pertamina bisa mengambil tindakan perbaikan - perbaikan pada tangki-tangkinya sehingga membuat kejadiannya tidak terus berulang.

Pengamat energi dari universitas Gajah Mada, Fahmi Radhi dilansir dari BBC pada 14 November 2021 mengatakan, kebakaran karena petir adalah alasan yang sangat naif. Sebab, sebagai kilang minyak dengan pasokan terbesar, semestinya Pertamina bisa menjaga aset yang sangat penting tersebut dengan menerapkan sistem keamanan yang super canggih dan berlapis.

Fahmi menyebut, kebakaran yang berantai ini pasti akan mengurangi suplai BBM. Sehingga untuk menutupi kekurangan tadi butuh impor. Sehingga suplai impor minyak akan semakin tinggi. Berdasarkan pengalamannya sebagai anggota anti mafia migas, mafia migas akan berburu rente pada impor. Sehingga semakin tinggi volume impor, cuan makin besar.
Walaupun pihak Pertamina menyebut kebakaran tersebut tidak memengaruhi suplai karena cadangan minyak masih ada untuk beberapa hari ke depan, tetap saja peluang impor makin besar.

Terlepas adanya kesengajaan pada peristiwa kebakaran tangki kilang minyak ataupun murni kecelakaan akibat kelalaian. Semua itu berpangkal dari pengelolaan BUMN yang bercorak liberalis kapitalistik. Keberadaan BUMN bukanlah bermakna sebagai bentuk tanggung jawab negara mengurusi umat. BUMN hanyalah terposisikan sebagai tempat penguasa mendulang keuntungan. Negara dengan tata kelola ekonomi yang liberal kapitalistik memang menyerahkan seluruh pengurusan umat pada swasta. Negara hanya regulator yang memfasilitasi bertemunya kepentingan koorporasi dan rakyat. Seluruh kebutuhan kehidupannya justru terpenuhi oleh swasta.

Dalam sistem ini, BUMN seperti tempat berjual beli antara pemerintah dan rakyat. Jika BUMN terus merugi, tidak ada alasan untuk mempertahankannya. Privatisasi BUMN dengan menjual asetnya pun akan dilakukan walaupun rakyat dirugikan. Sedangkan hampir seluruh BUMN mengalami kerugian meski perusahaan tersebut mendapatkan keistimewaan dalam banyak hal. Hal ini bisa difahami sebab, BUMN kerap jadi sapi perah oleh partai dan individu didalamnya demi mengongkosi biaya politik mereka.

Inilah yang menjadikan pengelolaan BUMN jadi setengah hati. Maka wajar tangki kilang minyak yang harusnya jadi perhatian besar pengelola, nyatanya kodisinya makin hari makin memprihatinkan. Begitupun motif kesenjangan menjadi nalar yang masuk akal. Sebab, buruknya pengelolaan yakni menjadi pintu masuk swasta untuk terlibat dalam pengurusannya.

Tentu saja pengelolaan sumber daya alam yang secara tidak langsung merugikan rakyat. Dan hanya membuka peluang untuk korporat tidak akan terjadi jika sumber daya alam dikelola dalam sistem yang benar yaitu sistem islam, khilafah.

Sumber daya alam dalam tata kelola sistem ekonomi islam termasuk kepemilikan umum. Kepemilikan umum adalah izin Asy-Syari kepada suatu komunitas yang bersama - sama memanfaatkan suatu benda. Artinya, individu tidak boleh memiliki harta benda yang di kategorikan kepemilikan umum. Akan tetapi, boleh bagi suatu komunitas karena mereka saling membutuhkan. Oleh karenanya, privatisasi atas kepemilikan umum adalah terlarang.

Rasulullah SAW bersabda bahwa: " kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api ". HR. Abu Dawud dan Ahmad.

Adapun harta kepemilikan umum terbagi menjadi tiga jenis : Barang kebutuhan umum, barang tambang yang besar, dan sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk individu miliki.

Adapun minyak, termasuk barang tambang melimpah. Sehingga haram dikuasai perorangan. Negara haram menjualnya pada asing apapun yang terjadi. Karena semua itu adalah harta umat, negara hanya berhak mengelola. Oleh karenanya, Khilafahlah sebagai institusi negara yang berhak mengelolanya. Yang hasilnya akan diberikan kepada rakyat secara langsung atau tidak langsung.

Kosekuensi dari harta kepemilikan umum adalah haram diberikan kepada asing. Paradigma ini tentu menutup celah kerusakan dalam pengelolaannya. Seperti kelalaian yang menyebabkan kebakaran tangki kilang minyak maupun motif tersembunyi di balik pembakaran tangki kilang tersebut.

Sebagaimana yang pernah terjadi ketika Khilafah masih tegak pada masa khalifah al Mu'tamid Alailah (870-892 M). Pada waktu itu terdapat beberapa ladang minyak bumi yang antara lain di Baku yang mulai beroperasi sejak tahun 885 M. Namun pada abad ke 13 ( antara tahun 1201-1300 M) Marco polo melaporkan bahwa ratusan kapal telah mengambil minyak di Baku pada waktu itu.

Selain di Baku, produksi minyak mentah juga ada di tepi timur Sungai Tigris hingga sepanjang jalan menuju Mosul di Sinai Mesir dari Khuzistan di Iran. Minyak mentah tersebut tak hanya di pakai untuk keperluan sumber energi , tetapi juga diolah menjadi aspal dan berbagai produk turunan lainnya.

Dari fragmen sejarah inilah bisa dibayangkan, meski selisih 200 tahun lamanya. Operasi produksi minyak tetap bisa berjalan. Artinya, hal ini tidak lepas dari pengelolaan shahih sebagaimana islam perintahkan. Waallahu'alam bishshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post