Menjadi Kiblat Ekonomi Syariat, Hanya Asas Manfaat?


Oleh: Ummu Zhafran
Pegiat Literasi

Semakin lama, ekonomi berbasis syariah di negeri ini kian menggoda.Tak hanya di level nasional bahkan diharapkan jadi mercusuar dunia.Tak tanggung-tanggung Presiden Joko Widodo sendiri menginginkan Indonesia menjadi kiblat ekonomi syariah dan industri halal dunia. Sebabnya  RI merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar seantero jagat. (kompas.com, 22/10/2021)

Menyimak berita di atas, sontak di benak saya berkelindan rasa haru dan bangga sekaligus gundah gulana. Bagaimana tidak, seluruh syariat dari Sang Maha Pencipta sudah pasti membawa kemaslahatan bagi manusia.  Mustahil Allah zalim pada makhluk-Nya.
Di sisi lain, apa yang kita saksikan saat ini juga mengundang kegundahan yang mendalam.   Sengkarut politik dan ekonomi tak pelak menggiring  publik menilai keberpihakan pada syariah terbatas pada aspek ekonominya saja dan sarat akan asas manfaat. Jika mendatangkan manfaat diambil, selainnya itu ditolak mentah-mentah.  Layaknya peribahasa, ada uang abang disayang tak ada uang abang ditendang.  Sungguh malang.

Kalau mau jujur, ekonomi syariah yang merupakan bagian dari syariat Islam secara keseluruhan sedari dulu telah membuktikan ketangguhannya di segala cuaca. Meski hanya diterapkan secara parsial namun usaha-usaha yang berbasis syariah mampu survive, bertahan dari hempasan krisis demi krisis ekonomi bahkan pandemi sekalipun.  Kini, di saat yang bersamaan dengan  resesi yang masih membelit, para elit pemerintahan justru mencanangkan ambisi sebagai pusat ekonomi syariah dunia. Artinya, harapan itu ada pada ekonomi syariah.  Sementara syariat yang mengatur aspek ekonomi hanya bagian dari keseluruhan risalah Nabi Saw. Lalu mengapa tak mengambil dan menerapkan syariah secara kafah di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini? Padahal nalarnya, jika parsial  saja sudah dapat melambungkan asa, apa lagi kalau totalitas diterapkan. 

Saatnya kita membuka mata terhadap kerapuhan ekonomi kapitalis yang bersandar pada ideologi kapitalisme. Tanpa pandemi pun, sistem ini rentan krisis bahkan terjadi resesi berulang-ulang nyaris secara periodik.  Amerika Serikat contohnya,  gembongnya negara kapitalis. Dalam kurun waktu kurang dari satu abad (1929-2009) AS  mengalami sedikitnya 14 kali resesi. Jangan tanyakan negeri yang lain termasuk Ibu Pertiwi, asalkan berkiblat pada kapitalisme nasibnya tentu tak jauh beda.

Beberapa faktor berikut patut diduga kuat jadi penyebab. Pertama, sistem uang kertas yang tak memiliki nilai intrinsik.  Kedua, utang yang berbasis riba alias bunga. Ketiga, ekonomi non-riil yang diwarnai investasi yang rentan unsur spekulasi dan judi. Singkatnya, ekonomi kapitalis berkelindan di antara tumpukan kertas,  kertas uang, kertas utang dan kertas saham. Maka meski terlihat maju dan berkembang namun di balik semua itu hanya merupakan gelembung ekonomi yang sewaktu-waktu bisa meledak memuntahkan resesi. 

Bandingkan dengan ekonomi syariah yang tak bisa dilepaskan dari Islam. Negara yang menerapkan Islam kafah, tak akan berlepas tangan sebagaimana tabiat kapitalisme. 

Berikut mekanisme yang ditempuh. Pertama, memberlakukan politik ekonomi Islam dengan wujudnya jaminan kebutuhan pokok bagi setiap individu umat tanpa terkecuali. Kaya maupun miskin semua disubsidi.

Kedua, sistem moneter yang bersandar pada emas dan perak dalam bentuk mata uang Dinar dan Dirham. Seperti yang telah luas diketahui  bahwa emas dan perak memiliki nilai intrinsik yaitu nilai yang melekat ada fisiknya. Hal yang membuat harga emas cenderung selalu stabil.

Ketiga, negara bertanggung jawab membenahi sistem kepemilikan sesuai peruntukannya. Yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Masing-masing dengan ketentuannya sendiri-sendiri. Tidak diperkenankan untuk saling tumpang tindih atau bahkan memperjual belikan secara serampangan. Untuk kepemilikan umum misalnya, merupakan milik umum dan bisa dimanfaatkan untuk kemaslahatan semua orang. Negara mutlak hadir sebagai pengelola, bukan pemilik apalagi penjual yang mencari pembeli. Karena  hasil dari pengelolaan milik umum  ini nantinya semata demi kemaslahatan rakyat.   

Rasulullah saw. bersabda,

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Artinya padang rumput dan berikut kandungan di bawahnya, air, dan api yang notabene sumber energi  seperti  listrik adalah milik umumnya kaum muslimin.Terlarang dimiliki oleh individu maupun swasta.  
Keempat, negara mengelola sumber daya alam secara mandiri dan berdaulat dan hasilnya  disimpan di  Baitul Mal, lembaga yang mengelola keuangan negara. Maka seiring berjalannya pengelolaan SDA secara mandiri, kas negara   makin meningkat untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhan masyarakat seperti membangun infrastruktur pendidikan, kesehatan, keamanan dan transportasi.

Sampai di sini tak lagi mustahil bila  episode emas peradaban Islam yang tegak berabad-abad di masa lalu kembali terulang.  Kehidupan ketika rakyat hidup sejahtera dengan kesejahteraan yang tak dapat ditandingi peradaban mana pun.  Keberkahan  pun niscaya tercurah seperti  dalam kisah  kawanan serigala  yang hidup damai dengan  kambing, domba dan hewan ternak lain di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.Tak ada yang dimangsa maupun memangsa. Wallaahu a’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post