Kekerasan Seksual Kian Marak, Solusi Tuntas Kembali ke Hukum Syarak


Oleh Eva Rahmawati
Aktivis Muslimah


Kasus dugaan pelecehan seksual di lingkungan lembaga pemerintah menyeruak ke publik. Hal ini diketahui saat pegawai KPI berinsial MS membuat surat terbuka ke publik tentang perundungan termasuk pelecehan seksual yang diduga dilakukan delapan rekan kerjanya.

Kasus yang dihadapi MS bukan pertama kalinya terjadi. Kasus terkait dengan dugaan kekerasan seksual pernah dialami staf BPJS berinisial RA yang dilakukan oleh atasannya pada 2019.

Sebelumnya, juga seorang pegawai Dirjen Pajak mengadu karena dilecehkan oleh atasannya pada 2016. Lalu, 2014 seorang pegawai di LKBN ANTARA mengadu ke LBH APIK untuk mendapatkan pendampingan karena mengaku mendapat pelecehan seksual dari seorang general manager. (BBCIndonesia.com, 10/9/21).

Kasus-kasus tersebut hanya sebagian kecil yang diketahui publik. Di luar lembaga pemerintah kasus serupa tak sedikit. Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020 tertanggal 5 Maret 2021, jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus. (Komnasperempuan.go.id)

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi, jumlah total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terkini di tahun 2021 telah mencapai angka 3.122 kasus. (Merdeka.com, 4/6/21).

Dampak Negatif Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual terhadap anak maupun orang dewasa baik laki-laki dan perempuan berdampak negatif jangka pendek dan jangka panjang. Dapat mengakibatkan penyakit psikologis di kemudian hari. Dampak psikologis, emosional, fisik dan sosialnya meliputi depresi, gangguan stres, pasca trauma, kegelisahan, gangguan makan, rasa rendah diri yang buruk, dan kekacauan pribadi.

Berdampak juga pada perubahan perilaku seksual, masalah belajar/bekerja, masalah perilaku termasuk penyalahgunaan obat terlarang, perilaku menyakiti diri sendiri, kriminalitas bahkan bunuh diri. 

Seperti yang dialami pegawai KPI berinisial MS mengaku kejadian pelecehan tersebut membuat ia trauma dan kehilangan kestabilan emosi. Hingga merasa martabatnya sebagai lelaki dan suami sudah hancur.

Demikian parah dampak yang harus ditanggung oleh para korban. Bagaimana jika korbann adalah anak-anak. Sungguh derita yang dirasakan pasti lebih berat. Apalagi anak tersebut korban pedofilia. Disamping trauma dan terganggu psikologisnya, ada dampak mengerikan lainnya yaitu siklus Pedofilia, abused-abuser cycle. 

Ihsan Gumilar, peneliti dan dosen Psikologi Pengambilan Keputusan menjelaskan, yaitu berawal dari korban (abused) pelecehan seksual di masa kecil, lalu tumbuh dewasa jadi orang yang memakan korban (abuser).

Faktor Penyebab 

Banyaknya kekerasan seksual terhadap anak atau kekerasan seksual secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan. Tidak hanya oleh faktor tunggal misalnya faktor moralitas atau rendahnya internalisasi ajaran agama.

Faktor-faktor pemicu tidak bisa dipisahkan, antara satu dan yang lainnya saling berkelindan. Mulai dari faktor kurangnya pengawasan dan perhatian di lingkungan keluarga, masyarakat hingga abainya nagara memberikan jaminan perlindungan. Belum lagi faktor invasi budaya dari Barat tanpa adanya filtrasi. Tayangan pornografi dan pornoaksi mudah diakses, ditambah dengan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual yang tidak bisa memberikan efek jera.

Baru-baru ini, publik dikejutkan adanya sambutan mewah di hari bebasnya pelaku kekerasan seksual (Syaiful Jamil). Euforia yang diberikan, diniilai terlalu berlebihan. Penyambutan tersebut malah menjadikannya tak punya rasa malu. Seharusnya momentum itu dipakai untuk introspeksi diri.

Kondisi tersebut juga dapat berpotensi membuat publik maklum, menganggap biasa para pelaku kekerasan seksual. Lebih bahaya lantaran hal tersebut bisa menjadi contoh bagi para pelaku kekerasan seksual ‘bermuka tebal’. Semestinya para pelaku kekerasan diberikan efek jera dan sanksi sosial.

Maraknya kasus kekerasan seksual dan minimnya empati terhadap korban adalah buah penerapan sistem sekularisme. Dalam sekularisme peran Pencipta dibatasi hanya dalam ruang privat, yaitu ibadah saja, sedangkan aturan dalam kehidupan diserahkan kepada manusia. Padahal, aturan buatan manusia sering menimbulkan pro dan kontra antara berbagai pihak yang memiliki pandangan dan kepentingan berbeda. Akibatnya penegakan aturan pun tidak dapat optimal dan efektif menyelesaikan akar masalah.

Selamatkan dengan Syariah 

Memberantas tindak pedofilia dan kekerasan seksual secara tuntas tidak bisa dilakukan secara parsial. Akan tetapi harus dilakukan secara menyeluruh secara sistemik. Yakni dengan menerapkan syariah islamiyah secara total melalui negara.

Dalam penerapannya, negara berkewajiban menanamkan nilai-nilai norma, moral, budaya, pemikiran dan sistem Islam kepada rakyat. Melalui sistem pendidikan baik formal maupun non formal, dengan pengetahuan yang berbasis akidah Islam rakyat mampu menyaring informasi, pemikiran, dan budaya yang merusak. 

Negara menjamin informasi dan tayangan yang beredar di tengah masyarakat bebas dari unsur pornografi dan pornoaksi. Yang ada negara justru memberikan informasi yang sarat manfaat dan mengedukasi. Ditanamkan kesopanan dan nilai-nilai luhur.

Dalam hal penerapan sistem ekonomi Islam, negara menjamin pemenuhan kebutuhan dasar individu dan publik melalui mekanisme Syar'i. Dengan itu, faktor himpitan dan tekanan ekonomi menjadi minimal. 

Dengan penerapan syariah Islam akan meminimalkan faktor-faktor yang bisa memicu terjadinya kekerasan seksual, pedofilia, sodomi, dan perilaku menyimpang lainnya. Namun, jika masih ada yang melakukannya, maka sistem persanksian dalam Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat dari semua itu. Hukuman diberikan dengan tegas dan memberikan efek jera bagi pelaku kriminal dan mencegah orang lain untuk melakuakn kejahatan serupa.

Wallahu a'lam bishshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post