Bila Ingin Sehat Duit Harus Kuat

Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I.

Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok

 

 

Penanganan pandemi Covid-19 dinilai lambat karena sudah hampir 3 tahun belum juga usai. Mengapa Covid-19 betah bertahan di Indonesia? Apakah mungkin bisa menguntungkan pihak-pihak tertentu sehingga nuansa pandemi dipertahankan serta diperlambat? Jika benar, ujung-ujungnya yang diperhatikan hanya keuntungan materi saja sementara keselamatan tak dihiraukan. 

Contohnya, kasus vaksin yang dinilai sebagai garda terdepan untuk penangkal covid, diawal pandemi digratiskan namun kebijakan berubah dengan alasan untuk menolong kas negara yang semakin menipis maka akan ada vaksin berbayar. Mengapa untuk kesehatan rakyatnya sendiri pemerintah begitu pelit mengeluarkan dana? Bila ingin sehat duit harus kuat. 

Selain itu, tes covid pun menjadi perbincangan khalayak ramai. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan aturan baru mengenai tarif tes antigen di Kementerian Kesehatan. Beleid anyar tersebut yaitu berbentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 104/PMK.02/2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Layanan Uji Validitas Rapid Diagnostic Test Antigen yang Berlaku pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes). 

Adapun, tarif atas jenis penerimaan negara non pajak (PNBP) dalam uji validitas rapid diagnostik tes antigen ditetapkan nol persen atau nol rupiah. Ketentuan lain mengenai besaran, tata cara dan persyaratan pengenaan tarif sampai nol rupiah atau nol persen akan diatur dalam peraturan menteri kesehatan. Itu bunyi pasal 3 ayat 2 aturan tersebut. Namun, dalam pasal berikutnya dijelaskan besaran, tata cara dan persyaratan pengenaan tarif sampai nol rupiah atau nol persen harus terlebih dahulu mendapat persetujuan menteri keuangan.

Melihat kebijakan tersebut terlihat jelas bahwa tes antigen termasuk PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Yang menjadi pertanyaan bukankah kesehatan adalah hak setiap rakyat yang harus dilindungi dan merupakan kewajiban negara? Sebagai pengayom rakyat mengapa rakyat harus terbebani dan harus ikut memikirkan pembayaran utang negara dengan cara wajib membayar pajak, sementara rakyat tidak tahu utang untuk apa? Karena di saat negara berutang....rakyat tidak merasakan manfaatnya. Apakah berutang untuk pembangunan infrastruktur dapat membantu kami mendapatkan pekerjaan? ....Tolong kami rakyat yang sudah terhimpit untuk membayar utang kami sendiri, untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga kami sehari-hari, pekerjaan sulit, biaya hidup selangit. 

Kebijakan ini menggambarkan kelalaian pemerintah dalam mengayomi rakyatnya. Sudah gagal menangani pandemi, minim pula empati kepada rakyat kalangan bawah, bahkan pemerintah pun  tidak hadir mengurusi masalah anak yatim piatu yang kehilangan orang tuanya di masa pandemi ini. Pemerintah berlepas tangan terhadap pengurusan yatim piatu dan membiarkan lembaga-lembaga swasta maupun swadaya masyarakat yang mengurusinya, namun ternyata dapat dipastikan mereka tidak sanggup menyelesaikannya. Justru mereka meminta negara hadir menyelesaikan masalah ini. 

Setelah banyaknya kritik masyarakat atas mahalnya biaya tes PCR dan antigen mandiri, pemerintah akan menurunkan harganya. Namun negara juga mengevaluasi atau mengaudit lembaga-lembaga penyelenggara tes agar tetap memberi pemasukan bagi negara.  Ini membuktikan negara selalu bertransaksi dan melakukan perhitungan secara ekonomi dengan rakyat. Bukan melayani malah melakukan hitung untung rugi kepada rakyatnya sendiri. Inilah  watak negara kapitalistik. 

Dalam Islam, bila tes termasuk bagian dari upaya memisahkan antara orang sakit dan orang sehat dan ini merupakan satu rangkaian dari penanganan pandemi, semestinya bebas biaya.  Bahkan ini harus dilakukan kepada semua seluruh rakyat. Haram hukumnya negara mengambil pungutan atas layanan yang wajib diberikan negara. []

 

Post a Comment

Previous Post Next Post