Klaim Pertumbuhan Ekonomi Tujuh Persen, Pembohongan Publik?


Oleh Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Kabupaten Jember, Penulis Bela Islam AMK

Di tengah jeritan rakyat menghadapi ganasnya pandemi Covid-19. Ditambah diberlakukannya PPKM yang terus  diperpanjang hingga (16/8/2021). Membuat para pedagang, pengusaha, kaum buruh, pencari nafkah harian, dan lainnya, dibuat pusing tujuh keliling. Menyerah dengan tanda mengibarkan bendera putih di mana-mana, sebagai wujud penolakan. Artinya, ekonomi rakyat sedang dalam keadaan tidak baik.

Ironisnya, di tengah kelesuan ekonomi secara kasat mata dirasakan masyarakat luas, pemerintah justru mengumumkan pertumbuhan ekonomi dengan angka fantastis tujuh persen. Tentu saja menimbulkan polemik di publik, terutama di kalangan para politikus dan ekonom. 

Di antaranya PDIP, Anggota Komisi VI DPR RI, Darmadi Durianto melontarkan serangan keras terkait pertumbuhan ekonomi kuartal II-2021, sebesar 7,07 persen. Dinilai tidak sejalan dengan fakta di lapangan. Hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya, tidak percaya mengenai kebenaran angka tersebut. Justru, akan menjadi blunder di kemudian hari. Sebab, klaim pertumbuhan ekonomi sepihak, jelas bertolak belakang dengan nalar publik yang sedang menghadapi kesulitan di tengah pandemi Covid-19 saat ini. (Fajar.co.id, 6/8/2021)

Banyak yang menganggap klaim ini hanya kebohongan publik. Karena fakta berbicara, dimana yang terjadi saat ini semakin besarnya angka pengangguran, dan juga tingginya tingkat kemiskinan yang disebabkan daya beli masyarakat turun. Belum lagi, rakyat dibebani macam-macam pajak yang mencekik, guna menutupi utang negara yang selangit.

Sementara, pertumbuhan ekonomi sangat berkaitan erat dengan kesejahteraan rakyatnya. Sehingga dijadikan tolok ukur, apakah negara tersebut dalam keadaan ekonomi yang baik atau tidak. Juga dijadikan sebagai patokan untuk melihat kemajuan suatu negara, karena dapat menggambarkan kemakmuran rakyatnya. Ini dapat dilihat berdasarkan pendapatan per-kapita atau pendapatan rata-rata dari penduduk suatu negara.

Secara sederhana, pertumbuhan ekonomi adalah keadaan ekonomi suatu negara selama periode tertentu yang lebih baik atau meningkat dari periode sebelumnya berdasarkan beberapa indikator. Indikator yang dimaksud, antara lain kenaikan pendapatan nasional dan pendapatan per-kapita, jumlah tenaga kerja yang lebih besar dari pengangguran, serta berkurangnya tingkat kemiskinan. Jika kondisi indikatornya menurun dibanding periode sebelumnya, maka negara tersebut bukannya mengalami pertumbuhan ekonomi. Namun, justru kemunduran ekonomi. 

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Margo Yuwono melaporkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta. Jumlah ini hanya menurun tipis 0,01 juta orang dibanding September 2020. Tetapi, jika dibandingkan pada Maret 2020, penduduk miskin naik 1,12 juta orang. (Kompas.com, 15/7/2021)

Adapun kategori penduduk miskin adalah jika pengeluaran per kapitanya di bawah garis kemiskinan (GK) atau kurang dari Rp472.525 per kapita per bulan. Bagaimana jika indikator GK lebih besar di atas angka tersebut? Tentu jumlah penduduk miskin makin bertambah banyak.

Bagaimana dengan Indikator Pengangguran?

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Ahmad Akbar Susamto, PPKM Darurat tidak hanya berpengaruh terhadap ekonomi, tetapi juga tingkat pengangguran. Menurutnya, tingkat pengangguran pada Agustus 2020 yaitu sebesar 7,07 persen dan Februari 2021 mencapai 6,26 persen. Pada Agustus 2021 diperkirakan akan naik ke kisaran 7,15 persen hingga 7,35 persen. Jadi, pada Agustus 2021 situasi akan lebih buruk dibandingkan dengan periode sebelumnya, yakni Agustus 2020, maupun Februari 2021.

Ditinjau dari dua indikator tersebut, sejatinya pertumbuhan ekonomi yang diumumkan naik fantastis 7%, adalah kebohongan publik. Menurut Ekonom Senior Rizal Ramli, memperkirakan ekonomi Indonesia 2021 hanya tumbuh  2 persenan, di bawah target pemerintah sebesar 4,5 persen hingga 5,5 persen. Apalagi sebelum ada pandemi saja rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya 5,1 persen. (liputan6.com,15/2/2021)

Nyata benar, bahwa klaim pemerintah atas pertumbuhan ekonomi 7% adalah kebohongan publik. Sebab, fakta yang terindra masyarakat akibat dampak pandemi dan PPKM, menunjukkan semakin besarnya tingkat pengangguran, banyaknya PHK, dan penurunan tingkat kesejahteraan.

Lantas, apa makna klaim pertumbuhan ekonomi tujuh persen tersebut? Tidak lain merupakan kebohongan untuk menutupi kegagalan rezim dan untuk pencitraan. Dalam sistem kapitalis-sekuler, kebohongan adalah sesuatu yang dianggap biasa, karena sistem tersebut menafikan peran agama di dalam ranah publik. Tolok ukur perbuatannya bukan haram dan halal. Namun, berdasarkan manfaat dan kepentingan. Jadi, wajar jika utak-atik atau manipulasi data dengan mencatatkan angka-angka kemajuan pertumbuhan ekonomi yang semu. Terbukti, pengaruhnya terhadap kesejahteraan rakyat sangat minim, bahkan tidak dapat dirasakan oleh masyarakat luas.

Pertumbuhan ekonomi dalam sistem kapitalis-sekuler lebih cocok disebut pertumbuhan semu.  Mengapa? Karena ekonomi hanya dikuasai oleh segelintir orang-orang kaya (oligarki) dan pemilik modal (kapital). Inilah penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi. Kesenjangan antara si kaya dengan si miskin di seluruh dunia sangat terbuka lebar. Semua itu, dampak dari sistem kapitalis.

Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Menurut survey Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia (INFID), mencatat bahwa kekayaan empat orang terkaya Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta orang termiskin. Atau, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 48,3 persen kekayaan nasional. Bahkan, 10 persen orang terkaya menguasai 75,7 persen kekayaan nasional. Kondisi inilah yang membuat ketimpangan ekonomi Indonesia berada di urutan keenam terburuk di  dunia. (merdeka.com, Januari 2017)

Hal tersebut terjadi karena dalam sistem kapitalisme kepemilikan pribadi sebagai asasnya dan kebebasan sebagai pilarnya. Akibatnya, melahirkan manusia-manusia yang tamak dan rakus akan harta. Sikap individual yang lahir dari sistem sekuler, menyebabkan mereka tidak memiliki empati terhadap kesusahan orang lain. Tidak peduli kondisi buruk yang menimpa orang di sekitarnya.

Berbeda dengan Sistem Islam.

Islam bukan sekadar agama. Tetapi sebuah ideologi yang mempunyai sistem kehidupan yang menyeluruh di semua aspek, termasuk di dalamnya sistem ekonomi. Sebagai sebuah sistem menuntut untuk diterapkan secara totalitas dalam kehidupan. Untuk itu diperlukan pemimpin yang amanah. Rasulullah saw. bersabda, "Pemimpin adalah raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Bukhari)

Hadis tersebut, sangat dipahami oleh para khalifah (pemimpin). Bertugas menjaga agama Islam, memelihara dan mengatur urusan dunia hanya dengan Islam. Betul-betul pemimpin yang amanah dan jujur, karena meyakini akan ada hisab di Yaumil Akhir kelak.

Oleh sebab itu, Islam menjadikan negara sebagai penanggung jawab terhadap terpenuhinya kebutuhan rakyatnya (pangan, sandang, pangan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan). Atas dasar tersebut, Islam menjamin kehidupan tiap individu rakyat dan jamaah.

Di sisi lain, seorang pemimpin berkewajiban menjaga keseimbangan distribusi kekayaan kepada individu di tengah anggota masyarakat. Untuk itu, Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang.

Di dalam Islam tidak mengenal kebebasan, karena semua terikat pada hukum syarak. Adapun terkait masalah ekonomi, bagaimana cara memiliki harta, cara mengembangkan (mengelolanya), dan cara mendistribusikannya, semuanya telah diatur oleh hukum syara.

Aturan tersebut tidak dimiliki oleh sistem kapitalis, maupun sistem sosialis. Wajar, jika sistem kufur tersebut mendatangkan bencana dan kesengsaraan bagi manusia. Karena aturannya dibuat oleh manusia sendiri yang notabene memiliki keterbatasan dan banyak kelemahannya.

Hanya sistem Islam, satu-satunya aturan yang paling sempurna, karena berasal dari Zat Maha Sempurna yang menjamin kesejahteraan umat manusia. Aturan Islam inilah, yang meniadakan kesenjangan sosial. Pertumbuhan ekonomi benar-benar dapat dirasakan dan menyejahterakan rakyatnya. Hal ini telah terbukti selama 1300 tahun, dimana Islam memimpin dunia sebagai sebuah ideologi yang mengagumkan di era kejayaannya.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post