Kebebasan Berpendapat, Penyakit atau Jihad?


Oleh Suci Ajun
(Anggota Komunitas Sahabat Hijrah Banggai Laut, Sulteng) 

Mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bertuliskan "404 Not Found", ramai diperbincangkan warganet di media sosial. Pembahasan atau cuitan tentang mural menjadi trending topic di Twitter dengan tagar #Jokowi404NotFound, Sabtu (14/08/2021).

Mural dengan visualisasi wajah mirip Presiden Jokowi yang terletak di daerah Batu Cepet, Kota Tangerang itu dihapus oleh petugas kepolisian. Polisi menilai, mural tersebut melecehkan lambang negara yang sekaligus merupakan pemimpin tertinggi Polri.

Menanggapi hal itu, Arsitek dan Ahli Tata Kota, Bambang Eryudhawan mengatakan, pemerintah harus hati-hati dalam memperlakukan mural, grafiti atau seni jalanan (street art). 

Menurut Yudha, dihapusnya mural dan seni jalanan tersebut justru dapat menjadi bumerang bagi pemerintah. Terutama kaitannya dengan penilaian masyarakat terhadap penguasa.

"Mural itu sudah ada sejak dulu, bahkan sejak Orde Baru. Waktu itu jadi bagian dari media untuk menyampaikan kritik dan pendapat."

Seharusnya pemerintah tidak bersikap represif. Sebaliknya, pemerintah harus memaknai mural sebagai seni dan media seseorang dalam mengemukakan pendapat. Terlebih, saat ini banyak sekali komunitas kesenian mural, grafiti dan seni jalanan yang terus berkembang.

"Jadi pemerintah juga mesti menyadari bahwa selain sebagai kesenian, mural sebagaimana perkembangannya juga turut menjadi media untuk berpendapat. Hanya, dulu mural-mural itu dilarang, tapi masa pemerintah saat ini mau seperti itu," ungkap Yudha.

Meski demikian, Yudha menyadari bahwa setiap pemerintah kota memiliki aturan terhadap penataan ruang publik dihias dengan mural. Namun yang pasti, selain sebagai seni mural juga telah melembaga sebagai simbol dari kebebasan berpendapat seseorang.

 "Jadi keberadaan mural itu memang tergantung aturan pemerintah kota, tetapi jika mural Presiden Jokowi dianggap menghina, pertanyaan berikutnya apakah tidak ada lagi kebebasan berekspresi di negeri ini." (Kompas.com, 15/08/2021) 

Kebebasan dalam Demokrasi, Utopis 

Sejatinya setiap makhluk hidup bebas untuk mengutarakan pendapat dan berekspresi di muka umum. Kebebasan berpendapat merupakan bagian penting dari sebuah demokrasi, ya sistem demokrasi yang saat ini dianut oleh negara kita. Yang seharusnya memberi kebebasan rakyatnya untuk berpendapat dan berekspresi di muka umum. 

Namun persoalan mural ini mencerminkan negeri ini tak memberi ruang kepada rakyatnya untuk berpendapat dan berekspresi di muka umum. Apalagi pendapat yang menyinggung pemimpin dan mengancam keberlangsungan ideologi. Padahal sejatinya mural tak hanya sebagai seni tetapi telah menjadi lambang kebebasan berpendapat seseorang. Lantas apakah tak ada lagi Kebebasan berpendapat di negeri ini?

Nilai demokrasi perlu dipertanyakan. Pasalnya pemerintah saat ini menjadikan kritik sebagai penyakit yang harus dihilangkan. Terlihat dengan jelas demokrasi yang seolah menjamin kebebasan, namun faktanya anti kritik. Seperti halnya yang terjadi saat ini dalam Persoalan mural. 

Berbeda dengan negara lain yang menjadikan mural sebagai media kritik. Indonesia justru menghapus dan memburu pembuatnya. Betapa mirisnya negeri ini. Mengkritik pemimpin dikriminalisasi. Berbeda halnya jika ungkapan “kebencian”  dengan leluasa diungkapkan para politisi, para pemangku kepentingan, atau para pejabat negara, maka hukum sepertinya tak berlaku bagi mereka. Disatu sisi menjamin kebebasan berpendapat bagi individu namun disisi lain membungkam kaum muslim menyampaikan dan menyebarluaskan ajaran Islam. 

Seakan menjadi hal wajar karena dalam sistem ini, kekuasaan merupakan alat kepentingan individu bahkan kelompok. Berpendapat yang menyinggung pemerintah sama halnya mengkritik pemerintah. Tetapi semakin dikritik, pemerintah semakin garang. Bukan menjadikannya sebagai bahan pertimbangan tetapi malah dikriminalisasi rakyatnya. Seharusnya, dengan kritik pemerintah bisa mengoreksi diri dan sadar diri. Bukan bertindak represif terhadap rakyatnya.

Beginilah wajah demokrasi. Aturan yang dibuat oleh akal manusia yang terbatas dan cenderung menggunakan kekuasaan untuk membungkam mulut rakyat. Menyesuaikan kepentingan masing-masing.

Hal ini sangat berbeda dengan Islam.  Dalam Islam, kritik atau berpendapat merupakan amar makruf nahi mungkar. Rasulullah Saw., bahkan menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-thariq menuturkan sebuah riwayat,

“Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw., seraya bertanya, “jihad apa yang paling utama?” Rasulullah Saw., menjawab “kalimat hak (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang zalim.” (HR.Imam Ahmad).

Muhasabah atau kritik terhadap penguasa merupakan bagian dari syariat Islam yang agung. Dengan muhasabah, tegaknya Islam dalam negara akan terjaga dan membawa keberkahan. Seorang Pemimpin seharusnya tak perlu alergi kritik apalagi sampai mengkriminalisasikan rakyat yang mengkritik atau berpendapat. 

Sungguh negeri ini akan maju jika dikelola dengan amanah dan pemimpin yang siap dikritik demi kebaikan bersama. Namun seorang pemimpin yang amanah dan siap dikritik tak akan tercipta dalam sistem demokrasi. Sebab sistem demokrasi mencetak pemimpin yang individualis sehingga tak ada solusi yang akan memberikan kebaikan dan keberkahan selain dengan sistem Islam yang akan mencetak pemimpin yang amanah dan siap dikritik untuk kebaikan bersama.
Wallaahu a’lam bish showwab

Post a Comment

Previous Post Next Post