Dilema Aturan Ganjil-Genap, Islam saja Solusinya !

Oleh Ummu Raisya 
Ibu Rumah Tangga dan Pegiat Dakwah


Di saat virus Corona mengganas, tak ayal membuat pemerintah kewalahan. Yang pada akhirnya, PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) pun diberlakukan, setelah sebelumnya kebijakan PSBB. Jika sudah demikian, maka warga lah yang paling terdampak. Baik dari sisi terancamnya nyawa karena Covid, begitupun dari sisi ekonomi akibat pemberlakuan PPKM darurat. Keluhan-keluhan dari masyarakat pun seringkali kita dengar dan saksikan. Akibat penyekatan dan pembatasan, mereka kesulitan mencari nafkah, sedangkan kebutuhan harus tetap dipenuhi. Mereka dihadapkan pada dua pilihan berat, tetap beraktivitas menerjang badai pandemi atau diam di rumah dalam kelaparan. 

Sebagaimana diketahui, pemerintah resmi memperpanjang penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 Jawa-Bali dari 17-23 Agustus 2021. Di daerah Provinsi Jawa Barat sendiri terdapat 16 daerah yang memberlakukan PPKM level 4, termasuk di antaranya daerah Kabupaten Bandung. Selain itu, Kabupaten Bandung dan Polresta Bandung menerapkan aturan ganjil genap untuk kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat. (Kompas.com, Kamis,12 Agustus 2021)

Efektifitas dari penertiban ini tampaknya belum terlihat, karena banyak masyarakat yang menggunakan kendaraan masih bingung dengan aturan tersebut. Dan pemberlakuan aturan ganjil genap pun ternyata tidak hanya berlaku pada nomer kendaraan. Tapi juga diberlakukan pada nomer handphone untuk pelaksanaan sholat Jumat. Lalu, mungkinkah penerapan aturan ini akan benar-benar solutif menekan penyebaran Covid? 

Kebijakan PPKM dengan sederet aturan pembatasan dan penertiban di dalamnya bagi rakyat kecil tidak masalah. Justru akan ditaati selama pemerintah mencukupi kebutuhan rakyat. Jadi tidak ada istilah PPKM membuat rakyat mati kelaparan. Meski tidak dimungkiri bantuan pemerintah berupa bansos itu ada. Sayangnya, bantuan tersebut bukanlah bentuk tanggung jawab negara yang seharusnya diberikan, selain tak mencukupi rakyat terdampak, juga muncul fakta miris berupa praktik korupsi dan penyaluran bansos tidak tepat sasaran.

Jika dicermati secara mendalam, PPKM adalah kebijakan lockdown ala kapitalisme, agar negara tidak menanggung seluruh kebutuhan masyarakat. Sikap ini tentu saja menjadi bukti kegagalan pemerintah dalam menangani pandemi. Karena pembatasan dan penertiban apapun termasuk mobilitas kendaraan bukanlah langkah tegas. Masih membuka lebar peluang tersebarnya wabah. Tak heran, jika di tengah masyarakat main kucing-kucingan pun kerap terjadi, bahkan menolak kebijakan yang dikeluarkan. Semua itu karena desakan kebutuhan hidup yang membuat mereka harus keluar rumah. Dampaknya, kebijakan yang diambil pun diragukan keefektifannya. 

Seandainya, pemilik kebijakan mau membuka hati nurani, niscaya kepentingan rakyat akan diutamakan. Namun kenyataannya, pemerintahan berbasis kapitalis sekuler hanyalah pemerintahan transaksional. Kebijakan yang dibuat diukur dengan untung rugi bukan kemaslahatan publik. Dampaknya, penanganan wabah pun hanya berkutat pada solusi-solusi cabang yang dilakukan berulang-ulang bak rantai setan tanpa benar-benar mampu menghentikan pandemi ini secara tuntas. 

Inilah konsekuensi ketika kehidupan diatur oleh sistem kapitalisme. Nilai materi sebagai ukuran bagi setiap kebijakan. Walhasil, nilai-nilai moral, rohani dan kemanusiaan pun tercerabut dari kehidupan. Bahkan para pemimpin yang harusnya mengayomi masyarakat, begitu acuh dan hilang sense of crisis. 

Berbeda dengan Islam, yang menjadikan keimanan sebagai asas dalam menjalankan kehidupan. Aturan-aturan yang ditetapkan mengacu pada apa-apa yang ditetapkan oleh Sang Pencipta. Islam memiliki seperangkat aturan kehidupan yang paripurna termasuk mengatasi terjadinya wabah. 

Islam melahirkan aturan kehidupan bagaimana melahirkan pemimpin yang bertanggung jawab. Dalam sistem Islam lahir pemimpin yang amanah. Rasa takut akan dosa dan hisab kelak di Yaumil Akhir menjadi pijakan bagi segala bentuk kebijakan yang dibuat. Islam menjadikan pemimpin memiliki peran sebagai raa'in (pelayan/pengurus) dan junnah (perisai/pelindung). Artinya pemimpin tersebut berperan mengayomi masyarakat. Memastikan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan rakyat yang berada di bawah tanggung jawabnya bisa tercukupi dengan baik. Begitupun terhadap kebutuhan bersama masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan bisa terpenuhi dengan baik. Selain itu, pemimpin sebagai raa'in dijalani tanpa berharap keuntungan materi, namun semata meraih pahala kelak di Yaumil Akhir. Dan pemimpin sebagai perisai artinya menjadi pelindung bagi rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara berkelanjutan. 

Tak hanya itu, aturan dalam Islam pun mewujudkan aturan ekonomi yang kuat dan mandiri. Sehingga saat terjadi wabah sektor ekonomi tetap bisa berjalan. Jauh sebelum terjadinya wabah Rasulullah saw sudah memberikan solusi cara mengatasi wabah dengan mengunci daerah yang terpapar. "Jika engkau mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka janganlah tinggalkan tempat itu." (HR.Bukhari)

Maksud dari hadits tersebut istilahnya sekarang adalah lockdown. Sehingga kegiatan masyarakat di daerah yang tidak terpapar akan tetap berjalan normal. Sementara untuk daerah yang terpapar, negara akan memperhatikan dan mencukupi kebutuhan mereka dengan sepenuh hati. Ini semua ditopang dengan ekonomi yang berlandnaskan syariat Islam. Pemasukannya berasal dari sumber daya alam di daratan, lautan, dan lainnya yang dikelola dan diatur oleh negara. Hasil dari pemasukan tersebut akan dirasakan oleh semua rakyat tanpa diskriminasi. 

Rakyat tidak akan dilema dengan kebijakan yang diberikan oleh sistem Islam karena rakyat dipenuhi kebutuhannya dari mulai sandang, pangan dan papan. Bukan sebatas ketika wabah saja, tapi tidak terjadi wabah pun akan dipenuhi. Sehingga kesejahteraan di tengah-tengah mereka bisa terwujud.

Sosok pemimpin seperti ini bisa tercermin pada kepemimpinan Umar bin Khattab. Pada saat itu terjadi musim panceklik di Jazirah Arab. Beliau sangat sigap mengurusi distribusi makanan ke pelosok Madinah dengan mengangkat petugas khusus. Bahkan Umar terjun langsung ke lapangan demi memastikan semua penduduk mendapat bantuan langsung pangan yang diberikan negara. Sikap yang ditunjukkan Umar adalah implementasi hadis Rasulullah saw., yaitu:

"Pemimpin adalah pelayan, dan hanya dialah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya." (HR. Imam Ahmad dan Bukhari)

Tanggung jawab Umar sebagai pemimpin negara dilakukannya setiap saat, baik kala terjadinya wabah maupun tidak. Sehingga rakyat tak dibebani dengan kebutuhan mendasar karena sudah diberikan jaminan oleh negara. Dengan demikian rakyat pun akan patuh dengan segala kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Jika sistem Islam pernah terbukti berhasil mengatasi wabah, masihkah dilema untuk mengambil aturannya? 

Wallahu a'lam bi Ash-Showwab

Post a Comment

Previous Post Next Post