Ramadan Terakhir


By Rumaisha

Salma menghampiri Hasanah, ibunya yang sedang menyulam di ruang tamu. Dengan hati-hati ia duduk di sebelahnya tanpa suara. Sebagai orang desa, ibunya memang berbeda dengan teman sepermainannya. Di kala temen-temen sebayanya berburu rupiah dengan menjadi buruh tani, ibunya justru menekuni aktivitas menyulam untuk menambah pundi-pundi penghasilan keluarganya. 

Salma berharap ini saat yang tepat untuk mengutarakan maksudnya yang selama ini terpendam.

"Emak ... Salma minta ijin dan restunya untuk menikah dengan Ahmad," katanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

"Apa?"

Hasanah melihat ke arah si sulung dengan pandangan penuh selidik. Memang selama ini, ia mendengar rumor itu, tapi ia menganggapnya sebagai angin lalu. Terlebih, ia tidak pernah melihat anaknya pergi dengan orang yang dimaksud, seperti umumnya anak-anak di desanya yang terkesan bebas.

"Temanmu yang sudah duda itu?" Hasanah kembali bertanya, seakan ingin memastikan.

Salma terdiam. Sebenarnya, ia pernah membicarakan dengan emaknya terkait niatnya ini. Tetapi, kedua orang tuanya tidak setuju dengan keputusannya. Emaknya menentang keras rencananya, sementara ayahnya tak kuasa untuk melawan istrinya yang mau menang sendiri.

Alasan Hasanah, cukup bisa dimengerti. Dia malu, kalau putri semata wayangnya menikah dengan orang yang pernah mengalami gagal dalam rumah tangga. Ditambah perbedaan usia yang terpaut 10 tahun di antara keduanya.

"Tidak! Emak tidak setuju. Apa kata saudara dan tetangga nanti, kalau kamu menikah dengan duda. Apa tidak ada laki-laki lain selain dia?" 

"Emak, bukan masalah ada atau tidak ada. Jodoh itu dari sisi Allah. Insya Allah ini adalah pilihan terbaik. Dia orangnya saleh, taat ibadah, dan pemahaman agamanya bagus. Walaupun memang pernah bercerai, posisi yang salah itu istrinya yang tidak taat kepada suami, dia tidak menjaga pergaulan dengan laki-laki lain yang bukan suaminya. Itu yang membuat terjadi perceraian di antara mereka," sahut Salma menegaskan kembali. 

Berkat tekadnya yang keras dan tak lupa berdoa kepada Zat yang membulak-balikan hati, akhirnya orang tua dan keluarga besarnya menerima Ahmad sebagai calon menantu. 

Dua hari menjelang Ramadan 1441 H, mereka melaksanakan akad nikah yang sederhana. Ini atas permintaan Salma supaya pernikahan tidak dirayakan secara besar-besaran. Yang penting, diumumkan kepada tetangga dan kerabat sebagai tanda  syukur, seperti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah, "Umumkanlah pernikahan walaupun hanya menyembelih seekor kambing."

1442 H, tepat satu tahun mereka mengarungi bahtera rumah tangga. Sekalipun badai kadang datang menerjang, tetapi pemahaman Islam yang mereka miliki, berhasil mengatasi setiap guncangan yang menghadang. Wajar, menyatukan dua isi kepala yang berbeda, butuh kepada kesabaran dan sikap saling menerima kekurangan. Perbedaan usia yang terpaut jauh, tidak lantas membuat mereka saling menjauh, tetapi justru menambah keharmonisan di antara mereka. Seorang anak telah lahir hasil dari buah cinta mereka, seorang putri yang mereka beri nama Siti Khumairah yang sekarang usianya menjelang tiga bulan. 

"Kang, ingat hari ini hari apa?" Salma bertanya kepada suaminya.

"Hari apa yah, hari Sabtu kan? dan dua hari kita akan memasuki saum Ramadan, kenapa gitu Neng?"

"Ah, ... masa gak ingat Kang!" rajuknya sambil menyandarkan kepala di pundak suaminya.

"Ya Allah, tanggal 20, kita belum bayar listrik sayang ... bisa-bisa nanti malam kita bergelar-gelap ria," katanya.

Ahmad melirik ke arah istrinya. Terlihat, ada mendung menyelimuti wajahnya. Dia tahu, pasti istrinya itu lagi ngambek.

Seketika itu, Ahmad mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya. Kotak kecil berwarna merah. "Selamat hari pernikahan kita yang ke-1 yah! semoga pernikahan kita tetap langgeng sampai kakek nenek."

Salma menerima hadiah dari suaminya dengan muka berseri-seri. Sebuah cincin bermata merah delima yang sangat cantik. Hari yang bersejarah dalam hidupnya pasti akan selalu diingat karena bertepatan dengan bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Ramadan, bulan mulia tinggal dua hari lagi. Walaupun, di tengah pandemi yang tak kunjung berakhir, mereka tetap harus menyambut bulan yang penuh barakah ini dengan suka cita. Salma teringat perkataan ustaznya bahwa setiap kali menjelang datangnya Ramadan, Allah memerintahkan para  malaikat serta  bidadari-Nya untuk menghiasi surga-surga dengan cahaya gemerlapan demi memuliakan tamu agung yang akan datang berkunjung, yaitu bulan suci Ramadan. Alangkah malunya kalau kita sebagai hambanya tidak menunjukkan sikap gembira. Padahal, Allah sudah memberi kenikmatan yang luar biasa kepada kita.

Sebetulnya, Ahmad dan Salma, ingin merayakan munggahan di desanya, berkumpul bersama handai taulan. Biasanya, anak-anak yang merantau ke kota, selalu pulang kampung untuk merayakan hari pertama puasa di kampung halamannya. Terlebih setelah mereka pindah ke kota, mereka memang jarang pulang, apalagi si kecil Siti, belum bisa diajak untuk pergi jauh.

"Neng, kita besok pulang ke ibu yah, kita munggahan di sana, kan siti belum pernah diajak."

"Kang ... nanti aja yah, pulangnya, sekalian lebaran. Mendingan kita ngumpulin uang dulu buat bekalnya."

Ahmad terdiam. Dalam hati kecilnya, ia ingin sekali munggahan di  rumah ibu mertuanya. Setelah menikah, Hasanah sangat baik kepadanya. Sikap hormat yang ia tunjukkan, telah membuat perubahan yang sangat besar pada kedua orang tuanya. Ilmu yang ia dapatkan dikaji annya, selalu ia terapkan untuk birul walidain kepada keduanya.

Orang tuanya sendiri, sudah hampir lima tahun meninggal dunia. Kecelakaan maut telah merenggutnya ketika mereka pulang ziarah dari makam para wali. Mobil yang ditumpanginya mengalami rem blong dan masuk jurang. Tinggallah ia bersama seorang adiknya yang perempuan, yang sekarang sudah berkeluarga dan tinggal di kota Cianjur. Sesekali saja mereka bertemu secara langsung. Kalau mengingat hal itu, Ahmad sangat terpukul. Tetapi dia menyadari bahwa kematian akan menimpa setiap hambanya. Siap atau tidak siap, kematian pasti datang.

******

Di sebuah desa terpencil, di mumunggang gunung Haruman, di situlah Hasanah bersama suami dan anak bungsunya tinggal. Suasana Ramadan sudah terasa. Sanak saudara dari kota sudah banyak yang pulang. Tujuannya satu, ingin merayakan munggahan di kampung halaman.

Tiba-tiba, ia ingat anak dan menantunya. Tetapi ia belum mendapatkan kabar apapun. Sebetulnya ia paham, cucunya belum bisa melakukan perjalanan jauh, terlebih masih dalam suasana pandemi seperti ini. Apalagi kalau memakai motor, sangat beresiko di dalam perjalanan.

"Mak, si Teteh, heunteu munggahan di dieu?" tanya Ali kepada emaknya dengan bahasa sunda yang khas. Emaknya lagi asyik membereskan dan mencat ulang rumahnya sebagai bentuk kebahagian menyambut Ramadan. Debu yang menempel di kaca, tak lupa ia bersihkan. Menyambut tamu istimewa, harus dipersiapkan dengan segenap jiwa, dan penuh suka cita.

"Coba, nanti Emak telepon si tetehnya."

Ali berlari ke dalam. Tidak berapa lama kemudian ia kembali dengan membawa ponsel di tangannya dan memberikan kepada emaknya. Ia sudah tidak sabar menunggu teteh dan ponakannya yang lucu.

Hasanah, mencoba untuk menelepon anaknya. Tapi ternyata sinyalnya kurang bagus. Setelah dicoba beberapa kali, akhirnya ia berhasil ngobrol dengan anaknya walaupun dengan suara yang putus-putus. Intinya, munggahan nanti, Salma belum bisa pulang, karena alasan yang kuat. Semoga saja, idul fitri nanti, insya Allah bisa pulang. Berkumpul dengan sanak keluarga.

"Mak, abdi hoyong nyarios sakedap." Ali merebut ponsel yang ada di tangan emaknya. "Teteh, iraha bade ka dieu? abdi hoyong ameng sareng si Ade?"

"Muhun, engke teteh uih ya! Ali nurut ka Emak, jadi anak yang saleh, engke dipasihkan hadiah lebaran pami puasanya tamat," tukasnya. Ponselnya langsung mati, rupanya sinyalnya tidak ada.

Sementara, Ali berjingkrak-jingkrak, membayangkan hadiah yang akan diterimanya. Sambil tersenyum, ia meninggalkan emaknya sambil bernyanyi kecil. 

Pada hari Minggu 
Kuturut ayah ke kota
Naik delman istimewa kududuk di muka 
Kududuk samping pak kusir 
Yang sedang bekerja
Mengendarai kuda supaya baik jalannya
Tuk tik tak tik tuk tik tak 
Suara sepatu kuda

Emak tersenyum melihatnya. Perbedaan usia yang sangat jauh dengan tetehnya, membuat Salma bersikap memanjakannya. Waktu itu, ia lupa untuk pergi ke bidan untuk di KB. Ternyata, Allah masih memberinya amanah, seorang anak lelaki yang sangat pintar, Hasanah, bersyukur atas karunia ini.

*****

Ahmad dan Salma sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut Ramadan. Walaupun di tengah pandemi dan  keterpurukan sedang melanda, umat Islam tetap harus bersuka cita menyambutnya. Sudah sewajarnya melakukan hal itu sebagai tanda syukur. 

Malam sudah semakin larut. Ahmad masih terjaga di ruang tamu. Sementara Salma masih mengeloni si kecil Siti, yang masih belum tidur. Saking capek di siang harinya, Ahmad ketiduran di kursi panjang. Salma menyelimuti suaminya. Ia tidak berani membangunkannya. Biarlah ia istirahat, pikirnya.

Pukul 2.00, Salma terbangun mendengar bunyi alarm yang sengaja ia pasang, agar ia bisa memantau kabar hilal. 

"Kang, ayo sahur, hilal sudah terlihat," Salma berkata pelan ke telinga suaminya.

"Sudah ada info? Aduh, maaf Akang ketiduran."

"Sudah, tadi Ustadzah
Habibah mengirim kabar."

Mereka pun sahur bareng ditemani si kecil. Dia ikut memeriahkan sahur bersama kedua orang tuanya.

Walaupun masih menyusui, namun Salma mencoba untuk puasa. Semoga saja, Siti sehat ketika ibunya tidak makan dan minum di siang hari. Salma mengantisipasinya dengan sahur yang bergizi dan minum yang banyak. Sehingga ASI yang diproduksinya bisa mencukupi kebutuhan Siti di siang harinya. 

Hari pertama puasa, Ahmad tetap bekerja seperti biasa. Maklum, ia bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergelut dengan pengiriman paket. Puasa di hari pertama, tidak membuatnya lemah, kebiasaan saum sunah yang dilakukannya telah membentuk habbits pada dirinya. Sehingga Ramadan dijalaninya dengan ringan.

Sebelum masuk ke tempat kerjanya, Ahmad melewati sebuah rumah makan yang buka seperti biasa. Ya Allah, ini masih hari pertama Ramadan, tetapi mereka dengan seenaknya makan dan minum. Sedihnya, justru pemerintah mengeluarkan suatu narasi yang membuat orang geleng-geleng kepala, "Harus menghormati yang tidak berpuasa." Aneh memang  negeri ini, padahal mayoritas muslim. Sepanjang perjalanan sampai ke kantor, Ahmad terus berpikir.

Menjelang sore hari, Ahmad baru pulang. Nuansa Ramadan betul-betul terasa dan berbeda. Di sepanjang jalan yang dilewati, jajanan khas ta'jil berderet di kiri kanan. Kolak dengan berbagai macam sajian, kerupuk siram, mie comot, dan berbagai macam gorengan yang menjadi andalan berbuka puasa di setiap rumah. Masya Allah, bulan Ramadan adalah bulan yang penuh berkah bagi semuanya. Bukan hanya umat Islam, tapi berkah bagi manusia secara keseluruhan.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam, sore banget pulangnya Kang?"

"Biasa Neng, banyak paket yang harus diantar. Menurut jadwal, kemungkinan Akang ke luar kota pertengahan Ramadan ini," katanya sambil mengambil Siti dari gendongan Salma.

Sebetulnya, Salma berharap selama Ramadan ini suaminya tidak bertugas ke luar kota. Biar fokus untuk melaksanakan puasa bareng keluarga. Kasihan juga empat hari yang melelahkan dalam perjalanan. Pekerjaan  Ahmad sebagai driver, kadang menyelipkan rasa khawatir pada Salma. Maklum hidup di jalanan harus siap dengan resiko kecelakaan yang mengintai setiap saat. Kadang kita sudah hati-hati, tetapi belum tentu orang lain seperti itu.

Salma tahu, suaminya adalah seorang pekerja keras dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan. Percuma dia memintanya, agar jangan ke luar kota, Ahmad pasti akan menjawabnya dengan panjang lebar.

Allahu Akbar. Allahu Akbar...

Alhamdulillah, mereka kompak mengucapkannya. Ahmad dan Salma berdoa sebelum menyantap es kelapa yang sudah disiapkan. "Nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan." Betapa luar biasa nikmat-Mu, seharian merasakan lapar dan haus, sirna setelah minum seteguk air.

Di luar, lembayung merah bergelayut di langit. Semua insan yang menjalankan puasa, tenggelam di rumahnya masing-masing. Merasakan suka cita yang mendalam akan kenikmatan yang Allah berikan kepada setiap hambanya.

*****

Ramadan tahun ini, Ahmad pergi salat tarawih seorang diri. Salma melakukannya di rumah sambil menjaga si kecil Siti. Kebetulan di tempat tinggalnya termasuk zona hijau, jadi masyarakat  diperbolehkan untuk melakukan salat di masjid. 

Setelah salat tarawih, Ahmad langsung mengisi kajian rutin bersama adik-adik binaannya. Kali ini materi yang ia sampaikan tentang keberkahan Ramadan dari hadis Bukhari dan Muslim.

"Siapa saja yang berpuasa satu hari di jalan Allah, dijauhkan wajahnya dari api neraka sebanyak (jarak) tujuh puluh musim."

"Masya Allah Ustadz, betapa luar biasa  pahala saum Ramadan ini," sahut Usman, salah satu dari mereka yang dari tadi menyimak.

"Iya, makanya kita harus memanfaatkan sebaik mungkin Ramadan ini, mumpung usia kita masih ada. Belum tentu besok, lusa, atau minggu depan, apakah nafas kita masih ada dalam raga."

"Ah, Ustadz, bikin kita takut dan sedih," Danang turut bersuara, apa yang barusan diterangkan oleh  gurunya.

"Kenapa harus takut, kematian akan menghampiri setiap jiwa. Suka atau tidak suka. Siap atau tidak, ajal itu pasti akan menjemput," kata Ahmad melanjutkan kata-katanya.

Semuanya terdiam. Mereka hanyut dalam pikirannya masing-masing. Bulir bening jatuh dari bola mata mereka. Usman, Danang, dan yang lainnya tenggelam dalam kesenduan. Dalam hati, mereka membenarkan setiap ucapan yang keluar dari lisan gurunya tersebut.

Setelah kajian beres dan ditutup dengan doa kafaratul majelis, Ahmad pamit pulang. Besok pagi, ia harus siap-siap untuk pergi keluar kota, menunaikan tugasnya. Tujuannya, pelabuhan Perak, Surabaya.

*****

"Neng, Akang besok jadi ke Surabaya yah, kemungkinan empat hari. Tolong siapin, baju dan lain-lainnya, jangan lupa alat-alat mandi."

"Iya, Kang. Tidak ada yang bisa gantiin yah?" tanya Salma.

"Gak ada, ini kan tugas giliran. Sebetulnya Akang juga berat meninggalkanmu dan Siti," sahutnya. Pandangannya menerawang ke atas langit-langit rumah, entah apa yang ada dalam pikirannya.

Pagi-pagi sekali, setelah sahur, tidak biasanya Ahmad membangunkan anaknya yang masih terlelap dalam buaian pagi. Siti menggeliat karena terus-menerus dihujani kecupan dari ayahnya. Lama kelamaan, anak itu terbangun juga karena merasakan ada gangguan yang datang. Ahmad langsung menggendongnya.

"Kemana pagi-pagi begini?" Salma bertanya ketika Ahmad keluar.

"Ngajak jalan si Ade, nanti sore kan mau berangkat. Pasti Akang rindu nanti, selama empat hari tidak bertemu."

Salma langsung beres-beres rumah dan menyuci pakaian. Mumpung ada yang pegang Siti, pikirnya. Karena, kalau ayahnya sudah pergi kerja dan Siti terbangun, ia tidak bisa menyelesaikan pekerjaan rumahnya dengan tenang.

Sore itu, Ahmad pamitan untuk berangkat. Tak henti-hentinya ia memeluk si kecil.

"Baik-baik di rumah yah, Nak! jangan rewel. Kasihan Bunda, sendirian, doakan supaya Ayah selamat dalam perjalanan," katanya, sambil mengelus kepala Siti.

Tangan Siti meronta, ingin digendong sama ayahnya. Salma, menenangkannya agar tetap dipangkuannya. Karena ia tahu, Ahmad harus segera pergi.

Empat hari telah berlalu. Jam di dinding masih menunjukkan pukul 6.00 WIB. Di luar gerimis turun menghapus debu-debu yang menempel pada  pepohonan di halaman. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Salma mengangkatnya.

"Assalamualaikum, ini benar dengan Bu Ahmad?" suara seseorang di seberang menyapanya.

"Iya, ini dengan siapa yah?"

"Saya, dari perusahaan tempat bapak bekerja. Ingin memberitahukan, bahwa suami Ibu mengalami kecelakaan di  tanjakan gentong."

"Apa? terus gimana keadaannya Pak, baik-baik saja kan?"

"Maaf, Ibu, Pak Ahmad meninggal dunia karena pendarahan yang hebat. Ada urat nadi besar yang putus sehingga darahnya susah dihentikan."

"Akang!"

Salma histeris dan menjerit dengan keras. Setelah itu semuanya gelap ... gelap sekali.

Bu Ani, tetangganya yang mendengar teriakan Salma menghambur masuk ke dalam. Didapatinya Salma sudah tak sadarkan diri. Dia mengambil ponselnya yang masih terdengar ada panggilan.

"Iya Pak, ada apa ini? Bu Salma pingsan. Saya tetangganya."

Akhirnya, pihak kantor memberitahukan masalahnya. Ia meminta untuk memberitahukan kepada keluarganya dan menemani Bu Salma. Pihak kantor nanti yang akan mengurus kepulangan jenazahnya sampai di rumah.

"Ya Allah. Inna lillahi wa inna ilaihi roojiuunn."

Bu Ani langsung memberitahukan tetangganya dan  keluarga Salma. Semua bergerak. Ada yang memegang si kecil Siti, ada juga yang membantu Salma agar segera siuman. Setelah agak lama, Salma akhirnya terbangun dan mendapati  di rumahnya sudah banyak orang, semua menenangkannya. Salma memeluk anak kesayangannya. Semua yang hadir berusaha menghiburnya, agar ia tabah menerima cobaan ini. Ustadzah Habibah juga hadir bersama mereka.

Emak dan keluarganya tidak lama kemudian datang. Salma menghambur kepelukan emaknya dan kembali menangis.

"Emak ... nanti Salma sama siapa?"

"Nduk, sing eling! gak boleh ngomong gitu, kamu harus sabar. Ada  Emak, Bapak dan keluarga di sini. Allah lebih sayang kepada suamimu. Biarkan dia tenang di sisi-Nya," katanya sambil mengelus kepala anaknya.

Perusahaan berkoordinasi dengan pihak keluarga bahwa jenazah akan segera datang, dalam keadaan sudah dimandikan dan dikafani. Setelah rembug dengan keluarga, Salma memutuskan untuk membawa almarhum ke tempat tinggalnya di desa, untuk dikuburkan di sana.

Semuanya kaget mendengar wafatnya Ahmad tak terkecuali adik-adik binaannya. Danang teringat kajian yang diberikan Ahmad tentang "Harus siap ketika kematian menjemput." Itulah kata-kata yang terngiang di telinganya. Begitu juga apa yang dirasakan oleh Usman dan yang lainnya yang ikut kajian malam itu. Ternyata, itu adalah malam terakhir mereka bertemu dengan ustaznya

Suara sirene ambulans sudah terdengar dari kejauhan. Tetangga dan keluarga sudah menunggu di luar. Protokol kesehatan tetap diingatkan untuk menjaga segala sesuatu yang tidak diinginkan. Jenazah akhirnya tiba di rumah duka. Salat jenazah akan dilakukan di masjid dekat rumah, dan diatur pelaksanaannya, agar tidak ada kerumunan yang banyak. Setelah itu, jenazah akan langsung dibawa ke desa, tempat tingal Salma.

Salma didampingi Ustadzah dan emaknya menghampiri jasad suaminya. Ia sudah terlihat lebih tegar dari sebelumnya. Perlahan, kain kafan yang menutupi muka suaminya di buka, terlihat sosok orang yang dicintainya terbujur kaku, Salma mengecup keningnya untuk yang terakhir kali. Gerimis di hatinya mulai turun lagi. Dalam diamnya ia berdoa, "Ya Rabbi, ampunilah segala kesalahan suami hamba, hamba bersaksi bahwa ia adalah suami yang saleh dan bertanggung jawab kepada keluarganya, semoga kami dipertemukan kembali di surga-Mu kelak. Aamiin."

"Sudah Nduk, sabar, jenazah mau dibawa ke masjid untuk disalatkan," emaknya mengingatkan sambil membawa si kecil Siti agar melihat sosok ayahnya untuk terakhir kali. 

Setelah jenazah beres disalatkan, keluarga, tetangga dan teman almarhum siap-siap. Mereka akan mengantar ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Ahmad, betul-betul pulang kampung seperti yang akhir-akhir ini dirindukannya untuk munggahan. Bedanya, ia pulang ke kampung akhirat dan tak akan kembali ke dunia yang fana. Pulangnya kali ini diiringi dengan deraian air mata dari orang-orang yang mencintainya.

Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah
irji'ii ilaa Rabbiki
raadhiyatan mardhiyyah
Fadkhulii 'ibaadii
wadkhulii jannati

(Hai jiwa yang tenang
Kembalillah kamu kepada  Tuhanmu
dengan hati puas lagi diridai
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku
Maka masuklah ke dalam surga-Ku.)

Seminggu kemudian, Salma dan keluarga besarnya merayakan idul fitri, walaupun Ahmad tidak bersamanya, tetapi mereka bahagia menyambut hari kemenangan tersebut. Idul fitri, kembali kepada fitrah seperti seseorang yang baru dilahirkan ke dunia. Sosok almarhum masih terbayang jelas dalam ingatan Salma. Semoga kelak mereka  dipertemukan kembali dalam keabadian surga yang luasnya seluas  bumi dan langit.

Post a Comment

Previous Post Next Post