Kaya Direhabilitasi, Miskin Dihabisi


Oleh : Karmila Sari 
(Mahasiswi USN Kolaka)

Dilansir dari KOMPAS.com, artis Nia Ramadhani dan suaminya Ardi Bakrie mengajukan permohonan rehabilitasi dalam kasus dugaan penyalahgunaan narkoba jenis sabu. 

Kapolres Jakarta Pusat Kombes Hengki Haryadi mengungkapkan, jika nanti Nia dan Ardi menjalani rehabilitasi, proses hukum dipastikan tetap bergulir. 

"Kami tekankan, seandainya rehabilitasi sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 54 Undang-Undang No 35 Tahun 2009, bukan berkas tidak dilanjutkan, tetap kami lanjutkan, ini penekanan agar tidak simpang siur dan disinformasi. Kami lakukan penyidikan secara profesional," kata Hengki dalam konferensi pers di Mapolres Jakarta Pusat, yang disiarkan langsung KompasTV, Sabtu (10/7/2021).

Rehabilitasi, tegas Hengki, tidak dilakukan oleh penyidik dari Polres Jakarta Pusat. Penentuan rehabilitasi akan dilakukan oleh tim asesmen terpadu dari Badan Narkotika Nasional yang beranggotakan polisi, kejaksaan, dokter, serta psikiater.

 "Jadi perkara tetap kami wajibkan, kami bawa ke sidang nanti divonis hakim, di mana maksimal empat tahun (penjara)," kata Hengki. 
 
Sebelumnya, kuasa hukum Nia dan Ardi, Wa Ode Nur Zainab, mengaku akan mengajukan permohonan rehabilitasi dalam waktu dekat. Wa Ode mengatakan, Nia dan Ardi adalah korban dari peredaran narkoba. Dia merujuk pada UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan rehabilitasi wajib diberikan kepada korban penyalahgunaan narkoba. 

Kapitalisme; Hukum Berlaku Menjerat yang Lemah

Tumpul ke atas, runcing ke bawah  merupakan kata yang kerap disandingkan dengan negara yang kaya akan hukum ini. Bagaimana tidak, berdasarkan faktanya tidak sedikit  kasus yang ditangani dengan unsur membedakan. Sebagai contohnya adalah kasus korupsi Ratu Atut Chosiyah yang merupakan mantan gubernur Banten yang kemudian dijatuhi hukuman 4 tahun penjara serta denda  senilai 200 Juta Rupiah .Karena Ratu Atut  telah melakukan suap kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Akil Mochtar sebesar 1 Miliar Rupiah untuk memenangkan gugutan yang diajukan pasangan Amir Hamzah dan Kasmin. 

Bandingkan dengan kasus seorang seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan dan dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara. Rasanya sangat tidak adil melihat kasus ini seorang koruptor yang merugikan negara sebesar 1 Miliar Rupiah hanya dihukum 4 tahun penjara, sedangkan seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan dihukum 2,5 tahun. Sungguh miris bukan?

Ditambah lagi kasus yang lagi hangat-hangatnya menimpa artis Nia Ramadhani dan suaminya Ardi Bakrie, serta supir yang juga ikut terseret dalam kasus penyalahgunaan Narkoba, juga tak bisa disepelehkan. Bagaimana tidak, permintaan sang kuasa hukum dari Nia beserta suaminya tersebut untuk melakukan rehabilitasi, berhasil menarik perhatian publik. Sebab, sang kuasa hukum menganggap bahwa mereka adalah para korban yang tentu membutuhkan perawatan medis.

Meski belum jelas akan tindakan selanjutnya para penegak hukum, akan tetapi dari pembelaan yang dilakukan sang kuasa hukum Nia dan Ardi dapat memberikan gambaran yang nyata, bahwa ada keraguan yang timbul atas hukum yang akan berlaku bagi Nia beserta suaminya, yang merupakan kalangan kelas atas. Walaupun tetap menjalani tahap demi tahap, namun tidak ada yang bisa menebak hasil akhirnya seperti kasus-kasus kalangan atas sebelumnya.

Inilah yang terus menerus berkembang selama penerapan hukum sistem kapitalisme masih berjalan, rasa ragu akan keadilan hukum yang berlaku bagi si kaya dan si miskin itu tidak akan ada habisnya.

Jelas saja jika keadilan sosial  bagi seluruh rakyat, sebagaimana yang tertuang dalam sila ke 5 (lima) tersebut tidak akan pernah terealisasi selama hukum  yang berlaku adalah hukum yang dapat dibeli, hukum  yang dapat ditambah dan dikurangi seenaknya dengan ke…
[14.38, 22/7/2021] Lisa Aisyah Ashar: PPKM Darurat, Ibadah Dihambat

Oleh: Wa Ode Neldawati (Mahasiswi USN Kolaka)

Dilansir dari Liputan6.com, Jakarta Kementerian Agama(Kemenag) memutuskan untuk meniadakan shalat idul adha 1442 H di mesjid maupun di lapangan terbuka yang dapat menimbulkan kerumunan pada zona yang diberlakukan PPKM darurat. Hal ini disampaikan Mentri Aagama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas usai menggelar rapat Bersama kementrian coordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan(PKM), Polri, Kementrian Kementrian Ketenagakerjaan, Dewan Masjid Indonesia (DMI), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jum’at (2/7/2021). 

“Salat Id di Zona PPKM Darurat ditiadakan,”katanya. 
Hal ini mengacu pada ketentuan PPKM Darurat yang melarang peribadatan di tempat ibadah. Yaqut mengungkapkan, larangan bukan hanya berlaku pada ibadah umat Islam saja. Melainkan seluruh tempat ibadah di zona PPKM Darurat.

“Kementrian Agama juga sudah menyiapkan peraturan peniadaan peribadatan di tempat-tempat ibadah di luar agama islam seperti di masjid, pura, wihara, Klenteng dan sebagainya. Kita siapkan secara bersamaan kita akan sampaikan kepada kawan-kawan,” tegasnya. 

Di samping itu, pihaknya juga melarang aktivitas takbiran menyambut iduladha 1442 H. takbiran hanya diperkenankan dilakukan dirumah masing-masing.

“Takbiran kita larang di zona PPKM Darurat, dilarang ada takbiran keliling, (serta) arak-arakan. Itu baik jalan kaki maupun kendaraan, di dalam masjid juga ditiadakan. Takbiran di rumah masing-masing,” ucap Yaqut.

Sementara itu, Yaqut juga mengatakan bahwa aturan soal kurban di zona PPKM Darurat membatasi aktivitas penyembelihan hewan kurban di tempat terbuka.

Acara penyembelihan hanya diperkenan disaksikan oleh pihak yang  melakukan kurban.

“Kemudian daging kurban yang biasanya pembagiannya itu seringkali mengundang kerumunan dengan membagi kupon kita sudah atur bahwa pembagian hewan kurban itu harus diserahkan langsung kepada yang berhak kerumah masing-masing,” pungkasnya. 

Kebijakan Kapitalisme Plin-plan, Bikin Rakyat Bimbang

Selama situasi pandemi masyarakat melakukan aktivitas di luar rumah harus selalu memperhatikan protokol kesehatan.  Dalam hal ini, pemerintah menetapkan beberapa kebijakan guna mencegah penularan covid-19 bahkan dari pertama masuknya covid-19 di Indonesia dilakukan penutupan beberapa sarana publik dan sektor pekerjaan termasuk penutupan rumah ibadah. 

Berdasarkan pernyataan di atas bahwa Kementrian Agama (Kemenag) telah memutuskan untuk tidak ada pelaksanaan shalat idul adha, baik di lapangan terbuka atau di mesjid-mesjid yang bisa memicu kerumunan pada zona yang diberlakukan PPKM Darurat. Tindakan ini telah mengundang beberapa pertanyaan pada benak masyarakat, bagaimana tidak Luhut Binsar Panjaitan selaku Menko Kemaritiman dan investasi tetap mengizinkan kegiatan proyek konstruksi berjalan 100%. Selain itu, berbagai tempat yang bisa memicu kerumunan tidak ditutup. Misalnya pasar, tempat makan, supermarket dan sejenisnya dibiarkan terbuka. Alhasil banyak masyarakat yang melanggar prokes (protokol kesehatan).

Jika dibandingkan dengan kondisi di pasar, tempat makan, tempat wisata dan sebagainya merupakan tempat kerumunan yang sulit dikendalikan dan berpeluang besar terjadinya pelanggaran prokes.
 
Sementara itu, pelaksaan shalat idul adha dan takbiran serta shalat di mesjid yang memiliki jumlah jamaah terbatas dan tidak memakan waktu lama untuk melaksanakannya. Lebih mengherankan adalah pemerintah melarang mudik, pelaksanaan sekolah daring, namun di waktu yang bersamaan pemerintah malah membuka lebar bandara internasional dengan masuknya warga asing ke Indonesia. Misalnya masuknya TKA saat PPKM Darurat yang mana berbagai virus varian baru berkembang di negara mereka kini ikut tersebar di negara kita.

Dari berbagai kebijakan yang tidak seimbang, pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tidak dijamin selama pandemik inilah ironinya kepemimpinan dalam sistem sekuler kapitalis.

Jika melihat batasan aktivitas dalam PPKM Darurat sebenarnya tidak jauh berbeda dari kebijakan sebelumnya mulai dari PSBB, PPKM Sejawa-bali, PPKM Mikro, Penebalan PPKM Mikro dan kini PPKM Darurat. Kesemuanya dinilai kurang evektif dalam mengatasi wabah. Sebab terbukti  hingga kini wabah sudah semakin mencekam dan ekonomi kian suram. Namun inilah gambaran rezim kapitalis yang atas nama penyelamatan ekonomi tidak akan membuat kebijakan yang mengorbankan keuntungan materi. Padahal semestinya pemerintah berfokus pada penyelamatan nyawa rakyatnya. 
 
Dalam sistem ini, penguasa hanya bekerja untuk kepentingan korporat yang telah mendanai kampanye mereka. Dengan asas pemisahan agama dari kehidupan, penguasa sekuler tidak akan menjadikan pelaksanaan ibadah publik sebagai hal yang termasuk dalam pengurusannya, ibadah akan terus dianggap atau dibiarkan berjalan di individu-individu masyarakat. Dari sini, sudah sepatutnya sebagai masyarakat yang intelek menyadari bahwa situasi-situasi seperti ini akan terus ada jika sistem kapitalisme masih diterapkan sebagai ideologi negara dan konsekuensinya hanya akan menimbulkan kesengsaraan bagi umat.

Islam Memprioritaskan Pelaksanaan Ibadah

Langkah negeri ini yang salah kaprah ialah akibat dari negeri ini tidak berkiblat pada ajaran Islam, tetapi yang diterapkan adalah ajaran barat kapitalisme. Terkait kebijakan Islam yang tidak dilakukan negara ini dalam menangani pandemi sehingga masalahnya tidak pernah tuntas ialah,

Pertama, kebijakan menutup seluruh kegiatan ekonomi seperti blenket PSBB, PPKM tidak sesuai dengan anjuran Rasulullah saw. Wajar perekonomian kolabs karena yang rasulullah saw ajarkan adalah hanya mengisolasi daerah yang terkena wabah sementara penduduk diluar wabah beraktifitas seperti biasa. 
Rasulullah saw bersabda : “ apabila kalian mendengarkan wabah disuatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu dan apabila terjadi wabah sedang kamu sedang berada ditempat itu maka janganlah keluar rumah.” (HR Muslim).

Sayangnya  negeri ini tidak benar-benar mengadakan daya dan upayanya di awal pandemic. Tak ada upaya serius dalam mengidentifikasi daerah mana yan g terkena wabah dan mana yang tidak. Begitupun kebijakan new normal yang bertentangan dengan prinsip islam.
Karena islam mengajarkan pada kita agar menghindar dari bahaya. PPKM Mikro pun lebih terlihat sebagai perwujutan lepas tangannya pemerintah pusat daripada solusi ampuh atasi pandemic.“sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menular mendekati yang sehat.” (HR ImamBukhori dan Muslim)

Kedua, negara wajib memenuhi kebutuhan individu masyarakat Indonesia. Parameter terpenuhinya kebutuhan masyarakat bukanlah di lihat dari angka, tetapi pada kondisi nyata individu. Sayangnya negara ini vokus pada angka agregat/angka rata-rata, namun mereka abai  pada pada kondisi real individu. Misalnya kacaunya data bansos, hal tersebut terjadi karena akurasi data dan birokrasi yang berbelit. Area yang terkena wabah akan di support penuh kebutuhannya oleh negara. Sayangnya negeri ini lagi-lagi tak serius memberikan bantuan, malah dana pandemi dibagi-bagi pada sejumlah korporasi. Mungkin kita masih ingat polemik kebijakan kartu pra kerja yang lebih terlihat pro pengusaha dari pada rakyat.

Ketiga, dalam Islam kesehatan adalah kebutuhan pokok umat yang harus dijamin oleh negara, sehingga keberadaan rumah sakit sepenuhnya berada di bawah kendali negara. Tentunya hal demikian akan mengantarkan pada pengobatan yang berkualitas dan juga gratis hingga sembuh. Sayangnnya kesehatan di tengah ini di bawah kendali korporasi, sehingga negara  tidak memiliki andil dalam penanggulangan wabah.

Terkait pelaksaan shalat idul adha ada beberapa pendapat tentang hukum pelaksaannya adalah sunnah. Berdasarkan dalil hadits yang Mutaffaq ‘alaih, dari hadits Thalhah bin Ubaidillah, ia berkata 

“Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah saw, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tidak bisa dipahami apa yang dikatannya kecuali setelah dekat.”

Ternyata ia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah saw menjawab “Shalat lima waktu dalam sehari dan semalam”. Ia bertanya lagi  adakah saya punya kewajiban shalat lainnya? Rasulullah saw menjawab tidak melainkan  hanya amalan sunah saja.

Kemudian beliau melanjutkan sabdanya kewajiban berpuasa Ramadhan”
Ia bertanya “Adakah saya punya kewajiban puasa lainnya?”
Beliau menjawab “Tidak, melainkan hanya amalan sunah saja.” (perawi Thalhah bin Ubaidillah) mengatakan bahwa kemudian Rasulullah saw menyebutkan zakat kepadanya. 

Ia pun bertanya “Adakah saya punya kewajiban lainnya?.

Beliau menjawab “Tidak, melainkan hanya amalan sunah saja. Perawi mengatakan setelah itu orang ini pergi seraya berkata “Demi Allah, saya tidak akan menambahkan dan mengurangkan ini” (menanggapi perkataan orang itu) Rasulullah saw bersabda “niscaya dia akan beruntung jika ia benar-benar (melakukannya).”

Berdasarkan hadits ini menganggap bahwa selain pelaksanaan shalat wajib lima waktu sehari semalam adalah sunnah. Kemudian pendapat lain pelaksaan shalat idul adha adalah hukumnya fardhu kifayah berdalih dengan argumentasi bahwa shalat id adalah shalat yang tidak di awali adzan dan iqomat, karena itu shalat ini serupa dengan shalat jenazah, padahal shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula shalat idul adha juga merupakan syi’ar islam. Di samping itu, mereka juga berdalih dengan firman Allah swt 

“Maka dirikanlah shalat karena rabbmu dan berkorbanlah (karena rabbmu).” (QS Al- Kautsar : 2).

Dalam hadits lain Rasulullah saw  juga memerintahkan agar mengikuti jamaah shalat id. Seperti hadits berikut ini, Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, baik gadis-gadis merdeka, yang sedang haidh, maupun yang sudah kawin. Mereka yang sedang haidh tidak mengikuti shalat, dan mendengarkan kebaikan serta nasihat-nasihat kepada kaum Muslim.

Ummu 'Athiyyah berkata: "Ya Rasulullah ada seseorang di antara kami yang tidak mempunyai jilbab."

Maka, Rasulullah bersabda "Hendaknya dipinjamkan jilbab saudaranya atau memakai jilbab wanita lain (yang tidak dipakai)" (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi dan Nasa'i). Dari hadit ini selain mewajibkan Muslimah memakai jilbab pada saat keluar rumah telah jelas pentingnya mengikuti dan melaksanakan shalat id. 

Dalam Islam, seorang pemimpin atau penguasa adalah pengurus kebutuhan umat menjadi proritas dalam kebijakan. Misalnya, dalam menghadapi wabah, Islam memberikan tuntunan terbaik bagaimana menghadapi pandemi baik dari skala individu, masyarakat bahkan keluarga dan juga negara, sehingga kondisi masyarakat tidak sampai sekarat dan terhalang dari pelaksanaan ibadah. Sejak awal masyarakat sudah siap dan tingkat kesejahteraan mereka tidak berada dalam kondisi rugi. Inilah konsep yang diterapkan oleh para khalifah pada masa kekhilafahan, sehingga pandemi dapat terselesaikan dengan segera. Akhirnya tidak ada alasan untuk menutup tempat ibadah atau melarang melakukan syiar-syiar Islam termasuk penyembelihan hewan kurban yang dilakukan di tempat terbuka dan disaksikan banyak umat. Wallahu a’lam

Post a Comment

Previous Post Next Post