Impor Ayam, Hegemoni WTO dan Kemandirian Bangsa


Oleh Dian Puspita Sari
Ibu Rumah Tangga, Member AMK

Indonesia terancam gempuran daging ayam impor murah dalam beberapa waktu ke depan. Semua ini bukan disebabkan oleh kekurangan stok di dalam negeri, melainkan Indonesia mempunyai kewajiban untuk memenuhi tuntutan setelah RI kalah gugatan dari Brasil di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

"Pemerintah tidak berencana impor daging ayam, tapi ada ancaman daging Brasil karena kita kalah di WTO," kata Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Singgih Januratmoko kepada CNBC Indonesia, Jumat (23/4/21).

Persoalan ini bermula ketika Indonesia kalah dari gugatan Brasil yang didaftarkan ke WTO pada 2014 lalu. Dalam gugatan itu, Brasil mengeluhkan penerapan aturan tak tertulis oleh Indonesia yang dianggap menghambat ekspor ayam Brasil ke Indonesia sejak 2009 silam.

Tiga tahun berikutnya, Indonesia diputuskan WTO bersalah karena tidak mematuhi empat ketentuan WTO. Di antaranya: 
1. Daftar impor Indonesia disebut tidak sesuai dengan Artikel XI dan XX GATT 1994.
2. Persyaratan penggunaan produk impor tidak konsisten dengan Artikel XI dan Artikel XX. 3. Prosedur perizinan impor, utamanya dalam hal pembatasan periode jendela permohonan dan persyaratan pencantuman tetap data jenis, jumlah produk, dan pelabuhan masuk, serta asal negara tidak konsisten dengan Artikel X dan XX.
4. Penundaan proses persetujuan sertifikat kesehatan veteriner melanggar Article 8 dan Annex C (1) (a) SPS agreement. 

Akibat pelanggaran ini, Indonesia wajib mengubah aturan impornya. (cnbcindonesia.com, 24/4/2021)

Sangat sedih melihat kondisi ketahanan pangan RI yang rapuh dan memprihatinkan. Ketergantungan RI pada impor tak hanya menyebabkan petani tapi juga peternak ayam bakal menjerit histeris. 

WTO: Alat Penjajahan Ekonomi 

Sejak awal, Indonesia seharusnya tidak terjebak pada penjajahan ekonomi yang merugikan ini. Keberadaan WTO (sebagai bagian dari PBB) selama ini hanya menjadi alat hegemoni imperialis asing bagi negara produsen, dan merugikan negara konsumen termasuk mengancam ketahanan pangannya. 

Namun, Indonesia sudah terjebak di dalamnya selama puluhan tahun (sejak 28 September 1950). Dengan keberadaannya sebagai anggota PBB yang memiliki konsekuensi menaati semua aturan yang mengikat negara-negara anggotanya. Akibatnya, segala kebijakan politik dalam dan luar negeri RI tak pernah lepas dari intervensi dan dikte asing. Rakyatnya pun dirugikan, termasuk peternak ayam jika rencana impor ayam ini benar-benar dilakukan.

Selama bumi masih berputar dan nyawa manusia masih melekat dalam raganya, belum ada kata terlambat untuk memutuskan keluar dari semua perjanjian yang merugikan bangsa ini. Namun, apa daya jika bangsa ini tetap merelakan dirinya diatur oleh aturan kapitalis sekuler yang menyengsarakan mayoritas rakyat negeri. Akibatnya, negeri ini khususnya rakyat semakin terpuruk dalam kesengsaraan. 

Bagaimana pandangan Islam tentang hal ini? 


Islam Mandirikan Bangsa 

Sejak pertama kali diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantara malaikat Jibril, Islam sudah menjadi solusi atas semua persoalan hidup manusia di dunia hingga akhirat. Oleh sebab itu, jangan pertanyakan kesaktian Islam dalam menjawab persoalan hidup manusia (tak terkecuali persoalan kemandirian dan ketahanan pangan). 

Allah Swt. berfirman: 

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّـهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾

“Dan jika kalian berselisih pendapat tentang satu masalah maka kembalikanlah kepada Allah dan kepada Rasul-Nya jika kalian benar-benar beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari akhir. Yang demikian itu adalah lebih baik dan akibatnya pun juga lebih baik.” (QS. An-Nisa[4]: 59)

Dalam Islam, kebijakan ekonomi termasuk perdagangan internasional dilarang keras apabila merugikan rakyat dan menyebabkan rakyat semakin sengsara. Kepala negara memiliki tanggung jawab besar dalam mengurusi rakyat. Tidak boleh mengabaikan hak rakyat hingga memberlakukan kebijakan zalim yang bertentangan dengan kepentingan rakyat.

Rasulullah saw. bersabda: 
“Imam (kepala negara) laksana penggembala dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).

Gambaran pemimpin laksana gembala ini mencerminkan sikap mandiri sebuah bangsa. Dipimpin oleh pemimpin dan kepemimpinan (sistem pemerintahan) yang adil dan amanah. Sesuai kehendak Sang Pencipta yang mengatur kehidupan.

Berbeda dengan pemerintah neoliberal yang tidak memiliki visi kedaulatan pangan. Ia selalu menggantungkan kebutuhan pangan pada impor. Sistem pemerintahannya pun hanya sesuai kehendak hawa nafsu manusia yang rakus akan harta dan tahta. 

Untuk menghentikan ketergantungan pada pangan impor dibutuhkan negara yang bervisi jelas. Negara seperti ini jelas membutuhkan peran pemerintah sebagai "pelayan" bukan "pebisnis" dan sistem ekonomi yang adil terhadap rakyat bukan asing. 

Negara yang dibutuhkan rakyat ini hanya bervisikan Islam yang: 
Pertama, mampu memenuhi seruan Allah sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا ادۡخُلُوۡا فِى السِّلۡمِ کَآفَّةً ۖ وَلَا تَتَّبِعُوۡا خُطُوٰتِ الشَّيۡطٰنِ‌ؕ اِنَّهٗ لَـکُمۡ عَدُوٌّ مُّبِيۡنٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS. al-Baqarah [2]: 208)

Kedua, mampu memandirikan bangsa agar tidak tergantung pada dikte (intervensi) asing. Salah satu bentuk kemandirian pangan yang dilakukan negara adalah menghentikan impor, *dan  memberdayakan sektor pertanian dan peternakan selain industri. Sebaliknya, ekspor pangan dan daging ternak digencarkan. Swasembada pangan digalakkan. Para petani dan peternak hewan dibina dengan edukasi soal pertanian dan peternakan. Diberdayakan dan difasilitasi dengan teknologi pertanian dan peternakan yang modern dan canggih. 
Tak dipungkiri, sejak maraknya sektor industri, sektor pertanian dipandang sebelah mata. Karena kebijakan negara lebih berorientasi pada sektor industri mengabaikan pertanian. Lahan pertanian kian tergusur, disulap menjadi bisnis real estate. Profesi petani pun semakin langka. Banyak generasi muda yang enggan bercita-cita menjadi petani dan lebih memilih menjadi karyawan pabrik industri. Kondisi ini tak akan dibiarkan terjadi jika hidup diatur oleh syariat Allah (Islam). 

Oleh sebab itu, mari kita  campakkan sistem sekuler dan jahiliyah buatan manusia. Kemudian beralih pada sistem kehidupan dari Allah yang sempurna, dalam naungan khilafah Islam.

Allah sudah menjamin kesempurnaan syariat-Nya di atas hukum jahiliyah manapun. 

اَفَحُكۡمَ الۡجَـاهِلِيَّةِ يَـبۡغُوۡنَ‌ؕ وَمَنۡ اَحۡسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكۡمًا لِّـقَوۡمٍ يُّوۡقِنُوۡنَ

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS al-Ma'idah [5]: 50)

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post