Rasisme Itu Virus

Oleh:  Isra Novita

Mahasiswa Universitas Indonesia

 

Pada 1966, Dewan Keamanan PBB menyatakan 21 Maret sebagai hari penghapusan diskriminasi rasial sedunia untuk memperingati tragedi Sharpeville yakni kerusuhan antara kepolisian dan para demonstran di Sharpeville Afrika Selatan, tepatnya 21 Maret 1960. Para demonstran memprotes hukum yang rasis dan penuh dengan diskriminasi. 69 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka.


Mahasiswa UI turut memperingatinya juga. Di antaranya BEM UI membahas tentang stereotip beberapa etnis yang ada di tengah mahasiswa maupun masyarakat. Bahkan tidak jarang ditemui di lingkungan kampus beberapa mahasiswa atau civitas akademi yang masih merendahkan atau enggan bergaul dengan golongan etnis tertentu atau stereotip-stereotip buruk tentang etnis tertentu. Padahal jelas etnis belum tentu membentuk kepribadian atau karakter seseorang. Meskipun fakta di lingkungan kampus belum sampai pengaruh kebijakan besar yang serius, namun hal ini tentu bukanlah hal baik dan tidak boleh dibiarkan berkembang begitu saja.


Seperti halnya sedang ramai kasus Anti-Asia dan Asian Hate terutama di Amerika karena mereka menganggap Tiongkok sebagai satu negara di Asia telah menyebarkan virus Covid-19 ke seluruh dunia, yang menyebabkan terjadinya penganiayaan terhadap warga Asia, terutama yang berkulit putih dan bermata sipit. Beberapa di antaranya ditembak, ada pula yang dijatuhkan, dipukuli meskipun sudah berusia renta. Kasus ini sampai merenggut korban nyawa.


Bahkan di Indonesia masih banyak kasus diskriminasi ras, salah satunya kasus diskriminasi di Papua. Kasus Papua ini bisa dibilang isu lama yang hilang timbul ditampilkan ke permukaan. Pemicunya kasuistik, terkadang mengambil pemicu dari regional (Papua) itu sendiri, meskipun lebih sering dipicu isu di luar Papua. Misalnya perlakuan diskriminatif terhadap mahasiswa Papua oleh orang Jawa, atau isu BLM itu sendiri.


Saat ini isu itu dianggap relevan untuk dijadikan trigger agar Papua bergejolak kembali, seolah menuntut agar isu rasisme ini dituntaskan. Namun, sayangnya mereka selalu meminta solusi kepada musuh di balik selimut yang siap menerkam mereka, yang tidak lain adalah Barat. Mulai dari minta suaka, konvensi ke PBB dan lainnya. Sehingga jelas, pada faktanya kasus tersebut tidak juga selesai.


Rasisme sendiri lahir sejak abad ke-17 Masehi yang merupakan produk kapitalisme. Gunnar Myrdal menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “An America Dilemma”, diskriminasi rasial merupakan cacat bawaan sistem kapitalisme yang diawali sejak masuknya orang Eropa ke benua Amerika. Lalu orang Eropa mengklaim ras berkulit putih lebih unggul daripada ras berkulit hitam. Mereka juga melakukan aksi kekejaman kepada penduduk asli Amerika saat itu. Lalu, rasisme ini tersebar ke seluruh dunia melalui jalur kolonialisme.


Dari peristiwa itulah banyak orang hingga saat ini melakukan tindakan diskriminasi rasial atau rasisme. Rasisme ini muncul karena mindset yang dangkal sehingga mereka merasa tindakan membeda-bedakan ras merupakan hal yang wajar. Ada saja ras yang menganggap dirinya lebih unggul daripada ras yang lain. Pemikiran dangkal ini didukung oleh kebebasan bertingkah laku yang diusung oleh sistem kapitalisme-sekularisme. Jadi, ikatan kebangsaan atau nasionalisme dan juga ikatan sukuisme (termasuk di dalamnya rasisme) memang bentuk manifestasi gharizah baqa (naluri untuk mempertahankan diri) yang bahkan ada pada hewan juga. 


Jika dianalisa kembali mengenai apa yang diperebutkan oleh hewan, tentu saja di antaranya ialah makanan, teritori, pasangan dan sejenisnya. Pada manusia, manifestasi naluri muncul dalam bentuk keinginan untuk menguasai ras lain. Pada akhirnya terdapat keinginan untuk menjajah. Merasa rasnya lebih hebat, lebih keren, lebih pintar daripada ras yang lain, maka munculah rasisme, chauvinisme, supremasi kulit putih dan lainnya.


Adapun ikatan nasionalisme ini adalah ikatan yang lemah dan sifatnya temporer. Jadi, baru muncul kalau ada "trigger" atau pemicu. Maka, permasalahan atau kasus apapun yang terjadi, pasti isu tersebut akan ramai ketika ada kejadian pemicunya. Jika tidak ada pemicu, tidak ada serangan dari pihak luar, maka semua tidak akan merasakan rasa nasionalisme sama sekali.


Rasisme masih bisa bertahan hingga saat ini karena sistem kapitalisme-sekular yang juga masih bertahan hingga saat ini. Di dalam sistem kapitalisme, aturan agama tidak harus menjadi peraturan yang harus diterapkan dalam kehidupan maupun standar benar dan salah dalam kehidupan. Hal ini yang membuat manusia bebas berbuat apapun, meski hal tersebut melanggar syariat atau aturan agama.


Maka, sistem kapitalisme inilah yang menyebabkan rasisme terus terjadi. Jika sistem kapitalisme ini masih terus diterapkan, tidak perlu heran dengan tragedi yang terjadi karena kasus diskriminasi rasial ini. Masalah ini tidak akan pernah selesai, jika akar masalah yaitu sistem kapitalisme belum benar-benar diselesaikan atau tercabut. Penyebab diskriminasi ras ini masih bertahan hingga sekarang karena belum terbentuknya masyarakat dengan pemahaman Islam yang utuh. Hal ini tentu saja terjadi jika sistem Islam belum diterapkan secara menyeluruh dalam sistem pemerintahan yang bisa membentuk kebijakan.


Maka jelaslah solusi diskriminasi ras di dunia saat ini ialah mencabut akar penyebabnya yakni sistem kapitalisme-sekuler dan menggantikannya dengan sistem Islam rahmatan lil’alamin. Allah memberikan hikmah kepada kita dengan diciptakannya manusia dengan berbagai suku, bahasa, warna kulit sebagai bentuk Kemahakuasaan Allah (QS ar-Rum: 22) dan sarana untuk taaruf/saling kenal (QS al-Hujurat: 11). 


Perbedaan yang ada di dalam Islam bukan dijadikan pemicu munculnya konflik misalnya rasisme. Justru keberagaman yang ada dijadikan sumber daya untuk membangun peradaban Islam. Jadi tujuannya adalah bagaimana umat mendukung dan berkontribusi untuk menerapkan dan melanjutkan kembali kehidupan Islam. Misalnya keanekaragaman bahasa bisa dijadikan alat untuk mempermudah diplomasi dalam hal dakwah ke luar negeri kaum Muslimin.


Ada beberapa etnis yang mungkin perawakannya tinggi besar, nenek moyangnya dulu gemar berburu, ahli menggunakan senjata dan sebagainya. Ini menjadi investasi membentuk angkatan militer yang tangguh serta siap untuk jihad fi sabilillah. Jadi, bagi orang-orang yang selalu membenturkan isu SARA dengan sistem Islam sebenarnya sudah tidak berlaku lagi alias basi. Orang-orang seperti ini seharusnya sudah mulai #moveon. Karena kesempurnaan dan keparipurnaan Islam itu sudah tidak terbantahkan lagi


Sebagai bukti tidak diragukannya lagi kesempurnaan dan keparipurnaan Islam ialah pernyataan beberapa ahli dan fakta sejarah. Seorang orientalis dan sejarawan Kristen bernama T.W. Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith, dia banyak membeberkan fakta-fakta kehidupan dalam negara khilafah. “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani–selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani–telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa).”


Tidak jauh berbeda, Karen Amstrong mengatakan kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di Andalusia. Dia mengatakan “Under Islam, the Jews had Enjoyed a golden age in al-Andalus.” alam pengaturan politik dalam negeri dan luar negeri daulah jelas sekali tergambar bagaimana daulah itu tidak membedakan ras, mazhab dan sebagainya. Kemuliaan di hadapan Allah berdasarkan ketakwaan. Maka kita akan menyaksikan banyak fragmen dalam kisah Rasulullah dan para sahabat, semisal kisah Bilal bin Rabbah seorang budak berkulit hitam, Zaid bin Haritsah seorang pelayan yang kedudukannya begitu mulia. Rasulullah bahkan  menyebut rasisme karena menyinggung soal warna kulit sebagai sifat jahiliah.


Pernah suatu hari Abu Dzar ra berkata Bilal ra dengan kata-kata “Hai anak perempuan hitam,” lalu Nabi SAW berkata kepada Abu Dzar “Hai Abu Dzar, apakah kau caci dia sebab ibunya? Kalau begitu sungguh kamu seorang yang masih diliputi perasaan jahiliah. (H.R. Bukhori).


Nabi SAW juga bersabda pada riwayat yang lain “Hendaklah orang-orang yang menyombongkan ayah-ayahnya yang sudah mati itu mau berhenti. Mereka yang demikian itu hanyalah bara neraka. Atau mereka itu lebih rendah di hadapan Allah daripada kumbang yang mengguling-gulingkan kotoran dengan hidungnya; Allah telah menghapuskan kesombongan jahiliah dan kecongkakan lantaran ayah. (H.R. Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi dengan sanad hasan).


Sebaliknya seorang Abu Jahal, Abu Lahab dan tokoh Quraisy lainnya, dengan kedudukan, harta, ras dan lainnya yang dianggap mulia di hadapan manusia, ternyata hina di hadapan Allah, karena tidak ada iman dan takwa dalam dirinya. Nauzubillah. Sistem Islam juga punya aturan yang detail melalui fiqrah dan thariqahnya yang memastikan bahwa rasisme itu tidak mungkin ada, dengan berbagai kebijakan yang ada (misal terkait ahlu zimmah)


Itulah mengapa rasisme disebut virus, bahkan bukan sekedar bakteri! Kenapa? Coba deh bandingkan perbedaan virus dan bakteri. Virus itu tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan sel (inang), sedangkan bakteri bisa hidup berkembang tanpa adanya sel lain (inang). Maka, analogi virus lebih tepat digunakan untuk menggambarkan perkembangan rasisme ini, karena rasisme pada hakikatnya tidak bisa hidup tanpa sekularisme. Sebagaimana virus yang tidak bisa hidup di sembarang sel, begitu pula rasisme yang tidak mungkin hidup di dalam sistem Islam rahmatan lil ‘alamin.


Sebagai Muslimah yang insyaAllah telah memahami akar masalah rasisme ini dan solusinya, maka harus memahami sekaligus mendakwahkan Islam untuk diterapkan secara menyeluruh. Semakin banyak yang paham Islam secara menyeluruh, semakin banyak yang paham Islam adalah solusi dari berbagai problematika umat saat ini salah satunya rasisme. Namun, untuk menghapus rasisme hingga ke akar tentu tidak cukup jika hanya mendakwahkannya saja. Perlu diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh dan tersistemi. Maka, mari sama-sama dakwahkan kehidupan Islam. Wallahu a’lam bishshowwab. []

 

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post