Potret Buram Pejuang Devisa di Era Kapitalisme


Oleh Siti Aisah, S.Pd
(Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang)

Ironis, itulah kata yang tepat untuk para pejuang devisa yang bertarung di negeri orang sampai berujung maut. Namun nahas, ada beberapa diantaranya tidak bisa dikebumikan di tempat kelahirannya. Salah satu TKW (baca : tenaga kerja wanita) yang mengalami kondisi seperti ini adalah N asal Karawang yang bekerja di Malaysia dari tahun 2013. Pemerintah Kabupaten Karawang melalui Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja (Kabid PENTA) Disnakertrans, Endang Syafrudin mengungkapkan, pihaknya sudah melayangkan surat ke berbagai pihak untuk dimohonkan bantuan dalam proses pemulangan. Hal ini karena, biaya rumah sakit yang mencapai 20 ribu Ringgit atau sekitar 68 juta belum dilunasi, sehingga pihak rumah sakit belum bisa mengeluarkan jenazahnya karena belum dilunasi. (detikNews.com, 21/03/2021)

Permasalahan TKI di atas hanya  sebagian saja. Masih banyak permasalahan lain yang tak kunjung selesai. Di kutip dari laman berita yang sama bahwa di antara permasalahan/kasus TKW yang bekerja di Arab Saudi khususnya yaitu  penyekapan, pelecehan, penyiksaan atau yang kabur dari majikan dalam pemberlakuan sistem kafala. Perlu diketahui sistem kafala ini membuat para TKW terikat erat dengan majikan. Mereka tidak bisa pindah kerja atau meninggalkan negara dengan alasan apa pun tanpa izin tertulis dari majikan mereka selama periode kontrak. Namun sayangnya, jika telah habis kontrak, mereka pun tetap tidak bisa dipulangkan atau tidak digaji. Bahkan, ada pula kasus bunuh diri para TKW yang tidak tahan bekerja 24 jam sehingga tak heran sistem ini disebut oleh para Penggiat HAM sebagai sistem perbudakan modern. (detikNews.com, 19/03/2021)

Miris, begitulah potret buram perempuan yang menjadi pejuang devisa di era kapitalisme seperti sekarang ini. Mereka mendapat tuntutan bekerja untuk memenuhi nafkah keluarga. Namun, semestinya mereka adalah tulang rusuk laki-laki, bukan tulang punggung laki-laki. Pengeluaran yang besar, tetapi pemasukan yang minim ini mampu menggiring para perempuan untuk terjun langsung ke dunia kerja demi mendapatkan kebutuhan pokok yang layak. Mereka turut bekerja sebagaimana kaum adam bekerja ini semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Ini menguak fakta bahwa dalam sistem Kapitalisme, perempuan terpaksa keluar demi membantu keluarga, meninggalkan kewajibannya mengurus suami dan anak-anaknya. Berbagai ketidakadilan yang dirasakan para TKW saat ini adalah salah satu dari sekian banyak dampak yang ditimbulkan akibat penerapan kapitalisme. Namun parahnya, negara tidak mampu menghilangkan tuntas krisis tersebut. Tak ada tanda-tanda mereka akan hidup sejahtera di bawah sistem kapitalis. Selama ideologi ini diterapkan, berbagai penderitaan dan kemelaratan akan senantiasa mengungkung mereka.

Hanya Islam yang mampu mengatasi permasalahan TKW ini. Karena pada dasarnya tugas mencari nafkah ada dalam pundak laki-laki. Seorang suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya, meskipun isterinya kaya. Tidak dilihat lagi, apakah suaminya dewasa atau belum, kaya atau miskin. Nafkah suami kepada isterinya berlaku sejak isterinya “ditawan” suaminya. Karena, nafkah ini sebagai konsekuensi dari “penahanan” suami atas isterinya. Nafkah untuk isteri didahulukan ketimbang anak, kedua orangtua dan kerabat. Namun, jika isterinya melakukan nusyuz, maka kewajiban nafkah tersebut gugur dari suaminya. Jika suaminya kesulitan, sementara isterinya kaya, maka isterinya wajib membiayai suaminya dan dirinya, sebagai orang terdekat. Jika tidak bersedia, dia berhak untuk mengajukan talak. Dalam kondisi kesulitan, isteri tidak boleh berhutang atas nama suaminya, tanpa seizin suaminya, meski untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sebagaimana firman Allah Swt:

﴿لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ، وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا أَتاَهُ اللهُ، لاَ يُكَلِّفُ الله نَفْسًا إِلاَّ ماَ أَتَاهَا﴾
Artinya :
“Hendaknya orang yang mempunyai kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya. Dan siapa saja yang disempitkan rizkinya, hendaknya dia memberikan nafkah sesuai dengan apa yang diberikan oleh Allah kepadanya. Allah tidak membebani manusia, kecuali sesuai dengan apa yang diberikan kepadanya…” [Q.s. at-Thalaq: 7] 

Dengan adanya pembagian tugas yang sesuai fitrah, maka beban dalam keluarga bisa diatasi. Para laki-laki mereka bertanggung jawab atas pencarian nafkah, sedangkan perempuan bersiap menjadi pendidik pertama anak-anaknya. Kekurangan dan kesulitan ekonomi akan membuahkan pahala jika para perempuan bersabar dan menerima semua kekurangan suaminya.
Inilah gambaran bahwa hanya Islam yang mampu menyejahterakan dan melindungi perempuan. Saat ini ummat sangat merindukan kehadiran Mu’thasim-mu’thasim baru yang akan berupaya mengerahkan pasukannya saat seorang perempuan dilecehkan. Semoga bisyarah Rasulullah saw. tentang tegaknya khilafah segera terwujud. Oleh sebab itu ummat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, tua atau muda, kaya atau miskin, semuanya berkewajiban untuk menyampaikan Islam yang haq. Sehingga perempuan dalam Islam mampu terjamin keamanan dan kesejahteraannya. 

Wallahu a’lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post