Konversi Kompor Induksi, Demi Kemaslahan atau Menambah Beban?


Oleh Sartinah
Pemerhati Masalah Publik

Impor gas LPG tampaknya semakin membebani keuangan negara, seiring banyaknya konsumsi LPG di dalam negeri. Pemerintah akhirnya membuat sebuah gebrakan untuk meringankan ketergantungan impor gas LPG. Karena itu, pemerintah melalui PT PLN (Persero) telah menyiapkan program-program terbaru yang digadang-gadang mampu menghemat impor dan mewujudkan ketahanan energi nasional. Program tersebut yakni, Gerakan Satu Juta Konversi Kompor LPG ke Kompor Induksi.

Program tesebut ditujukan bagi pelanggan pasang baru, dengan memberi insentif daya yang lebih besar dari yang dimohonkan. Namun dengan syarat pelanggan harus memasang kompor induksi pada hunian mereka. Hal ini diungkapkan oleh Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR PLN Agung Murdifi. (sindonews.com, 2/4/2021)

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, penggunaan kompor induksi dapat menghemat pengeluaran negara dan rumah tangga. Erick menyebut, program tersebut bisa menghemat pengeluaran negara atas biaya impor hingga Rp60 triliun. Sedangkan untuk rumah tangga, penggunaan listrik untuk memasak akan menghemat pengeluaran LPG dari sebelumnya Rp147 ribu menjadi Rp118 ribu. Hal ini karena penggunaan energi listrik lebih murah ketimbang penggunaan gas yang saat ini masih dipenuhi dari impor. (CNBC Indonesia, 31/3/2021)

Sekilas program tersebut tampak berpihak untuk kepentingan rakyat. Namun jika ditelisik lebih dalam, program konversi gas LPG ke kompor induksi yang konon demi irit biaya impor patut dipertanyakan. Benarkah program tersebut murni demi terwujudnya kesejahteraan dan ketahanan energi nasional, atau justru menambah beban rakyat dengan membeli alat baru? 

Saat ini dunia memang tengah menggaungkan program energi 'bersih' yang ramah lingkungan. Salah satunya dengan memanfaatkan energi listrik. Namun, pemerintah seharusnya tidak latah mengikuti agenda global tanpa menimbang kemaslahatan negeri sendiri.

Seharusnya pemerintah tidak hanya berpikir dari perspektif keuntungan negara tanpa melihat kondisi ekonomi rakyat. Beberapa hal yang juga perlu diperhatikan antara lain, memastikan keandalan pasokan listrik. masalah harga kompor listrik yang relatif tinggi, peralatan masak sebagian masyarakat yang masih konvensional, termasuk beban listrik yang cukup besar. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan.  (detik.com, 4/4/2021)

Memang benar, mempermudah urusan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat menjadi kewajiban negara sebagai periayah. Namun perlu diingat, bila pemerintah menggandeng swasta dalam pengadaan maupun pengelolaan listrik, maka hal ini akan berpengaruh terhadap kebijakan dalam pelayanan rakyat. Pada akhirnya bukan kemaslahatan yang hendak diwujudkan, tetapi untung dan rugi yang jadi pertimbangan.

Dengan menggandeng swasta untuk mengelola aset-aset penting di negeri ini, menunjukkan lepas tangannya tanggung jawab negara dalam mengurusi rakyat. Negara hanya berkedudukan sebagai penyambung yang akan mempermudah para kapital atau korporat untuk mengeruk keuntungan. Hubungan penguasa dan rakyat pun akhirnya hanya seperti pedagang dan pembeli yang selalu berhitung untung-rugi.

Hal ini terjadi karena sistem hidup yang diterapkan untuk mengatur manusia berkiblat pada kapitalisme. Maka tak heran jika segala kebijakan yang dibuat bukan semata-mata untuk kesejahteraan rakyat, tetapi demi keuntungan para pemilik modal atau korporat. Alhasil, menciptakan kesejahteraan rakyat sekaligus mewujudkan ketahanan energi bagai mimpi di siang bolong.

Impian mewujudkan ketahanan energi dan kesejahteraan rakyat hanya mungkin terjadi di bawah kepemimpinan yang berlandaskan akidah semata. Sebab, dari rahimnya akan lahir para penguasa yang bertakwa dan takut akan pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Dengan ketakwaannya, penguasa tidak akan membuat kebijakan demi keuntungan semata dalam pelayanannya. Kondisi tersebut hanya mampu terwujud jika Islam dijadikan sebagai landasan dalam mengatur manusia.

Islam memiliki seperangkat aturan agar setiap individu masyarakat terpenuhi seluruh kebutuhannya. Termasuk bagaimana mewujudkan ketahanan energi nasional. Islam juga mengatur bagaimana pengelolaan sumber daya alam termasuk masalah kelistrikan.

Listrik termasuk aset milik umum yang tidak boleh dikuasai atau dimonopoli oleh individu maupun swasta. Pengelolaannya pun tidak boleh diserahkan kepada swasta maupun asing yang berpotensi mengalirkan keuntungan kepada para kapitalis atau pemilik modal. Karena itu, hanya negara yang berkewajiban mengelolanya agar semua keuntungan yang diperoleh kembali kepada rakyat.

Dengan pengelolaan dan penguasaan listrik secara mandiri oleh negara, kesejahteraan rakyat bukan sekadar khayalan, ketahanan energi pun mampu diwujudkan. Islam benar-benar mengerahkan seluruh perangkat yang dibutuhkan demi kesejahteraan rakyat, bukan hitung-hitungan untung-rugi bak pedagang.
Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post