Ada Apa dengan Pernikahan Dini?


Oleh: Rengga Lutfiyanti
Mahasiswi dan Pegiat Literasi

Pernikahan dini
Bukan cintanya yang terlarang
Hanya waktu saja belum tepat
Merasakan semua

Mungkin di antara kita sudah tidak asing lagi dengan lirik lagu pernikahan dini. Sebuah lagu yang menggambarkan pernikahan di usia muda. 

Membahas tentang menikah muda, beberapa waktu lalu, pernikahan dini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Bahkan isu mengenai pernikahan dini masih terus bergulir. Mahkamah Agung mencatat peningkatan jumlah perkara dispensasi nikah yang diputus oleh pengadilan dari 23.126 perkara pada tahun 2019 menjadi 35.441 perkara pada tahun 2020. (lokadata.id, 12/2/2021)

Pernikahan di Indonesia telah ditentukan batas bawah usianya baik perempuan maupun laki-laki pada UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Berdasarkan peraturan tersebut, batas usia minimal untuk menikah adalah sembilan belas tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, jika ada laki-laki dan perempuan yang ingin menikah tapi belum memenuhi syarat umur minimal, maka harus mendapatkan dispensasi dari pengadilan setempat disertai dengan alasan yang kuat. (detiknews.com, 16/9/2019)

Adanya dispensasi nikah inilah yang diduga sebagai penyebab meningkatnya jumlah perkawinan pada anak. Sebenarnya, kampanye anti pernikahan anak sudah sejak lama digaungkan di negeri ini. Hal ini sejalan dengan agenda global PBB, bahwa hak anak harus dijaga. Semua anggota PBB termasuk Indonesia, telah menyepakati sebuah konvensi hak anak. Salah satunya adalah menyukseskan penegakan hukum di dalam negeri yang melarang pernikahan anak. 

Dalam konvensi tersebut, anak didefinisikan sebagai orang yang berusia di bawah delapan belas tahun. Sehingga, menikah di usia enam belas tahun termasuk pernikahan anak atau pernikahan dini yang harus dilarang. Apalagi angka perkawinan anak Indonesia berada di peringkat kedua tertinggi di ASEAN.

Berbagai alasan pun diungkapkan untuk menyukseskan kampanye anti pernikahan anak. Di antaranya karena pernikahan anak dianggap melanggar hak anak, mendiskriminasi perempuan, dan berbahaya bagi kesehatan reproduksi. Selain itu, pernikahan anak juga dianggap menghasilkan keluarga yang tidak harmonis karena tidak adanya kesiapan mental. Padahal jika kita amati, ketidakharmonisan rumah tangga juga bisa terjadi pada pernikahan usia dewasa. Sehingga masalah sebenarnya bukan di usia nikah anak, tetapi kesiapan untuk menikah.

Adanya revisi UU tentang perkawinan dengan memperketat batas usia minimal anak boleh menikah bukanlah solusi. Umat seharusnya mewaspadai bergulirnya isu sejenis ini. Karena sebenarnya hanya untuk membenarkan kebijakan sekuler yang terbukti menimbulkan persoalan baru. 

Misalnya saja, ketika kampanye anti pernikahan anak santer disampaikan, tetapi di saat yang sama penguasa sekuler justru membuka keran pergaulan bebas selebar-lebarnya. Padahal pergaulan bebas inilah biang dari perzinaan. Alhasil, penyegeraan pernikahan harus dilakukan untuk menutup akibat dari pergaulan bebas, perselingkuhan, dan rusaknya keharmonisan rumah tangga. 

Inilah akibat dari sistem kapitalisme yang menjunjung tinggi kebebasan digunakan dalam mengurusi rakyat. Membuat rakyat bebas mengekspresikan diri tanpa batas. Belum lagi paham sekularismeyang berkembang di tengah  masyarakat membuat mereka semakin jauh dari aturan agama. Sehingga wajar saja, jika tidak bisa memberikan solusi yang tepat. Tetapi justru melahirkan persoalan-persoalan baru.

Oleh karena itu, larangan pernikahan anak dan dispensasi nikah bukanlah solusi yang dibutuhkan oleh anak saat ini. Tetapi yang dibutuhkan adalah penerapan sistem pendidikan Islam. Agar generasi siap memasuki gerbang keluarga atau pernikahan. Serta penerapan sistem pergaulan Islam yang akan mencegah pergaulan bebas remaja. 

Syariat Islam adalah satu-satunya rujukan dalam menerapkan hukum. Termasuk juga dalam hal pernikahan. Dalam pandangan Islam, usia bukanlah masalah dalam pernikahan. Tetapi bagaimana orang tua, lingkungan, dan negara dengan sistemnya mempersiapkan anak agar siap menikah. Inilah yang akan menjadi fokus dalam sistem Islam. 

Sistem pendidikan Islam akan menerapkan kurikulum Islam sejak dini sampai masa baligh mereka. Kurikulum ini akan menghasilkan output anak yang siap menjalankan hukum syariat dan siap menanggung amanah-amanah besar. Yaitu menjadi orang tua dengan berbagai tanggung jawabnya, menjadi pemimpin bagi masyarakat, serta menyebarkan risalah agung ke seluruh dunia. 

Dalam sistem Islam, negara akan menerapkan aturan pergaulan sesuai syariat Islam di tengah-tengah masyarakat. Aturan inilah yang secara otomatis akan menyetop pergaulan bebas yang menjadi biang persoalan. Bukannya malah melarang pernikahan pada usia tertentu. Padahal semua mazhab memperbolehkan pernikahan pada usia tersebut.

Penerapan aturan oleh negara, juga akan menciptakan sebuah masyarakat yang memiliki kepedulian untuk menjaga perilaku seluruh anggota masyarakat serta menjalani pergaulan Islam. Sehingga masyarakat senantiasa mulia dan bermartabat jauh dari perilaku merusak seperti pergaulan bebas. Hal tersebut juga harus didukung dengan menciptakan media yang bersih dari konten-konten yang dapat merusak akidah dan akhlak masyarakat. Seperti sekularisme, pluralisme, liberalisme, termasuk juga konten pornografi dan pornaksi. 

Selain itu, dalam sistem Islam, negara akan menerapkan sanksi tegas sesuai dengan ketentuan syariat terhadap pelaku maksiat. Hukuman tersebut pasti membuat pelaku jera. Sebab sistem sanksi Islam (uqubat) bersifat zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Misalnya saja, pelanggaran berupa zina akan dikenakan sanksi rajam bagi pelaku yang sudah menikah. Dicambuk dan diasingkan bagi pelaku yang belum pernah menikah. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw.,

Rasulullah saw. bersabda, "Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka, yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) dera 100 kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera 100 kali dan rajam. (HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari ‘Ubadah bin Ash Shamit)

Sementara, untuk pembuat dan penyebar konten-konten negatif yang dapat merangsang naluri seksual akan diberikan sanksi ta'zir yang jenis dan kadarnya ditentukan berdasarkan pendapat khalifah (pemimpin). 

Sungguh Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Islam selalu memiliki solusi atas setiap problematika yang dihadapi umat saat ini. Tidak ada satu pun yang luput dari aturan Islam. Sehingga tidak heran jika Islam mampu menciptakan masyarakat yang mulia dan bermartabat. Islam benar-benar menjaga dan melindungi umatnya.

Namun, semua itu hanya bisa terwujud jika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh di seluruh lini kehidupan masyarakat. Karena aturan dalam Islam saling berkesinambungan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Oleh karena itu, ketika aturan itu tidak diterapkan dengan sempurna maka akan terjadi kerusakan dan kekacauan.

Wallahu a'lam bishshawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post