MENGAPA DINAR DIRHAM DIKRIMINALISASI?


Oleh: Yuliyati, S.Pd

Beberapa minggu terakhir publik dihebohkan dengan beredarnya isu penangkapan salah satu pegiat pasar muamalah. Menurut pemberitaan, penangkapan itu disebabkan transaksinya di pasar muamalah tersebut tidak digunakan mata uang rupiah, melainkan jenis logam mulia berupa Dinar(emas) dan Dirham (perak). Sehingga polisi menetapkan Zaim Saidi sebagai tersangka.

Bareskrim Polri menahan pegiat gerakan Dinar-Dirham tersebut pada Selasa (2/2/2021) malam. Tersangka dijerat berdasarkan dua pasal yang diatur dalam kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP dan pasal 33 UU no 7 Tahun 2011 tentang mata uang. Dia terancam hukuman penjara paling lama 15 Tahun.

Terkait hal ini, wakil presiden Ma’ruf Amin menyatakan transaksi menggunakan koin Dinar dan Dirham di pasar muamalah tersebut melanggar aturan sistem keuangan Indonesia. Bahkan, menurut Ma’ruf Amin penggunaan mata uang Rupiah sudah diatur dan menjadi alat transaksi yang sah dalam sistem keuangan Indonesia. Karena itu pemakaian Dinar dan Dirham untuk alat transaksi dianggap tak sesuai aturan.

Apakah betul dasar penangkapan ini karena transaksi tersebut bertentangan dengan regulasi yang ada? Ataukah ada muatan politik tertentu? Jika yang menjadi dasar penangkapan adalah karena pengguna mata uang selain rupiah, mengapa di beberapa tempat perlakuan yang sama tidak terjadi.

Penggunaan mata uang asing pun terjadi di beberapa wilayah perbatasan, dan di daerah yang menjadi pusat wisata. Hal itu sudah berlangsung lama dan tidak ada penindakan. Bahkan, PP Muhammadiyah mempertanyakan proses hukum terhadap aktivitas pasar muamalah yang menggunakan Dinar dan Dirham dalam bertransaksi. Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi, KH Anwar Abbas, membandingkannya dengan banyaknya pengguna uang asing termasuk Dolar, dalam transaksi wisatawan asing di Bali. (Kumparan.Com 20/02/21)

“Di Bali kita lihat masih banyak orang melakukan transaksi dengan dolar AS, ini tentu saja maksudnya adalah untuk memudahkan transaksi terutama dengan wisatawan asing. Tapi ini tentu tidak bisa kita terima, karena akan membawa dampak negatif bagi perekonomian nasional,” kata Anwar Abbas dalam pernyataan tertulis kepada kumparan, jum’at (5/2/2021).

Jadi, dengan kemunculan Dinar-Dirham di tengah ghirah masyarakat muslim Indonesia yang sebenarnya mulai berayun ke arah aturan islam kaffa, kendati masih level individu, pemidanaan kasus ini tampak kental dengan nuansa politik sekuler. Yang tentu saja, hendak menjauhkan umat dari istilah-istilah syar’i yang bersumber dari dalil-dalil syariat.

Duduk perkara kasus Dinar-Dirham Kabagpenum DIVIS Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan megatakan, Zain Saidi menjalankan pasar muamalah untuk komunitas masyarakat yang ingin berdagang dengan aturan yang mengikuti tradisi pasar di zaman Nabi. (kumparan.com,21/02.2021)

Masih dalam laman yang sama, disebutkan bahwa beberapa hari sebelum ditangkap, Zaim memberi penjelasan tentang pasar yang digagasnya itu. Di Pasar yang beroperasi di waktu tertentu itu, siapa pun dipersilahkan berdagang dengan tanpa dipungut biaya sewa dan jual beli dilakukan dengan alat tukar seperti uang rupiah, koin emas, koin perak, koin tembaga, atau komoditas lainya seperti jagung, beras, dll. Mata uang asing tidak diperkenankan.

Banyak anggapan negatif terkait tindakan aparat tersebut yang cenderung diskriminatif. Apalagi terdapat informasi bahwa penggunaan Dinar-Dirham tersebut dikaitkan dengan ide khilafah.

Padahal wakaf, yang akhir-akhir ini dijadikan gerakan nasional oleh pemerintah, juga erat kaitanya denga syariat dan khilafah. Demikian pula zakat, lalu mengapa Dinar-dirham dipermasalahkan?

Maka terlihat jelas segala sesuatu yang berkaitan dengan syariat islam selalu dipermasalahkan, bahkan istilah-istilah syar’i  dikriminalisasi. Terlebih, Dinar dan Dirham adalah istilah yang sangat khas. Yakni khas sebagai mata uang dari sistem ekonomi islam dan keberadaannya tercantum dalam dalil-dalil syar’i.

Bahkan sejak Rasulullah SAW. Sukses mendirikan Daulah islam di madinah pasca hijrah, beliau menyetujui penggunaan mata uang Dinar-Dirham sebagai mata uang resmi negara. Dinar-Dirham memang telah lama digunakan oleh masyarakat saat ini.

Rasulullah SAW. Lalu menyetujui timbangan kaum Quraisy sebagai standar timbangan Dinar-Dirham. Sabda beliau,

“Timbangan yang berlaku adalah timbangan penduduk Makkah dan takaran yang berlaku adalah takaran penduduk Madinah.” (HR. Abu Dawud)

Jadi, sistem ekonomi islam ini adalah sistem ekonomi yang hanya bisa diterapkan jika sistem pemerintahan yang berlaku juga berasal dari islam. Yang tak lain adalah khilafah islamiah.

Sebagai istilah khas Ekonomi yang dilahirkan dari ideologi islam, Dinar dan Dirham adalah istilah yang “mengancam” ekonomi kapitalisme.

Satu hal yang pasti, hal ini akan terus berlanjut dalam bentuk upaya lain untuk semakin menjauhkan umat islam dari istilah-istilah syar’i. Menilik rekam jejaknya, rezim tampaknya juga takkan segan menyesatkan setiap istilah syar’i agar sesuai dengan keinginan mereka, meski istilah itu kemudian sangat jauh berbeda dari hakikat syari’at-Nya.

Demikianlah, semakin tampak penguasa saat ini adalah penguasa anti-islam. Wallahu ‘a’lam bisawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post