Generasi Z Stres, Korban Abainya Pembinaan dalam Sistem Sekuler?



Oleh : Linda Kurnia, S.Mn.
(Pemerhati Sosial)

Generasi Z atau Gen Z adalah mereka yang lahir di tahun 1995 sampai dengan 2010. Kelompok inilah yang paling terdampak akibat pandemi Covid-19. Dari mulai mandeknya roda perekonomian keluarga mereka ketika pandemi melanda, sampai disrupsi pembelajaran atau pelatihan keahlian Gen Z harus mereka rasakan.

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) membuat siswa hanya sibuk untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sangat banyak, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya stres. Bahkan akibat PJJ sejumlah peserta didik kehilangan nyawa.

Sebenarnya sebelum pandemi saja kurikulum pembelajaran generasi sudah bergonta-ganti, mereka ibarat kelinci percobaan dari menteri pendidikan yang telah menjabat. Adanya pandemi semakin memburuk kondisi. Tidak sedikit siswa merasa kecewa, putus asa, mengabaikan dan meremehkan pendidikan, sehingga merasa penat bila harus berurusan dengan tugas sekolah. Maka tak heran banyak yang melampiaskannya kepada hal-hal yang lain yang ia rasa lebih membuatnya senang, salah satunya ialah gadget. Nyatanya gadget malah banyak dimanfaatkan untuk game online dan pornografi yang menimbulkan kecanduan.

Muncullah fenomena anak usia 13 hingga 18 tahun yang kecanduan gawai. Dilansir dari kominfo.go.id setidaknya fenomena kecanduan gadget semakin terlihat dalam 5 tahun terakhir. Meskipun belum ada angka pasti berapa persentase dan jumlah anak yang mengalami gejala kecanduan atau kecanduan gawai. Dari sejumlah kasus yang terungkap di publik hasil kajian survei dan penelitian menunjukkan fenomena kecanduan gawai pada anak saat ini berada pada situasi mengkhawatirkan. (kominfo.go.id,  23/07/2018).

Setidaknya tiga anak mengunjungi Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo setiap harinya karena kecanduan game online. Dokter spesialis kesehatan jiwa RSUD Dr. Soetomo, Dr. Yunias Setiawati Sp.KJ menjelaskan, tren anak-anak yang kecanduan game online (Gaming Disorder) terjadi enam bulan terakhir. Menurutnya, "saat ini eranya adalah generasi Z. Era dimana anak-anak sejak kecil sudah terpapar media elektronik dan internet. Karena terpapar, menyebabkan pembiasaan. Dari pembiasaan akhirnya kecanduan," jelasnya ditemui di Poli Jiwa RSUD Dr. Soetomo, Jumat (3/1). (jawapos.com, 04/01/2020).

Sungguh miris nasib generasi Z ini, padahal kualitas pendidikan muda sangat menentukan kualitas peradaban bangsa. Generasi Z justru menjadi korban sistem penanganan rezim yang abai terhadap generasi apalagi di masa pandemi. Sebetulnya, sejak awal pembinaan, generasi masa sekarang telah salah asuh. Mereka dididik dengan asas pendidikan sekuler yang melahirkan dikotomi antara ilmu dunia dan agama. Metode pembelajarannya pun didominasi transfer ilmu bukan pembentukan pemahaman.

Pendidikan lebih dipandang sebagai kekayaan intelektual semata, bukan alat pembentuk perilaku. Akhirnya generasi yang dihasilkan minim dari kepribadian yang bertakwa dan berperilaku mulia. Kesuksesan mereka dalam belajar di tentukan nilai akademis. Mereka terpolakan untuk saling bersaing meraihnya. Akibatnya, ancaman jenuh belajar hingga kehilangan semangat menuntut ilmu tidak bisa terelakkan, apalagi situasi pandemi makin memperburuk kondisi. Banyak siswa yang merasa jenuh dan stres dengan belajar daring. Ini akibat muatan pembelajaran yang membosankan, teoritis (non aplikatif), dan memaksakan materi. maka tidak heran generasi melampiaskan kejenuhan mereka dengan bermain gadget.

Karena itu, solusinya bukan hanya dengan menyelesaikan problem teknis pembelajaran seperti PJJ ataukah tatap muka saat pandemi. Akan tetapi lebih dari itu, yang harus dilakukan adalah menghilangkan sumber penyakit yang menyebabkan kegagalan pendidikan. Sistem pendidikan Islam merupakan sistem pendidikan yang tahan krisis dan solusi fundamental dari berbagai problem pendidikan. Kemampuannya menghadapi krisis bahkan saat pandemi ini, karena ia bertumpu pada beberapa hal.

Pertama, sebagai sistem yang bersumber dari Allah Swt. maka Akidah Islam menjadi landasan penentuan arah, tujuan, kurikulum hingga metode menerapkan kurikulum. Oleh karena itu meskipun terjadi pandemi, sistem pendidikan Islam memastikan belajar tetap berjalan meski tidak di sekolah. Sebab dalam pandangan Islam, ilmu bersifat praktek bukan teori. Maka standar hasil pun bukan sekedar capaian akademik, namun pembentukan perilaku dan lahirnya karya atau sumbangsih yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat. Maka pendidikan bisa berjalan optimal meski dengan metode dan teknis yang menyesuaikan.

Kedua, pendidikan ditinjau untuk membentuk kepribadian Islami dan membekali siswa dengan ilmu (tsaqofah) Islam dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Hal ini akan tetap berlangsung dalam semua kondisi l, bahkan menjadi tujuan yang paling penting dalam menghadapi krisis apapun. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam akan disusun mengikuti tujuan tersebut. Dalam kurikulum pendidikan khilafah, terdapat hal-hal yang bersifat baku dan hal-hal yang boleh fleksibel. Dalam situasi tidak normal, maka beban kurikulum lebih diutamakan untuk menguatkan sikap dan perilaku menghadapi krisis sesuai hukum syariah.

Adapun materi yang berkaitan dengan ilmu dan pengetahuan umum mengikuti kondisi dan kemampuan siswa. Prinsip ini akan menghasilkan dorongan amal supercerdas dalam menghadapi tantangan pandemi, misalnya penemuan berbagai teknologi antiwabah dan sebagainya. Hal ini ditambah dengan metode pembelajaran yang shahih yaitu bersifat aqliyah dan talaqqiyan fikriyan, yang demikian yang akan membentuk pemahaman bukan sekedar transfer ilmu. Metode ini mengharuskan guru mampu menggambarkan fakta atau ilmu yang disampaikan kepada siswa, sehingga proses penerimaan yang disertai proses berpikir bisa mempengaruhi perilaku, dan semangat belajar siswa akan terus tumbuh dan produktif.

Ketiga, menjadikan negara sebagai pengelola langsung sekaligus penyedia pelayanan pendidikan (provider sekaligus operator dan supervisor) dan bukan sebagai regulator sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalis saat ini.

Dengan konsep ini, negara bertanggung jawab penuh baik dalam memberikan anggaran sesuai kebutuhan, menyediakan guru berkualitas, menyediakan sarana prasarana tanpa bergantung pada pihak swasta. Ketergantungan pada pihak swasta berpotensi terlalaikannya kewajiban, bahkan menjadikan pendidikan sebagai objek untuk menarik manfaat pihak tertentu.

Demikianlah, sistem pendidikan Islam yang diterapkan dalam negara bisa menguraikan berbagai masalah pendidikan tanpa ancaman "lost of learning".
Namun hal ini hanya akan terwujud jika negara benar-benar mengadopsi sistem pendidikan Islam.
Wallahua'lam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post