Jatim Darurat Covid-19, Walikota Surabaya Minta Maaf

By : Dante
Mahasiswi

Jawa timur menduduki posisi puncak kasus infeksi covid-19 di Indonesia. Data dari Kementrian Kesehatan jumlah total kasus hingga saat ini (29/6) 11.805 kasus. Dari seluruh peta persebaran Covid-19 di Jawa Timur, Surabaya lah yang paling banyak terdampak. Menurut Suara.com (29/6) Surabaya menjadi kota dengan  tingkat penularan virus tertinggi di Indonesia. Angka attact rate covid-19 di Surabaya mencapai 189,3. Artinya jika dalam suatu wilayah di Surabaya terdapat 100.000 orang, maka 190 orang diantaranya positif Covid-19.

Karena itulah Walikota Surabaya, Tri Rismaharini mengadakan pertemuan dengan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) untuk membahas solusi dari penyebaran Covid-19 di Surabaya yang terus meningkat pasca pelonggaran PSBB.  Diskusi itu berujung pada kejadian menghebohkan yang sedang viral didunia maya, Risma bersujud dan meminta maaf kepada seorang dokter bernama dr. Soedarsono, seorang ahli paru senior di RSUD Dr. Soetomo ketika dokter tersebut memaparkan kondisi penuhnya rumah sakit- rumah sakit karena menampung pasien covid-19. Soedarsono juga meminta pemerintah daerah untuk merapikan bagian hilir. 

“selain itu, saya melihat dijalan-jalan banyak warga dan ABG yang nongkrong di warung.” Ujar Soedarsono, dikutip dari suarajatim.id (29/6).

Jawa Timur sesungguhnya mengalami dilemma, diberlakukannya pelonggaran PSBB bahkan new normal di Indonesia tidak berbanding lurus dengan penanganan wabah. Hingga sekarang, jumlah pasien covid-19 terus bertambah. Di lain pihak, Presiden Joko Widodo meminta penurununan signifikan kasus covid-19 dalam dua pekan, dikutip dari suarajatim.id (26/6) ketika Joko Widodo melakukan pengecekan penanganan covid-19 di Jawa Timur pada 25 Juni 2020 lalu. Akibatnya, pemerintah daerah kocar-kacir memenuhi tuntutan pemerintah pusat.

Dr. Panji Fortuna Hadisoemarto, Pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran menyayangkan kondisi Indonesia ini, “Agenda pemberantasan penyakitnya tidak ada, narasi yang  dibawa malah ‘hidup berdampingan’, ‘berdamai dengan covid’. Ini masalahnya kebijakan amburadul karena arahnya bukan memberantas, kalau agendanya kuat untuk memberantas covid-19 baru kita bisa menemukan jalan” Ucapnya.

Sedangkan narasi menjalani kenormalan baru ini berarti sebuah tatanan hidup dimana seluruh rakyat diminta untuk bersiap dan menerima resiko paparan covid-19. Seharusnya, lonjakan pasien bukan lagi jadi hal yang mengherankan. Mirisnya, ditengah kondisi seperti ini rakyat hanya dibekali dengan jaminan kesehatan berbasis asuransi yang bahkan sekarang bertambah mahal, dan dogma yang disebut protocol kesehatan.

Berbekal optimisme menghadapi resesi ekonomi, pemerintah maju dengan narasi new normal –yang diduga adalah topeng manis konsep herd immunity—. Sayangnya, bagi peradaban kapitalisme ini, konsep herd immunity tampak legal untuk dilakukan, semua nya demi mempertahankan stabilitas ekonomi. 

Disaat bersamaan, krisis ini justru mendulang emas bagi big money seperti farmasi, asuransi kesehatan,dll. Jika dapat disimpulkan, rakyatlah yang harus menanggung sendiri hidup dan matinya. Sementara para penguasa dan kapital hanya menyediakan fasilitas kesehatan yang harus ditebus dengan uang.

Jika Indonesia –dan dunia masih mempertahankan system kapitalis ini sebagai system tata kelola Negara dan kehidupan, wajar wabah ini akan semakin menyebar, dan mungkin akan memakan waktu yang semakin lama untuk hilang. Berbeda dengan system islam dimana nyawa manusia menjadi urusan yang diutamakan. Bahkan keberadaan syariat dalam Negara islam salah satunya berfungsi untuk penjagaan nyawa manusia dan penjamin kesejahteraan hidup. Negara islam memenuhi apa yang dibutuhkan manusia, mulai dari kebutuhan dasar hingga kesehatan, kehormatan, dan keamanan.

Dan jika Indonesia— dan dunia masih juga mempertahankan system kapitalis ini, bukan tidak mungkin banyak pemimpin-pemimpin daerah –atau mungkin pusat— yang meminta maaf pada rakyat karena merasa tidak becus mengurusi masyarakat.
Previous Post Next Post