️Hari Raya Telah Berlalu, Sudahkah Takwa Terealisasi?

Oleh : Sumiati

Praktisi Pendidikan dan Member Akademi Menulis Kreatif

Tidak terasa Syawal sudah hampir menuju pertengahan. Rasa haru di hari raya masih terasa. Betapa tidak, karena virus belum berlalu, sehingga hari kemenangan tampak semu.

Dilansir oleh Kumparan.com, Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana Jokowi mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1441 Hijriah kepada seluruh umat muslim di Indonesia.

Jokowi mengungkapkan perayaan Idul Fitri tahun ini harus dirayakan dengan cara berbeda karena Indonesia sedang menghadapi pandemi virus Corona. Sehingga, tradisi lebaran seperti mudik dan bersilaturahmi tidak bisa dilakukan dengan cara biasanya.

"Hari raya Idul Fitri ini kita rayakan dengan cara yang berbeda, karena menuntut pengorbanan kita semua untuk tidak mudik dan tidak dapat bersilaturahmi seperti biasanya," ucap Jokowi dalam keterangannya, Sabtu (23/05/2020).

Kepala negara dan wakilnya menyebutkan bahwa modal keluar dari wabah ini adalah tawakal, takwa dan mendapatkan ridha Allah. Namun sayang, ️disamping berbicara demikian, beliau tidak menyempurnakan dengan tindakannya. Lockdown yang harusnya total pun tidak dilakukan. Bahkan kini, ketika lebaran telah berlalu, rezim pun tidak menampakkan keseriusan dalam menyelesaikan penanganan wabah. Lebih memilih jalan yang menyenangkan kaum kapitalis, ketimbang menyelamatkan jiwa masyarakat dari wabah. Mengapa sekarang masjid sudah mulai bisa dibuka untuk salat berjama'ah. Sementara di bulan suci masjid tidak boleh ️disemarakkan dengan tarawih. Inikah bisikan musuh-musuh Islam kepada rezim, sehingga rezim tidak mampu berbuat apa-apa? Sehingga seruan takwa dengan realita ibarat langit dan bumi.

Kemudian rezim pun tidak menyerukan taubat nasional. Mengganti sistem buatan manusia dengan sistem dari Allah Swt. yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan diperintahkan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an. Semua seruan rezim hanya retorika belaka. Untuk meraih hati masyarakat. Sehingga masyarakat tenang dan menganggap rezim benar dan baik-baik saja. Tidak perlu protes atau muhasabah atas kezaliman rezim. Takwa dalam sistem kapitalis demokrasi, tentu tidak akan bisa diterapkan sempurna. Karena sistem yang saling bertentangan. Sehingga tampak syariat Islam seolah dipermainkan.

Tentu berbeda dengan Islam. Ketika mengatakan takwa, itulah perintah Allah Swt. dalam Al-Qur’an.  Allah berfirman :

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepada-Nya dan janganlah mati kecuali dalam keadaan muslim".

QS. Ali Imran ayat 102.

Takwa di sini berarti menjalankan semua perintah Allah apa pun itu, suka atau tidak. Sahabat Rasulullah saw. mengatakan terkait takwa.

Suatu ketika, Abu Hurairah ditanya oleh seseorang, ''Wahai Abu Hurairah, apakah yang dimaksud dengan takwa itu?'' Abu Hurairah tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi memberikan satu ilustrasi. ''Pernahkah engkau melewati suatu jalan dan engkau melihat jalan itu penuh dengan duri? Bagaimana tindakanmu untuk melewatinya?'' Orang itu menjawab, ''Apabila aku melihat duri, maka aku menghindarinya dan berjalan di tempat yang tidak ada durinya, atau aku langkahi duri-duri itu, atau aku mundur.'' Abu Hurairah cepat berkata, ''Itulah dia takwa!'' (HR. Ibnu Abi Dunya).

Nah, contoh perilaku takwa tidak  ditunjukkan oleh rezim. Karena solusi terputusnya dari wabah tidak dilakukan. Justru malah melakukan yang bertentangan dengan solusi Islam. Kemudian terkait dengan tawakal seruan rezim pun bertentangan dengan tawakal menurut syariat.

Tawakal (bahasa Arab: توكُل‎‎) atau tawakul berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah Swt. dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan.

Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal sebagai berikut, "Tawakal ialah menyandarkan kepada Allah swt. tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana seperti wabah saat ini disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.

Menurut Abu Zakaria Ansari, tawakal ialah "keteguhan hati dalam menyerahkan urusan kepada orang lain". Sifat yang demikian itu terjadi sesudah timbul rasa percaya kepada orang yang diserahi urusan tadi. Artinya, ia betul-betul mempunyai sifat amanah ️terpercaya terhadap apa yang diamanatkan dan ia dapat memberikan rasa aman terhadap orang yang memberikan amanat tersebut.

Tawakal adalah suatu sikap mental seorang yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah Swt. karena di dalam tauhid ia diajari agar meyakini bahwa hanya Allah Swt. yang menciptakan segala-galanya, pengetahuan-Nya Maha Luas, Dia yang menguasai mampu menghilangkan wabah ini, mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah Swt. Hatinya tenang dan tenteram serta tidak ada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana.

Sementara manusia, ada yang salah paham dalam melakukan tawakal. Manusia  enggan berusaha dan bekerja, tetapi hanya menunggu. Manusia semacam ini mempunyai pemikiran, tidak perlu belajar, jika Allah menghendaki pandai tentu menjadi orang pandai. Atau tidak perlu bekerja, jika Allah menghendaki menjadi orang kaya tentulah kaya. Tidak perlu melakukan protokol ️kesehatan di masa pandemi ini, karena Allah menjamin kesehatannya dan seterusnya.

Semua itu sama saja dengan seorang yang sedang lapar perutnya, sekalipun ada berbagai makanan, tetapi ia berpikir bahwa jika Allah menghendaki ia kenyang, tentulah kenyang. Jika pendapat ini dipegang teguh pasti akan menyengsarakan diri sendiri.

Menurut ajaran Islam, tawakal itu adalah tumpuan terakhir dalam suatu usaha atau perjuangan. Jadi arti tawakal yang sebenarnya menurut ajaran Islam ialah  menyerahkan diri kepada Allah Swt. setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan bekerja sesuai dengan kemampuan dalam mengikuti  syariat Allah yang telah ditetapkan-Nya.

Misalnya, seseorang yang meletakkan sepeda di depan rumah, setelah dikunci rapat, barulah ia bertawakal. Pada zaman Rasulullah saw. ada seorang sahabat yang meninggalkan untanya tanpa diikat lebih dahulu. Ketika ditanya, mengapa tidak diikat, ia menjawab, "Saya telah benar-benar bertawakkal kepada Allah". Nabi saw. tidak membenarkan jawaban tersebut dan berkata, "Ikatlah dan setelah itu bolehlah engkau bertawakal."

Begitu pun saat ini, di kala wabah belum berakhir, takwa, tawakal bukan berarti taat begitu saja dengan kebijakan rezim. Jika kebijakan itu bertentangan dengan syariat Islam. Maka sebagai masyarakat yang cerdas, hendaklah jeli, mana kebijakan yang benar atau yang  menjerumuskan.

Wallahu a'lam bishshawab