BERFIKIR MENGHIDUPKAN RUH KEBANGKITAN

By : Yeni Marlina, A.Ma
(Pemerhati Sosial dan Aktifis Muslimah)

Pernah mendengar pernyataan : "jangan ahh susah, pusing kalau dipikirin", "ngga ngerti apa maksudnya", "bahasanya ketinggian", "kalau mikir kepalanya sakit","ngga mau mikir berat-berat" apalagi masalah politik paling ditakuti dan banyak lagi ungkapan senada sering didengar dari lawan bicara ataupun dari sandiwara tayangan-tayangan media elektronik.  Atau banyak juga kasus serupa seperti  gagal paham akibat miskom atau salah dalam komunikasi. Terutama untuk level kalangan masyarakat bawah.  Walau banyak kasus juga ungkapan itu muncul dari kalangan terpelajar.  Konon kalangan yang terbiasa berfikir dalam ilmu yang mereka geluti. Tapi terbatas untuk hal lainnya.

Masa-masa seperti ini benar-benar terjadi ditengah umat.  Yang notabene semua dalam keadaan normal memiliki akal yang sempurna.  Serta panca indra yang lengkap.  Tak beda dengan generasi awal-awal Islam dulu, generasi sahabat paling suka melakukan aktififas berfikir, bertindak sesuatu dengan berfikir.  Terus lanjut ke generasi berikutnya tabiin, tabiut tabiin, generasi ulama bahkan sangat banyak dikenal ulama-ulama di masa lalu selalu melakukan aktifitas berfikir.  Bahkan konon salah satu rahasia menghindari kepikunan adalah karena seringnya terjadi aktifitas berfikir.  Para ulama mengeluarkan banyak pendapat, termasuk para mujtahid katakanlah para imam mahzab melalukan prosesi penggalian hukum mewajibkan  berfikir.

Lalu apa yang menjadikan pergeseran paradigma ini?, bahkan kecendrungan untuk melakukan sesuatu lebih cenderung suka mengikuti daripada ikut berfikir mencari kebenaran. Bahkan yang paling fatal,  lakukan dulu urusan belakangan.  Sementara hukum  asal bagi seorang mukallaf adalah mencari tahu hukum.  Karena hukum amal sudah termaktub dalam lima kategori yang disyariatkan : wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.  Menuju kepada keputusan hukum yang akan diambil untuk suatu amal butuh proses yang namanya aktififas berfikir.

Pergeseran ini lah yang sebagian besar berpengaruh terhadap dunia 
Islam, bahkan dapat dikatakan sebuah kemerosotan.  Kemerosotan berfikir, yang bukan lagi dihasikan dari proses yang maksimal.  Dampaknya bukan hanya pada skala individu, masyarakat saja bahkan negara.  

Negeri-negeri Islam saat ini sedang terjebak dalam berfikir yang pragmatis bahkan batas-batas sekat wilayah membiarkan umat ini berjuang dan bertahan sendiri-sendiri dari serangan pemikiran asing.  Serangan pemikiran telah menjadi senjata barat menyerang umat, menjauhkan umat dari berfikir yang hakiki.  Berfikir yang sesuai realitas hidup dan kehidupan.

Dalam al-Qur'an sekitar 100 ayat-ayat menjelaskan tentang dorongan berfikir. Diantaranya : 
"keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan" (TQS, an-Nahl : 44), "Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?" (TQS al-Qashash : 60), "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya“. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan“. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir" (TQS al-Baqarah : 219).  Dan banyak lagi ayat lainnya yang mengarahkan manusia untuk berfikir.  Artinya secara alami hidup dan kehidupan manusia dijalani dengan berfikir.

Ada yang berbeda di era kinian,  sejak akhir tahun 2019 lalu dunia benar-benar didorong untuk lebih banyak berfikir.  Bukan tanpa maksud dan tujuan Allah SWT telah mengirim makhluk yg mata tak bisa melihatnya.  Namun keberadaannya sangat terasa.  Covid-19 disepakati melalui lembaga kesehatan internasional sebagai status pandemi. 

Bukan tanpa tujuan, ternyata cara Allah menyampaikan banyak pesan positif untuk manusia tentang pengelolaan dunia.  Pesan positif yang telah mampu menghantarkan manusia ke level berfikir tentang siapa mereka.  Mereka bukanlah apa-apa yang pada akhirnya butuh tempat bersandar dan memuja, bagi umat Islam Dia-lah Allah yang Esa.  Lalu jika sudah sampai pada demikian, seperti ada ruh yang kembali menghidupkan umat Islam.  Kepedulian sesama meningkat, ibadah bertambah, kesabaran dan keikhlasan terlatih.  Utuh kah ruh ini sampai ke jasad umat agar bisa kembali berdiri dengan kokoh?, tergantung sampai di level mana kapasitas berfikirnya.   

Negara berfikir bagaimana cara mengatasi virus agar segera selesai dan kurva pun melandai, masyarakat kreasi dengan style hidup sehat dan bersih, individu-individu berlomba berfikir agar tetap selamat dan  melek teknologi agar tidak tertinggal informasi.  Semua kegiatan ini tidak terlepas dari adanya aktifitas berfikir.

Di dalam kitab at-Tafkir karangan ulama besar al-'Alim Taqiyuddin an-Nabhani  dijelaskan, 
kegiatan berpikir terbagi menjadi 3 tingkatan. Yaitu berfikir dangkal, mendalam dan cemerlang.

1). Berpikir dangkal merupakan pemikiran kebanyakan manusia. 
Yaitu proses berfikir memindahkan fakta ke dalam otak, tanpa membahas fakta lainnya, atau tanpa berusaha mengindera hal-hal yang berkaitan dengan fakta tersebut, kemudian mengaitkan penginderaan tersebut dengan informasi-informasi yang berkaitan dengannya. Juga tanpa ada usaha mencari informasi-informasi lain yang berkaitan dengan fakta. Kemudian setelah itu keluarlah keputusan yang dangkal terhadap fakta tersebut. Pemikiran seperti ini kerap terdapat pada berbagai kelompok manusia, orang-orang yang rendah taraf berpikirnya, serta orang-orang cerdas yang tidak terpelajar.  Artinya mencukupkan satu sumber informasi dan fakta saja, lalu diambil keputusan sikap. 

2). berpikir mendalam adalah berfikir lebih mendalam dalam mengindera suatu fakta, dan mendalam dalam informasi yang berkaitan dengan penginderaan tersebut untuk memahami suatu fakta. Jadi berpikir mendalam tidak hanya sekedar mengindera sesuatu dan tidak cukup hanya dengan satu informasi awal untuk mengaitkannya dengan penginderaan, seperti halnya pada berpikir yang dangkal. Namun dilakukan dengan mengulang penginderaan fakta dan berusaha menginderanya lebih banyak dari penginderaan sebelumnya, baik dengan jalan percobaan atau dengan mengulang penginderaan. Melengkapi informasi dari berbagai sumber. Akan dihasilkan pemikiran-pemikiran yang mendalam baik merupakan kebenaran maupun bukan kebenaran. 
Berpikir mendalam merupakan langkah kedua setelah berpikir dangkal. Berpikir mendalam merupakan pemikiran para ulama (intelektual) dan para pemikir, meskipun tidak harus merupakan pemikiran kaum terpelajar. 

3). Berpikir cemerlang (mustanir) adalah berpikir mendalam  ditambah dengan memikirkan segala sesuatu yang ada di sekitar fakta dan yang berkaitan dengan fakta untuk bisa sampai kepada kesimpulan yang benar. Untuk sampai kepada tujuan tertentu, yaitu kesimpulan yang benar. Karena itu setiap proses berpikir cemerlang merupakan proses berpikir mendalam. Tetapi tidak mungkin proses berpikir cemerlang berasal dari berpikir dangkal. Dan tidak setiap berpikir mendalam merupakan berpikir cemerlang.  Karena berfikir mendalam belum tentu sampai pada kesimpulan yang benar, namun hanya sekedar mendalami fakta semata. 

Tapi tiadanya kecemerlangan dalam berpikir, akan menjadikan terbiasa berpikir mendalam saja, atau terbiasa berpikir dangkal, dan bahkan akan terbiasa berpikir rendah (at-tafkir as-sakhifl). Karena itu berpikir mendalam saja tidak cukup untuk membangkitkan manusia dan meningkatkan taraf berpikir mereka, melainkan harus ada kecemerlangan dalam berpikir sehingga terwujudlah keluhuran dalam berpikir (kebangkitan).

Setiap proses berfikir ini terjadi karna pengkaitan antara objek yang difikirkan melalui pengindraan fakta yang berkaitan dengannya lalu dikaitkan dengan ma'lumat tsabiqoh (informasi sebelumnya).  Keberhasilannya tergantung dari proses yang dilakukan.

Menghadapi realita yang dihadapi saat ini oleh umat Islam khususnya yang sudah lama berada dalam kemunduran, maka untuk bangkit kembali tentu tidak cukup dengan mengandalkan berfikir mendalam apalagi dangkal.  Sudah saatnya naik level berfikir cemerlang layaknya generasi terdahulu di masa-masa keemasan Islam kapasitas berfikir umat mencapai level cemerlang (mustanir), hingga bisa memimpin sampai 2/3 dunia luasnya.  Tidak mungkin bisa dicapai dengan sekedar berfikir mendalam, terutama oleh para pemimpin atau sosok yang berpengaruh dalam menguatkan kiyan daulah (banginan-struktur negara).  Sekalipun tidak dipungkiri kapasitas masyarakat ada yang hanya sampai level dangkal atau mendalam namun mereka bukanlah jumlah yang berpengaruh.  Bahkan mereka lebih berfungsi sebagai pengikut dan taat aturan negara.

Fakta hari ini disebagian besar kalangan pemimpin negeri-negeri muslim, hegemoni berfikir barat yang berkelindan dalam mengatur kehidupan tentunya dalam level yang dangkal atau mendalam namun bukan dengan kesimpulan yang benar.  

Maka hijrah total kaum muslimin saat ini adalah menaikan level berfikir hingga sampai pada mustanir.  Jika telah sampai pada level ini maka kemenangan dan kebangkitan akan kembali bisa diraih.  Hidup mulia dengan Islam bukan lagi suatu mimpi yang utopis.  Terlebih lagi fakta kegagalan sistem kapitalis-sekuler benar-benar telah nyata di depan mata.  Seperti halnya dalam penanganan Covid-19 saat ini, telah membuka sebuah wacana yang paripurna butuh solusi hasil berfikir cemerlang yaitu kembalinya menata dunia dengan kehidupan baru dalam tatanan syariat  Allah secara kaffah.  Inilah detik-detik kembali utuhnya  ruh ke tubuh umat dan siap bangkit secara menyeluruh, berdiri kokoh.  Jaminan solusi berbagai permasalahan kehidupan. 

Walhasil, berfikir cemerlang (mustanir), bisa dicapai oleh siapa saja. Selama proses yang ditempuh benar dan dikaitkan dengan pemahaman yang benar yaitu pemahaman bersumber dari tsaqofah Islam bukan tsaqofah yang lainnya.
Previous Post Next Post