PSBB Sebuah Kebijakan Minim Solusi

Oleh : Nibrazin Nabila
Praktisi Pendidikan

Beberapa waktu lalu, sebagai langkah penekanan penyebaran virus covid-19, pemerintah memutuskan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Yang didasari oleh peraturan pemerintah no 21 tahun 2020. Namun pelaksanaannya belum membawa perkembangan baik terhadap penyebaran virus, wabah pun belum juga mereda. Setelah PSBB tingkat provinsi berakhir, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung memutuskan untuk memperpanjang PSBB secara parsial. Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kabupaten Bandung, Yudi Abdurrahman mengatakan, PSBB parsial akan diterapkan dari tanggal 20 sampai 29 Mei 2020. PSBB akan diterapkan di 5 kecamatan, yaitu Bojongsoang, Cileunyi, Dayeuhkolot, Margaasih, dan Margahayu. Jum’at (24/4/2020) 

Berdasarkan fakta di lapangan, penerapan kebijakan tersebut menuai polemik baru yaitu semakin sulitnya terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Sehingga masyarakat Indonesia terpaksa ditempatkan dalam dilema. Antara khawatir terpapar virus, dan keharusan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Secara umum PSBB memuat 6 poin yang menitikberatkan pada  pelaksanaan pysical distancing yakni:  work from home ( bekerja dirumah), belajar dirumah, ibadah dirumah, pembatasan jumlah orang yang berkegiatan di tempat umum, pembatasan kegiatan sosial budaya,  pembatasan jalur transport, pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.  

Namun fakta yang terjadi  di lapangan, banyak masyarakat yang terkesan acuh dengan rambu-rambu itu.  Masih banyak yang berlalu lalang tanpa masker dan mengabaikan enam poin diatas. Hal ini disebabkan karena sosialisasi pencegahan covid-19 dilakukan pemerintah dan jajarannya belum tuntas.  Ditambah lagi dengan persoalan dilema antara kekhawatiran terkena penyakit dengan tuntutan kebutuhan dapur, sehingga mereka cenderung abai dan tidak melakukan pembatasan itu. Padahal beberapa Pemda telah menyusun sanksi yang lumayan berat. 

Rakyat tetaplah rakyat, mereka lah yang biasanya menjadi korban atas perumusan kebijakan yang tidak tuntas. Padahal jika pemerintah konsekuen dengan pembatasan seperti itu dan disertai dengan penyediaan kebutuhan rakyat secara masif tanpa syarat berbelit dan penguasa tidak pelit untuk membelanjakan pendapatan negara untuk rakyat.  Niscaya rakyat tidak akan keberatan untuk tetap diam di rumah.
  Sayangnya kenyataan getir ini harus tetap  dihadapi rakyat, walau harus menghadapi resiko terkena sanksi berat PSBB. penyebab ini semua adalah penerapan sistem kapitalisme yang lebih mementingkan untung rugi ekonomi daripada memposisikan  diri, sebagai penjaga kebutuhan rakyat. 

Memang sejak awal ditetapkanya  PSBB ini, sangat nampak bahwa pelaksanaannya tak lebih sebagai kebijakan yang setengah hati, rakyat kesulitan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka, sementara pemerintah enggan menjamin  pemenuhan seluruh  kebutuhan ekonomi rakyat.  Sekalipun ada  program Jaminan Bantuan Sosial, nyatanya rakyat harus melewati mekanisme yang berbelit untuk mendapatkannya, bahkan parahnya penyalurannya pun  tidak tepat sasaran.
  Paradigma Kapitalis yang diemban oleh rezim ini sebenarnya adalah sumber kesulitan rakyat. Paradigma ini akan membawa pemimpin selalu melihat untung dan rugi, walaupun mengorbankan  nyawa rakyat sendiri. Sistem kapitalis meniscayakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah cenderung untuk para pemilik modal beserta kroni-kroninya. 

Lain halnya dengan sistem Islam. Jika kondisi ini terjadi di dalam negara  yang berhukum pada Islam, maka sejak sosialisasi program, negara akan serius menjalaninya. Negara Islam  akan menyebar luaskan info dengan segala format media dan memastikan tidak ada rakyat yang melewatkan informasi itu. Tentu tak cukup dengan sosialisasi saja tetapi tetap diikuti penjaminan seluruh kebutuhan dasar rakyat orang perorang. 

Sejatinya sosok penguasa yang benar-benar tulus menyayangi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya tanpa pamrih hanya lahir dalam sistem Islam yakni Khilafah.  Hal ini dilakukan berdasarkan dorongan ketakwaan kepada Allah Swt.
  
Kesempurnaan aturan Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as Sunnah dalam mengatur politik dan ekonomi negara, membuat khilafah gampang dalam mengambil keputusan.    Dalam sistem khilafah, khalifah memiliki wewenang dalam mengambil keputusan  yang hasilnya terbukti efektif dan efisien menyelesaikan persoalan di masyarakat.  

Saat pandemi, khalifah akan sigap melakukan lockdown sebagai upaya untuk menekan penyebaran penyakit ke daerah yang masih zona hijau sebagaimana syariat memerintahkan, “Tidak mencampur orang sakit dengan orang sehat.” Khilafah memastikan kebutuhan makanan, minuman, alat kesehatan pribadi dan berbagai bahan untuk memperkuat imunitas tubuh. Layanan kesehatan pun tersedia secara cukup, sehingga warga di pusat penyakit bisa cepat sembuh. Upaya ini akan membantu wilayah diluar wabah dapat melakukan aktivitas perputaran roda ekonomi dalam kondisi normal.  Sehingga ketika menghadapi situasi sulit seperti kondisi pandemi saat ini, khalifah dapat meminta bantuan ke wilayah atau daerah bagian kekhilafahan Islam yang kaya dan mampu memberi bantuan.

Karena sebuah negara yang berdasarkan Islam  bersifat universal. Oleh sebab itu, jika salah satu daerah benar-benar dalam kondisi kekurangan, daerah lain akan turut mengulurkan bantuan. Hal ini sesuai prinsip bahwa umat muslim bagaikan satu tubuh. Jika yang satu sakit, yang lain ikut merasakan dan akan mengulurkan tangan dan tidak selalu mengandalkan otonomi daerah.  Karena yang ada adalah sikap saling berlomba antara satu daerah dengan yang lain. Sehingga tidak akan ada cerita daerah kaya akan semakin sejahtera, sedangkan daerah miskin tetap merana.

Semua itu hanya bisa dilakukan oleh sebuah sistem yang kompleks. Bukan sistem buatan manusia. Melainkan sistem yang berasal dari Sang Maha Pencipta. Sistem Agung yang dibawa Rasulullah Saw. Sebuah sistem Islam dengan dikenal dengan Khilafah Islamiyyah.
Wallahu a’lam bis shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post