Tara Basro, Ilusi Dibalik Keindahan Perjuangan Kesetaraan Gender

By : Nor Rahma Sukowati

Perhelatan akbar Women’s March baik internasional maupun lokal usai sudah, namun nafas para pejuangnya akan senantiasa membara. 8 Maret ditandai setiap tahunnya sebagai aksi untuk memperingati jasa para buruh di Eropa tempo dahulu ketika banyak kaum wanita yang dipekerjakan dengan semena- mena. Di Indonesia sendiri, aksi Women’s March sudah dimulai sejak tahun 2017. Dalam kurun waktu 4 tahun, nyatanya aksi ini cukup mampu menarik perhatian sebagian besar para wanita nusantara. Bagaimana tidak, meskipun tema tiap aksi di berbagai tempat senantiasa berbeda, namun ruh dari aksi ini tak akan pernah melewatkan issue permasalahan perempuan di berbagai belahan dunia yang tak kunjung usai. Seiring berjalannya waktu, aksi ini menjadi famous karena merupakan puncak ekspresi para pejuang feminisme melegitimasi ide mereka sebagai solusi hakiki bagi permasalahan perempuan.

Salah satu hal yang menjadi sorotan dalam aksi Women’s March di Indonesia kemarin yakni pembelaaan terhadap Tara Basro atas penetapan Kominfo terkait salah satu postingan naked nya di feed Instagram sebagai konten pornografi dan melanggar UU ITE. Namun, sebagian masyarakat menolak pernyataan tersebut. Penetapan tersebut dibilang terkesan buru- buru dikarenakan Kominfo belum memahami esensial maksud dari postingan tersebut. Sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat, seperti yang dilansir dari suara.com (4/3/20) Kominfo dan UU ITE masuk dalam daftar topik paling heboh di Twitter indonesia dengan jumlah cuitan lebih dari 20.000 kali. Masyarakat yang tidak sepakat dengan perlakuan Kominfo terhadap Tara memandang bahwasannya ini adalah sebuah edukasi terkait “Body Positivity” yang seharusnya dimaknai sebagai pembelajaran untuk mencintai dirinya apa adanya sehingga mereduksi aktivitas body shaming. Pasalnya, body shaming sendiri, acapkali disasarkan pada kaum wanita. 

Bagaimana sejarah body shaming itu ada, perlu ditilik secara detail. Dilansir dari Kompasiana (21/12/19) body shaming sendiri didefinisikan sebagai jenis bullyan yang mengomentari fisik atau tubuh diri sendiri dengan cara yang negatif. Entah itu mengejek tubuh gendut, kurus, pendek atau tinggi. Dampaknya sendiri menurut Laporan penelitian Irene Teodari Health Psychology Research Group, University of Houston, texas Amerika Serikat yakni akan membuat seseorang depresi yang tentunya mempengaruhi tingkat depresi wanita. Body shaming menyebabkan rasa malu terhadap bentuk tubuh begitu tinggi sehingga depresi pun meningkat. Sehingga, suatu bentuk hal yang wajar ketika banyak para pejuang yang memotivasi para korban body shaming “to let themselves bloom”. 

Perkara postingan foto Tara Basro yang mencuat agaknya juga menjadi kejanggalan. Pasalnya, jauh Sebelum Tara mengupload postingannya, berbagai foto half- naked atau naked hampir acapkali terpajang di iklan kanal berita maupun sosial media. Sehingga wajar, ada sebagian masyarakat sipil menganggap bahwasannya perlakuan Kominfo kepada Tara Basro merupakan sebuah ketidakadilan. Karena belum ada ketegasan Kominfo secara fisik terhadap postingan maupun aktivitas yang serupa dengan apa yang dilakukan Tara Basro sebelumnya.

Pun, sebagian kecil masyarakat memandang bahwasannya di Indonesia masih melekat pada pandangan misoginis. Menurut sosiolog Allan G. Johnson, “misoginis” adalah sikap budaya kebencian terhadap perempuan karena mereka adalah perempuan”. Johnson juga berpendapat bahwa,” kebencian terhadap wanita merupakan bagian sentral dari prasangka seksis dan ideologi dan dengan demikian, merupakan dasar penting bagi penindasan perempuan dalam masyarakat yang didominasi laki- laki”. Sehingga, perlakuan Kominfo terhadap postingan Tara pun juga dinilai bentuk dari perwujudan konsep misoginis itu sendiri.

Mencuatnya fenomena sederetan pejuang feminisme dengan segala rupa konsepnya, menjadi sebuah bukti nyata bahwasannya ada ketimpangan pada kehidupan wanita di era kehidupan sekarang. Ketika mewabah sebuah anggapan, pemerintah tak cukup kuat atasi permasalahan mereka, maka keterwakilan dalam berbagai ranah pun diperjuangkan, termasuk keterwakilan perempuan dalam kebebasan berpendapat. Pasalnya, hari ini berbagai pendapat yang mencuat di depan publik mau tidak mau harus diterima sekalipun bertentangan prinsip dan norma agama. Misalnya, menjadi suatu dilema tersendiri untuk menimbang manakah pandangan yang benar dari kedua belah pihak antara Kominfo maupun sebagian masyarakat yang mendukung Tara Basro. Akan terjadi sebuah ketimpangan, apabila memilih mana yang benar dari salah satunya. 

Walhasil, standar kebenaran maupun hukum positif bergantung pada siapa yang punya kuasa dan bagaimana pandangan kehidupannya. Sangat disayangkan, di era sekarang, pun standar perbuatannya absurd dan bertumpu hanya pada “kemaslahatan”. Standar perbuatan yang tercermin dalam prinsip kebebasan berperilaku dan kebebasan beragama hari ini, juga mampu menumbuhsuburkan praktek amoral seperti prostitusi, pornografi, miras dan lain- lain. Di sisi lain,  justru pertumbuhan praktek amoral yang berwujud dalam balutan prostitusi, pornografi, miras bahkan eksploitasi wanita dianggap sebagai “support ekonomi bayangan” dan menjadi solusi kemiskinan yang dilegalkan dan digunakan sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, sekalipun semuanya terbukti telah menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan dan moralitas. Berbagai iklan acapkali diiklankan oleh wanita dalam adegan berbagai rupa. Ini hanyalah sebagian dampak kecil manakala terjadi pengarusan ide kesetaraan gender pada kebanyakan perjuangan pergerakan perempuan hari ini. 

Parahnya, lagi dukungan terhadap perjuangan feminisme semakin deras. Hal ini dibuktikan dengan disupportnya oleh berbagai negara yang terlibat dalam United Nations. Misalnya dukungan melalui penetapan ICEDAW (International Convention on Ellimination of All forms of Discrimation Againts Women) pada tanggal 18 Desember 1879 bahkan juga diadopsi salah satu poin dalam SDGs (Sustainable Development Goals). Jelas sudah, makna pilar kebebasan hari ini, menjadikan manusia bebas- sebebasnya mengambil segala pemikiran yang ada tanpa batasan tertentu. Padahal, manusia itu sepaket dengan segala keterbatasannya. Jelas, pilihan manusia dan aturan yang dibuatnya tentu tak akan pernah menghasilkan kemaslahatan bagi khalayak umum. 

Kembali pada aturan sang Pencipta adalah cara terbaik. Maka dari itu, kita sebagai seorang muslim perlu menilik Islam lebih lanjut sebagai Diin sekaligus menjadikannya sebagai solusi yang solutif. Bukan malah terjebak dengan feminisme dalam balutan istilah kesetaraan gender. Sehingga, satu- satunya cara untuk menghadapinya adalah dengan memurnikan pemikiran umat dengan Islam. Senantiasa meningkatkan keimanan kepada Allah dengan banyak mengkaji ilmu Islam bersama dengan orang- orang yang senantiasa akan mengondisikan individu dalam ketaatan dan taqarrub Ilallah. Selain itu peran lingkungan juga sangat dibutuhkan. Tidak bisa dipungkiri, bahwa support system feminisme masuk ke dalam benak umat adalah penjaminan  pilar kebebasan oleh kapitalis hari ini. Bahkan, pilar kebebasan ini menjadikan negara abai dalam menjaga kemurnian berpikir umat muslim bahkan menjadikan belum terterapkannya syariat Islam secara sempurna dalam kehidupan umat muslim hari ini. Sehingga upaya besar yang perlu menjadi kesadaran bagi umat, yakni dengan memperjuangkan adanya sistem yang mampu menopang syariat Islam secara sempurna sekaligus mampu menjaga kemurnian berfikir umat, bukan dengan jalan feminisme. Maka disinilah peran negara seharusnya dibutuhkan. Peran negara yang mampu membuktikan bahwasannya dia adalah perisai hakiki dan penjaga kemurnian berfikir umat serta penerap Islam sebagai pandangan hidup dalam segala aspek kehidupan.

Post a Comment

Previous Post Next Post