MERAYU CINTA LEWAT MUSIBAH (Kisah Nyata, Part II)


Oleh : Nur Fitriyah Asri (Bu Is Senja)
Akademi Menulis Kreatif


KISAH NYATA INI DITULIS DENGAN HARAPAN SIAPA TAHU ADA HIKMAH YANG BISA  DIPETIK

Seketika lamunanku buyar ketika salah seorang perawat mengatakan supaya bersiap-siap pindah ke ruang perawatan. Secepat ini, bukankah belum sadar?!

"Ibu, karena bapak golongan IV, maka akan mendapatkan fasilitas di ruangan kelas I. Maaf, kamar yang berisi satu orang sudah penuh, tinggal kamar yang berisi dua orang. Apa Ibu tidak keberatan?" ujar perawat tersebut.

"Baiklah, nggak masalah,"  jawabku ngasal.Toh, apa istimewanya sebuah kamar besar buat pasien yang tidak sadar. Percuma, kan, tidak bisa dinikmati.

Bakda shalat Jum'at petugas datang membawa peralatan untuk memindahkan Bapak ke ruang perawatan. Kuikuti dari belakang, pikiran menerawang jauh ke  depan, apa yang akan terjadi? Bapak akan pergi menghadap Illahi Robbi? Atau, tragedi kecelakaan di tahun 1999 terulang lagi? Saat itu Bapak gegar otak divonis tidak bisa bicara. Sedih sekali.

Jujur aku trauma dan stres karenanya. Rasanya takut kalau harus terjadi lagi. Dampak gegar otak waktu itu kata dokter  ada empat yaitu, emosinya tinggi, mudah tersinggung, acuh terhadap lingkungan dan gampang su'uzhan. Semua sifat tersebut menjadi pemicu pertengkaran. Harusnya yang waras mengalah. Namun, kadang emosi tersulut juga. Untuk proses penyembuhan diperlukan waktu cukup panjang dan dibutuhkan kesabaran.

Di sisi lain, ada hikmah luar biasa. Dapat mengetahui dan memahami keterbatasan kemampuan seseorang serta meyakini akan kekuasaan Allah.

Tanpa disadari pikiranku jauh melanglang ke belakang. Waktu itu dokter mengatakan di depan kami, "Ibu, Bapak tidak akan bisa bicara seumur hidup karena motoriknya rusak, meskipun dioperasi tetap tidak akan bisa bicara."

Mendengar pernyataan dokter, Bapak langsung menunduk lunglai dengan wajah pesimis dan putus asa.

Dengan sigap aku jongkok di depan Bapak sambil kupegang kedua lututnya, "Bapak, tolong dengarkan Ibu. Jangan dengarkan omongan dokter. Dokter itu manusia biasa, bisa salah. Berbeda dengan Allah, tidak ada istilah sulit bagi Allah. Bapak harus yakin. Bapak akan ditolong Allah. Yakin, Bapak bisa bicara."

Alhamdulillah ada perubahan di raut wajah Bapak, dan kembali tenang.

Di saat yang sama kulirik dokter, diam terpaku seperti ada rasa penyesalan yang mendalam. Mungkin kata-kataku menjadi tamparan keras, mengingatkan atas pelanggaran kode etik yang dilakukan sekaligus merobohkan kesombongannya, Insyaallah.

Mengingat kembali kisah tragedi kecelakaan, bisa memberikan aliran energi positif saat menghadapi musibah dengan merayu cintanya Allah.Tidak lain berupaya memperkokoh keyakinan, memaksimalkan ikhtiyar, berdoa dan berserah diri pada Allah. Semua bentuk musibah seyogyanya diikuti dengan muhasabah dan disertai kesabaran.

Hasbunallah wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man nashir; Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung. Ketika dalam kesulitan atau ketakutan, hanya dengan mengingat kalimat ini, Insyaallah akan menenteramkan dan menyejukkan hati.

Lebih afdhal jika dilanjutkan dengan membaca:

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ
Lā haula wa lā quwwata illā billāhil ‘aliyyil azhīmi

“Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang maha tinggi lagi maha agung.”

Lafadz tersebut mempunyai keutamaan yaitu, berharap kepada Allah Swt membuka jalan keluar atas kebuntuan masalah yang tengah kita hadapi.

Akhirnya, sampai juga di ruang perawatan.Terasa lelah kaki melangkah, lumayan jauh kaki mengayuh.Terasa penat karena pikiran tersumbat. Buntu karena tidak tahu apa yang akan terjadi. Hanya pasrah dan ikhlas yang membuat hati ini tenang.

Kembali lisanku berucap lirih, "Ya Allah, aku rida menerima qadha'-Mu. Astaghfirullah .... Laa  haula wa laa quwwata illaa billaahil 'aliyyil azhiim."

Bapak masih belum juga sadar, meskipun perawat berusaha membangunkannya. Jempol kaki kanannya dengan enam jahitan, masih mengeluarkan darah, mengotori sprei yang baru saja diganti. Bahkan, darahnya sampai menetes di lantai. Dengan cekatan perawat memasang oksigen, infus, juga memeriksa posisi kateter. Bapak sepertinya tidur, tapi disertai batuk-batuk.

Begitu melihat sofa ingin rasanya merebahkan tubuh. Tapi, tidak kulakukan dan lebih memilih menunaikan shalat zuhur dan berkenalan dengan keluarga pasien yang satu ruangan.

Rasa iba menyeruak, kasihan melihat pasien berumur 16 bulan. Baru sehari menjalani operasi usus melintir, diduga karena salah pijat yang dilakukan seorang dukun bayi.Tidak terdengar tangisan dan rintihan,  mungkin setengah sadar akibat rasa sakit yang luar biasa.

Ibunya duduk di pojok sofa dengan memeluk kedua lutut, menangis sedih dan pilu. Aku terharu. Beban berat seorang ibu, mana tega melihat buah hatinya di ambang kematian. Kutepis kesedihanku, kuhibur ibunya, menenangkan dengan mengingatkan firman Allah. Alhamdulillah membuatnya tenang. Namun sayang, pada malamnya harus pindah ke ruangan lain. Aku hanya bisa mendoakan semoga Allah memberikan yang terbaik. Aamiin.

Di hari yang sama, Jum'at siang hingga sore, kondisi Bapak belum sadar, namun kelihatan tenang, mungkin pengaruh obat yang diberikan sewaktu di UGD. Hasil pemeriksaan  gula darah (DM) 300, Tensi 160/100. Membuat hatiku was-was, karena sebelum sakit tensi Bapak tidak pernah setinggi itu.

Benar yang aku khawatirkan. Beranjak malam Bapak demam, tubuhnya panas sekali sampai membuat gelisah. Kemudian ingin mencabut semua selang yang menempel di tubuhnya. Aku dan anakku dibuat bingung dan kuwalahan. Benar-benar penjagaan super ekstra dan kami hampir tidak bisa istirahat.

Kupanggil perawat, dengan perasaan cemas kusampaikan, "Bapak badannya panas ...!"

"Dikompres saja, Bu ... besok akan saya laporkan ke dokter," jawabnya.

Apa tidak salah pendengaranku, pasien butuh pertolongan masih diminta menunggu besok?

"Apa tidak ada tindakan medis selain dikompres?!" Aku berharap Bapak diberi obat penurun panas.

"Tidak berani, Bu, harus dengan resep dokter."

Sebel. Ingin kukatakan, "Bukankah bisa menghubungi dokter via telepon?" Namun kutahan. Aku pilih diam.

Benar-benar kecewa. Aku tahu gelisahnya Bapak karena demam tinggi. Percuma berharap, akan sia-sia. Aku sadar apa yang harus segera dilakukan yaitu mengompres Bapak. Kuminta anakku mengambil handuk kecil,  ketiga-tiganya dibasahi air, kemudian ditempatkan di kepala, di  ketiak dan di selangkangan.

"Sering-sering diganti ya ndhuk dan jangan lupa berdoa," bisikku kepada anakku.

Ingat, yang memberi musibah dan penyakit adalah Allah. Begitu juga yang menyembuhkan adalah Allah. Jangan bergantung pada obat dan pada manusia. Bergantunglah hanya kepada Allah. Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. (Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong). Alhamdulillah tidak lama kemudian panasnya turun dan kembali tenang.

Pada hari Sabtu, hari kedua, teman-teman pengajian Bapak dan tetangga berdatangan mendoakan.

Di antaranya ada yang berkata, "Sepertinya lebih parah kecelakaan yang dulu, ya, Bu, Insya Allah Pak Is akan cepat sembuh."

Aku hanya bisa mengaminkan semoga semua doa yang dikhususkan untuk Bapak diijabah Allah. Aamiin.

Sudah tiga hari sejak dari UGD belum ada pemeriksaan dokter. Karena hari Sabtu dan Ahad libur. Ada perasaan cemas dan gelisah mengingat kondisi Bapak belum sadar. Alhamdulillah hasil pemeriksaan gula darah dan tensi sudah turun, tidak demam lagi.

Sesekali perawat membangunkan Bapak secara paksa dengan memberikan tepukan-tepukan keras dan cubitan pada lengan. Kemudian juga diberikan air minum, masih bisa menelan. Alhamdulillah tanda-tanda membaik itu  mulai tampak.

Kami juga diingatkan dokter dan perawat. Setiap dua jam sekali supaya merubah posisi Bapak, dimiringkan ke kiri, terlentang, miring ke kanan, terlentang lagi dan begitu seterusnya. Sungguh, perawatan tersebut menguras energi luar biasa. Dalam keadaan tidak sadar menjadikan tubuh seseorang bertambah berat karena mbaluh  (bahasa Jawa), apalagi tubuh Bapak besar. Ini membuat pinggangku sakit.

Pada saat yang sama, sesekali punggungnya dilap handuk basah, kemudian diolesi minyak kayu putih sambil ditepuk-tepuk untuk membantu metabolisme agar lancar. Di sinilah pentingnya peran keluarga. Jika tidak dilakukan, jangan kaget apabila punggung, pantat pasien lecet, dan luka. Ini sangat berbahaya bagi penderita Deabetes Militus( DM) begitu katanya.

Kondisi Bapak masih belum sadar juga, walaupun kadang bisa membuka mata, namun pandangannya kosong. Batuknya semakin menjadi, dahak menyumbat saluran pernapasan. Nafasnya terdengar berat, tersemgal-sengal, ngorok, serta seringkali demam. Sungguh tidak tega melihatnya.

Mengapa sudah tahu Bapak batuk hebat, tapi tidak diberi obat? Dadanya sesak tidak pula diasap. Baru ada tindakan setelah aku memintanya. Itu pun hanya diberikan obat batuk sehari sekali minum. Wajar jika batuknya tidak reda apalagi sembuh. Begitu juga ketika Bapak demam, perawat tidak ada inisiatif memasang termometer, lagi-lagi aku yang minta agar diperiksa seberapa tinggi suhu tubuhnya, ternyata  hampir 39°C. Bisa dipastikan jika suhu tinggi Bapak akan gelisah.

Di dalam hati membenarkan info yang kuterima selama ini, bahwa pelayanan rumah sakit ini buruk. Faktanya memang benar, dengan adanya kejadian-kejadian sudah bisa dibuktikan. Dalam kondisi kritis kupanggil perawat dengan telepon, tidak kunjung datang. Meminta untuk mengganti infus dan oksigen yang habis tidak digubris. Meminta ganti perban di jempol kaki yang basah karena darah dan sudah lebih tiga hari baru diganti.

Pasien sebelah juga mengalami hal yang sama. Akibat kecelakaan mengalami patah tulang tangan kanannya, dan rahang, bibir dijahit dan luka di tempat lainnya. Laki-laki berusia 22 tahun, karyawan  puskesmas di Kabupaten Lumajang. Merasa tidak bisa menahan sakitnya, sering teriak-teriak dan mengumpat karena pemberian obat yang terlambat. Kasihan ibunya jadi sasaran dan harus bolak-balik ke kantor perawat.

Sesungguhnya kelalaian ini bisa membuat pasien bertambah parah dan bisa memgancam jiwanya. Sedangkan pihak keluarga pasien dibuat bingung, panik, resah dan gelisah, menyaksikan keluarganya diperlakukan tidak manusiawi. Benar-benar zalim.

Penderita gegar otak umumnya gelisah, inginnya mencabuti selang infus, sonde dan kateter. Oleh karena itu, kedua tangan dan kakinya diikat, namun demikian masih bisa melepaskan diri dari ikatan dan bisa melepas sonde serta infus. Astaghfirullah ....

Posisi tubuh sering turun ke bawah (melorot). Aku dan anakku yang mengangkat menaikkan kembali. Beruntung kadang dibantu ayah pasien yang kecelakaan satu ruangan dengan kami. Caranya dengan memberikan lembaran kain di bawah tubuh Bapak sebagai alat untuk mengangkat ke atas. Berat memang, tapi kami mampu melakukannya dengan diawali berdoa laa haula wa laa quwwata illaa billah. Bismillah ....

Aku yakin pasti bisa, seperti keyakinanku atas fadhilah lafadz tersebut. Sebuah keyakinan yang membuat kami, ibu senja dan anak perempuan bisa melakukannya. Alhamdulillah ....

Bersambung ....
Sebenarnya *kisah pra operasi* sudah selesai. Panjang banget. Supaya pembaca tidak bosan dan jenuh, ibu buat tiga episode.
Untuk mengetahui kisah selanjutnya yang mengaduk-aduk emosi, ditunggu ya ...🙏🙏🙏

1 Comments

Post a Comment

Previous Post Next Post