Sertifikat Pranikah Perlukah?

Oleh : Ahyani R. 
(Pemerhati Umat)

Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy, berencana membuat program sertifikasi persiapan perkawinan berupa kelas atau bimbingan pranikah wajib bagi setiap pasangan. Rencananya program ini berlaku pada 2020 (CNNIndonesia.com.,15/11/2019).

Lebih lanjut dijelaskan alasan pemerintah mewajibkan calon pasangan suami istri memiliki sertifikat pranikah sebelum melangsungkan pernikahan adalah untuk menekan angka perceraian, mengatasi angka stunting dan meningkatakan kesehatan keluarga. Program ini akan melibatkan beberapa kementerian, antara lain Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. (CNNIndonesia.com, Kamis, 14/11/2019).

Namun, wacana ini kemudian menuai kontroversi di tengah masyarakat. Ada yang mendukung dengan alasan konseling diperlukan sebagai bekal bagi calon pasangan suami istri agar siap menuju jenjang pernikahan. Sementara yang menolak menganggap akan mempersulit prosedur pernikahan jika sertifikat pranikah ini dijadikan syarat layak-tidaknya seseorang menikah.  

Dengan mencermati alasan di atas, bisa dikatakan ini adalah upaya pemerintah untuk menjaga ketahanan keluarga. Namun efektifitasnya tampaknya perlu ditinjau kembali. 

Menurut psikolog keluarga, Monica Sulistyawati, tidak ada jaminan bahwa sesi konseling pranikah dapat mengurangi potensi perceraian. Sebab yang menilai bahwa penyelesaian konflik rumah tangga selalu kembali ke individu pasangan masing-masing (BBCIndonesia.com,19/11/2019).

Senada dengan itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari PKB, Marwan Dasopang turut menolak wacana sertifikat pranikah. Marwan khawatir program ini bisa jadi ladang korupsi baru. Menurutnya pemerintah jangan menjadikan kegagalan menurunkan angka kemiskinan, stunting, dan tingkat perceraian itu menjadi beban masyarakat melalui sertifikat pranikah ini (Tempo.co, 19/11/2019).

Akar Masalah

Mencermati fakta yang ada, benar bahwa salah satu penyebab perceraian adalah ketidaktahuan suami-istri tentang hak dan kewajiban masing-masing dalam rumah tangga. Hanya saja perceraian bisa disebabkan banyak faktor. Faktanya, tidak sedikit pula suami- istri yang mengetahui hak dan kewajibannya, tetapi melalaikannya. 

Kasus lainnya, pasangan yang belum siap secara mental untuk berumah tangga karena telah hamil duluan dan menikah dijadikan solusi. Karena minimnya ilmu akhirnya berujung pada perceraian. 

Demikian pula terkait permasalahan ekonomi yang berimbas pada kesehatan keluarga. Angka kemiskinan di negeri ini masih besar. Bahkan Asian Development Bank (ADB) melaporkan bahwa 22 juta orang Indonesia masih menderita kelaparan.  Jika makanan sehari-hari saja sulit dipenuhi, apalagi memperhatikan kecukupan gizi untuk anak. Maka tidak mengherankan jika kasus stunting ditemukan di negeri ini.

Di samping itu iklim ekonomi kapitalistik seperti sekarang tidak mendukung kepala rumah tangga untuk mencari lapangan kerja dan mendapat upah yang layak. Jelas hal ini berimbas pada perekonomian keluarga. Sementara harga kebutuhan pokok dan tunjangan kesehatan terus mengalami kenaikan, tentu semakin memberatkan ekonomi keluarga.  

Sejatinya banyaknya kasus stunting, rendahnya tingkat ekonomi rumah tangga, hingga tingginya angka perceraian bukan hanya karena kurangnya ilmu sebelum menikah. Tetapi lebih disebabkan karena persoalan sistemik. Maka solusi yang diberikan mestinya harus menyentuh akar penyebab persoalan tersebut muncul. Bukan sekedar menyelesaikan apa yang tampak di permukaan saja.

Jika ditelusuri, rentannya ketahanan keluarga lebih disebabkan oleh sistem kehidupan negeri ini yang berkiblat kepada Barat. Kebebasan atau liberalisme memicu terjadi masalah sosial dan juga ekonomi. Akibatnya perselingkuhan, media berkonten pornografi-pornoaksi, pergaulan bebas, marak terjadi. Begitu pula dengan penguasaan pasar oleh para kapitalis yang memicu persaingan antara kaya dan miskin. Inilah virus-virus yang menyerang ketahanan keluarga.

Maka, ketahanan keluarga tak cukup dengan membekali pengetahuan dan keterampilan pada individu semata. Butuh daya dukung negara. Negara harus hadir sebagai penyokong keluarga. Sebab mengandalkan kemampuan individu bertahan sendiri tanpa ditunjang oleh sistem ekonomi dan sosial yang tepat hanya akan seperti menegakkan benang basah.   

Butuh Peran Negara

Keluarga adalah unit terkecil dari sebuah negara. Karenanya negara mesti hadir sebagai pelindung keluarga. Terlebih, negaralah yang memiliki seluruh instrumen untuk menguatkan keluarga melalui aturan yang diterapkannya.

Islam dengan kesempurnaaan ajarannya, telah memiliki aturan yang melibatkan individu, masyarakat dan negara. Masing-masing memiliki kewajiban sesuai dengan porsinya.

Pertama, pada tataran individu. Islam memerintahkan agar setiap muslim bertakwa. Ketakwaan inilah yang akan menjadi self control. Individu yang bertakwa tentu akan taat kepada aturan Allah SWT.  Ketakwaan dijadikan pondasi rumah tangga. 

Allah SWT telah mengingatkan para suami sebagai kepala keluarga agar menjaga keluarganya dari api neraka (QS. AtTahrim: 6).

Sehingga kepala rumah tangga yang bertakwa pasti akan berusaha menjaga anggota keluarganya dari murka Allah SWT dengan mendidik istri dan anaknya untuk senantiasa taat pada perintah dan laranganNya.      

Kedua, peran masyarakat. Ketika anggota masyarakat taat, tentu tidak akan membiarkan kemaksiatan berkembang. Dengan pandangan yang sama tentang mana yang baik dan buruk,  mereka akan menjadi social control yang kuat. Aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat. Saling mengingatkan dalam kebaikan dan tolong menolong dengan landasan ukhuwah atau persaudaraan. 

Kondisi masyarakat yang diliputi ketakwaan jelas turut berperan dalam menguatkan ketahanan keluarga. Tentu akan berbeda dengan kondisi masyarakat yang cuek dan individualis
Ketiga, peran negara. 

Kedua komponen di atas tidak cukup menjaga ketahanan keluarga tanpa peran negara. Sebab, negaralah yang paling bertanggung jawab terhadap kehidupan rakyatnya. Karenanya, kepala negara wajib menerapkan aturan yang baik yang terintegrasi untuk menanamkan ketakwaan kolektif, iklim ekonomi yang kondusif bagi pencari nafkah keluarga, jaminan kesehatan berkualitas dan gratis serta mengontrol media agar steril dari nilai liberal. Tidak hanya itu, negara akan memberlakukan sanksi tegas kepada para pelaku kemaksiatan sesuai syariat Islam.

Ketika negara terlibat dengan maksimal dalam mengurusi rakyat, hal-hal yang berpeluang mengganggu ketahanan keluarga dapat dicegah. Hal-hal yang memicu perceraian bisa diminimalisir bila aturan tegas diterapkan, kontrol masyarakat berfungsi dan ada ketakwaan individu. Demikian pula dengan masalah stunting dan ekonomi keluarga, akan terselesaikan ketika negara berpihak pada rakyat dengan menciptakan lapangan pekerjaan, distribusi pangan yang merata termasuk penyediaan sarana kesehatan yang berkualitas. Semua ini dapat terwujud ketika aturan Islam diterapkan secara menyeluruh. Wallahua’lam[]

Post a Comment

Previous Post Next Post