Pemimpin Islam, Pelindung Sejati Muslim yang Terzalimi



Oleh : Mukhy Ummu Ibrahim 
(Member Akademi Menulis Kreatif)

Apa yang menimpa kaum muslim Uyghur di provinsi Xinjiang, Cina, kian menarik perhatian dunia. Berbagai aksi dan ekspresi kepedulian pun mengemuka. Salah satu yang menjadi sorotan di antaranya adalah dukungan yang disampaikan seorang pesepak bola muslim yang kini bermain di salah satu klub sepak bola besar di Inggris, Arsenal, Mezut Oziel. 

Dalam sebuah unggahan di akun twitter dan instagramnya, Oziel mengatakan bahwa (di Cina) Alquran dibakar, masjid ditutup, sekolah-sekolah teologi Islam dan madrasah dilarang, cendekiawan agama dibunuh satu per satu. Sayangnya, meski demikian, umat Islam tetap diam. Demikian disampaikan pria yang juga berdarah Turki tersebut.

Apa yang dikatakan Oziel sejatinya menjadi tamparan bagi dunia. Khususnya bagi umat Islam. Karena temuan-temuan baru memang kian membuktikan bahwa jutaan warga muslim Uyghur tengah berada dalam penahanan. 

Kelompok-kelompok hak asasi manusia melaporkan bahwa otoritas Cina telah menahan lebih dari satu juta warga etnis Uyghur di kamp-kamp dengan keamanan tinggi di Xinjiang. Kamp-kamp tersebut adalah kamp konsentrasi yang bertujuan untuk mencuci otak mereka. Mereka tidak diizinkan untuk beribadah dan dipaksa untuk meninggalkan agamanya. Bahkan, dengan paksaan yang keras dan siksaan yang hebat.

Fakta-fakta ini diperoleh dari banyaknya kesaksian yang diberikan oleh para mantan tahanan. Tidak hanya itu, baru-baru ini dokumen rahasia pemerintah Cina yang bocor pun menambah bukti tentang sistem kamp konsentrasi yang menampung lebih dari satu juta muslim Uyghur itu.

Namun, pemerintah Cina berusaha dengan keras untuk mengelak dari tuduhan-tuduhan itu. Mereka berusaha meyakinkan publik dunia bahwa semua baik-baik saja. Apa yang disebut-sebut sebagai kamp konsentrasi sebenarnya adalah kamp re-edukasi yang bertujuan mencegah terjadinya tindak kriminal dan terorisme. Tempat itu juga merupakan lembaga vokasi yang membekali etnis Uyghur dengan keterampilan (skill) untuk menjadi warga yang lebih berkontribusi bagi negara nantinya.

Pemerintah Cina pun mengundang berbagai kalangan untuk datang dan melihat langsung kamp yang ada di Xinjiang. Mulai dari pemuka agama Islam, wartawan, hingga akademisi. Indonesia pun menjadi salah satu yang dibidik untuk dapat diyakinkan bahwa warga etnis Uyghur baik-baik saja. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia, sikap pemerintah kita memang tengah menjadi sorotan. Berhasil meyakinkan publik Indonesia berarti akan berpengaruh besar pula bagi penggiringan opini Cina di seluruh dunia.

Tidak hanya memberikan tur kunjungan gratis ke Xinjiang, dalam laporan the Wall Street Journal (WSJ) yang ditulis Rabu (11/12), juga memaparkan bahwa China mulai menggelontorkan sejumlah bantuan dan donasi terhadap ormas-ormas Islam di Indonesia tersebut setelah isu Uyghur kembali mencuat ke publik pada 2018 lalu.

Hal ini makin dikuatkan oleh pernyataan beberapa tokoh ormas yang berkunjung ke Xinjiang. Yang cenderung mendukung pemerintah Cina dan ikut mencoba meyakinkan publik bahwa tidak terjadi hal mengerikan apapun di Xinjiang.

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj misalnya, saat menyambut pemberian santunan Duta Besar China untuk Indonesia, Xie Feng, bagi 500 anak yatim piatu dan santri NU, Said menghimbau kepada umat Islam agar tidak mengganggu politik Cina. Cukup menikmati kebebasan beribadah yang diberikan pemerintah Cina. Tak perlu mengusik perpolitikan dan urusan dalam negeri Cina.

Pernyataan senada juga disampaikan mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla setahun silam. Bahwa tentu saja pemerintah Indonesia menolak atau ingin mencegah pelanggaran hak asasi manusia. Akan tetapi, pemerintah Indonesia tidak ingin campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain. (tempo.co, 24/12/2018)

Sikap pemerintah Indonesia ini memang amat disayangkan. Dengan banyaknya bukti-bukti, pengakuan saksi dan laporan dari sejumlah organisasi pegiat HAM, fakta terjadinya penahanan bahkan penganiayaan dan pembunuhan etnis muslim di Cina memang benar-benar terjadi. Bahkan disinyalir Cina pun telah melakukan praktek pemanenan organ secara ilegal pada para tahanannya.

Amerika Serikat dan negara-negara Eropa pun telah lantang menyampaikan penentangannya. Namun, negeri-negeri muslim justru banyak yang memilih untuk bungkam dan mengambil 'posisi aman'. Kekhawatiran akan dampak ekonomi yang besar sukses menciutkan nyali mereka dan membuat mereka tak berani bersuara.

Kita pun mengetahui bahwa Cina memiliki andil besar dalam investasi-investasi di berbagai negeri muslim. Beijing telah banyak berinvestasi di industri minyak dan gas milik negara Arab Saudi dan Irak, serta menjanjikan investasi berkelanjutan di seluruh Asia, Afrika, dan Timur Tengah. Di Malaysia dan Indonesia sendiri jumlah investasinya mencapai AU$121,6 miliar. (tempo.co, 24/12/2018)

Selain karena alasan investasi, sikap Cina yang tidak ikut campur urusan dalam negara lain pun seolah menuntut sikap sebaliknya. Cina menuntut negara-negara lain untuk dapat bersikap sama, menjauhi campur tangan urusan dalam negeri Cina. Pemerintah Indonesia sendiri juga menghindari intervensi karena mereka pun tidak ingin masalah dalam negeri kita dibawa ke ranah dunia. Permasalahan Papua misalnya.

Sikap pengecut pemerintah kita sejatinya menunjukkan betapa telah tergadainya kedaulatan kita. Ini pun menunjukkan bagaimana neoimperialisme telah membuat negara bertekuk lutut demi kepentingan-kepentingan ekonomi. Sekularisme yang diemban di negeri ini memang membuatnya lebih berorientasi pada materi duniawi. Dan mengabaikan penderitaan yang tengah dialami saudara sendiri.

Pemerintah semestinya mencontoh ketegasan Gambia yang berani bersikap tegas saat ada saudara seiman yang teraniaya. Negara kecil di benua Afrika yang juga berpenduduk mayoritas muslim itu menggugat Myanmar atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya terhadap etnis minoritas Rohingya. Gambia menyeret Myanmar ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) untuk diadili. (cnnindonesia.com, 13/12/2019)

Sungguh miris, saat Gambia yang berada jauh di benua Afrika justru menjadi yang terdepan membela etnis Rohingya yang berada di Asia. Ini tentu menjadi catatan negatif bagi negara-negara tetangga termasuk Indonesia yang tidak banyak berbuat selain hanya mengecam saja. 

Jika pada Myanmar saja pemerintah kita tak mampu bersikap tegas, apalagi di hadapan Cina. Yang nyata-nyata telah berhasil menancapkan pengaruhnya di Indonesia melalui utang dan proyek raksasanya. Kita tahu bahwa Cina pun memilki proyek One Belt One Road yang menjadi jalan untuk mengukuhkan hegemoni negaranya di Asia.

Semenjak keruntuhan Daulah Islam di Turki tahun 1924, wilayah kaum muslim memang telah terpecah-pecah. Menyisakan negeri-negeri muslim lemah di bawah pengaruh penjajah. Meski mereka dikatakan telah merdeka, nyatanya mereka tidak berdaulat. Sebab, cengkeraman neoimperialisme membuatnya tunduk dan patuh pada para adidaya. 

Sebab lain lemahnya negeri-negeri muslim adalah kondisi mereka yang kini tersekat-sekat dalam negara-negara bangsa. Mereka pun sibuk dengan urusan masing-masing, terkungkung dengan nasionalisme hingga kehilangan semangat ukhuwah Islamiyah. Kepedulian akan nasib sesama muslim yang teraniaya di negeri-negeri lain pun nyaris menguap tak bersisa. 

Padahal kaum muslim satu dengan yang lain itu ibarat satu tubuh. Di saat salah satu bagiannya merasakan sakit, otomatis bagian tubuh yang lain pun akan merasakannya. Rasulullah Saw bersabda, "Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling kasih, saling menyayangi dan saling cinta adalah seperti sebuah tubuh, jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakan sulit tidur dan demam." (Shahih Muslim No.4685)

Oleh karena itu, sudah seharusnya kaum muslim di Indonesia termasuk juga pemerintahnya, dapat ikut merasakan dan berempati pada derita kaum muslim di berbagai belahan dunia yang lain. Allah Swt bahkan menjadikan rasa kepedulian ini sebagai ukuran keimanan.

"Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai saudaranya seperti ia cintai untuk dirinya,” (HR. Bukhari Muslim)

Sayangnya, dengan kondisi kaum muslim pasca runtuhnya Daulah Islam, yang tidak memiliki pemimpin yang mengurusi urusan mereka, umat Islam bak anak ayam yang kehilangan induknya. Mudah dipecah belah, lemah dan nyaris kehilangan ukhuwah Islamiyah.

Ya, pemimpin kaum muslim yang memimpin Daulah Islam memang menjadi pelindung dan perisai bagi umatnya.

"Sesungguhnya seorang imam adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung...“ (HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ahmad).

Maka, ketiadaan seorang pemimpin menjadikan kaum muslim di seluruh dunia, terutama yang menjadi kalangan minoritas di negerinya, sebagai target mudah tindak aniaya hingga menjadi objek genosida. Seperti halnya yang tengah terjadi pada etnis Uyghur dan Rohingya. Kita pun tak pernah lena dari penjajahan Israel yang mengungkung Palestina berpuluh tahun lamanya. 

Pemimpin negeri muslim saat ini hanya mampu sebatas melontarkan kecaman yang nyaris tanpa tindakan nyata. Bahkan untuk kasus Uyghur, pemerintah kita benar-benar tak berkutik di bawah hegemoni Cina. Mereka dan beberapa golongan kaum muslim lainnya justru termakan dengan narasi tipu daya Cina yang bersikukuh menyatakan etnis Uyghur di Xinjiang baik-baik saja. Padahal fakta-fakta telah menunjukkan dengan gamblang apa yang terjadi sebenarnya.

Memang berharap pada pemerintah 'boneka' yang tunduk pada Cina pasti akan berujung kecewa. Jangankan berupaya membebaskan saudaranya yang teraniaya. Yang ada justru mereka ikut menjadi pembela rezim zalim Cina.

Memang hanya Daulah Islamlah yang akan memiliki kekuatan dan kedaulatan untuk melenyapkan bahaya dari umatnya. Pemimpinnya, sang Khalifah, akan menjadi perisai yang melindungi siapa pun yang berada di bawah tanggungjawabnya. 

Inilah satu-satunya solusi sejati yang akan dapat membebaskan setiap muslim yang tertindas. Dan memutus mata rantai penindasan pada kaum muslim di seluruh dunia. Dan mengembalikan kemuliaan dan kejayaan Islam sebagai pemimpin peradaban. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post