Pemberdayaan Perempuan, Narasi Jebakan Kapitalisasi Global

Oleh : Nurhikmah, SKM.,M.Kes 
(IRT dan Pemerhati Kesehatan)

Entrepreneurs Organization (EO) menyelenggarakan Enterpreneurs Organization Womenpreneur Award (EOWA) 2020. Program ini digelar untuk memberikan penghargaan kepada para wirausaha perempuan atas prestasi dan pencapaian mereka selama ini. Para EOWA yakin bahwa acara ini dapat memberikan dampak yang positif dan diikuti seluas-luasnya dari kalangan entrepreneur wanita khususnya dari wilayah Indonesia Timur. 

Pendaftaran peserta sudah dibuka hingga 30 desember 2019 (www.eowamenpreneur.com) dan pengumuman pemenang akan dilakukan Maret 2020. Diharapkan melalui ajang ini dapat menginspirasi perempuan Indonesia lainnya untuk terus berprestasi dibidangnya masing-masing, terutama dalam hal berwiraswasta, dalam pembangunan Indonesia. 

“EO Wamenpreneurs Award (EOWA) ini juga merupakan bentuk dukungan EO terhadap pemberdayaan wanita dalam kesetaraan Gender (gender quality) sesuai dalam Sustainable Development Goals ke-5 yang merupakan program dari United Nations, “Kata Caroline Gondokusumo, President of Enterpreneurs’ Organization Indonesia East dalam rilis yang diterima, Tirto, Senin (16/12/2019)

Propoganda Barat Di Balik Program Pemberdayaan Perempuan 
Pemberdayaan sebagai istilah dan agenda politik dengan cepat diadopsi dalam wacana proyek emansipatoris. Kaum Feminis di Amerika Serikat dan di tempat lain menggunakan pemberdayaan untuk menggambarkan refleksi penyebab penindasan kaum perempuan. Gagasan tentang pemberdayaan dikaitkan dengan pembangunan internasional hingga akhir 1980-an, ketika gerakan feminis menggunakannya untuk mengkritik perempuan dengan menggunakan pendekatan pembangunan. Kaum Feminis lebih menggunakan pendekatan wacana kurangnya integrasi perempuan dalam proses pembangunan, serta masalah pengucilan perempuan berdasarkan jenis kelamin dan karakteristiknya di masyarakat hingga adanya ketidaksetaraan keterlibatan perempuan dan  pria di sektor publik. 

Kaum Feminis menekankan nilai intrinsik dari pemberdayaan perempuan dankontribusi mendasarnya pada perjuangan politik untuk kesetaraan gender dan bentuk keadilan sosial lainnya. Berbagai upaya dilakukan oleh kaum feminis untuk mengarusutamakan kesetaraan gender dengan menyelinap ke dalam isu pembangunan. Mereka membuat argumentasi bahwa perkembangan ekonomi tidak lepas dari partisipasi kaum perempuan dalam pasar tenaga kerja, sehingga kaum perempuan bekerja untukpembangunan, bukan pembangunan yang bekerja untuk perempuan. Selain itu, mereka berargumentasi bahwa kebijakan bantuan danprogram pemberdayaan selalu mengacu pada perempuan, baik secara langsung  maupun tidak langsung, namun masihterjadi pengabaiandalam pengembangan kekuatan kemandirian perempuan, sehingga hal ini membatasi efektivitas bantuan dana danpemberdayaan perempuan yang telah ada. Pemberdayaan perempuan merupakan cabang di bidang ekonomi feminis.Mulai dari LSM internasional,lembaga-lembaga pemerintah hinggalembaga multilateral, menjadikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuansebagai prioritas utama dalam bidang pembangunan mereka.

Misi dari gerakan kaum feminis tidak lepas dari isu seputar hak-hak reproduksi dan hak-hak LGBT. Pergerakan masif kaum feminis tidak hanya ditopang oleh jaringan internasional, namun mendapat sokongan dana dari lembaga-lembaga donor dana yang mendukung agenda-agenda feminis diberbagai negara. Pergerakan Women’s March di Indonesia ditopang oleh berbagai organisasi sepertI Amnesty Internasional Indonesia (Lembaga Internasional yang konsen di bidang HAM), Arus pelangi (Organisasi pendukung LGBT), Institusi Perempuan (Organisasi pejuang kesetaraan gender), LBH APIK (Lembaga Bantuan hukum yang berfokus pada isu gender).

Disamping itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bekerjasama dengan Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) mewujudkan kabupaten/kota layak anak yang menjamin perlindungan anak. Wahana Visi Indonesia (WVI) sebagai Yayasan Kemanusiaan Kristen yang tergabung dalam konsorsium Humanitarian Forum Indonesia (HFI) yang terdiri dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, PKPU, Habitat For Humanity, Karina, Yakkum Emergency Unit, Yayasan Tanggul Bencana Indonesia, Perhimpunan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat, Yayasan Oikumene, Church World Service, Rebana Indonesia, dan WVI.

Beberapa program Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam rangka penguatan ide kesetaraan gender telah di laksanakan di Indonesia diantaranya :
Dalam bidang pendidikan. Dengan pembentukan model pusat pemberdayaan perempuan melalui program sekolah perempuan dan technical college. Sekolah perempuan dimaksudkan untuk memperkuat kemampuan perempuan akar rumput agar dapat berpartisipasi di dalam forum pengembilan keputusan, melakukan advokasi untuk perubahan kebijakan dan menggalang dukungan untuk tercapainya advokasi. Pengembangan sekolah perempuan ini merupakan bagian dari program atau gerakan gender watch. 

Dalam bidang kesehatan. Untuk mengakomodasi program aksi Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) tahun 1994 yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan INPRES Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Hal ini mempunyai makna bahwa program KB juga dituntut untuk memperhatikan dan mengintegrasikan aspek gender dalam program dan kegiatan secara berkesinambungan, mulai dari perencanaan sampai dengan pemantauan dan evaluasi. Dikutip dalam sultrakini.com menurut Kepala Bidang Advokasi, Pergerakkan, dan Informasi BKKBN SultraJumlah kampung KB skala Provinsi Sultra yang didata BKKBN sebanyak 240 kampung KB hingga bulan Juni 2018. Dalam perencanaannya secara nasional, pada 2016 ditargetkan terbentuk satu kampung KB setiap kabupaten/kota. Tahun 2017, di tingkat kecamatan terbentuk satu kampung KB. Tahun 2018, terbentuk satu kampung KB di 50 persen desa/kelurahan sangat tertinggal. Tahun 2019, terbentuk satu kampung KB di setiap desa/kelurahan sangat tertinggal.

Dalam bidang politik. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan Penandatanganan Kesepakatan Bersama (MoU) merupakan wujud dari komitmen Kemen PPPA dan KPU untuk mendukung peningkatan partisipasi perempuan pada Pemilihan Umum dan Pilkada. UU No. 2 Tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. Angka ini didapat berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30% memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik. Seirama dengan UU No. 10 Tahun 2008 mewajibkan parpol untuk menyertakan 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus dipenuhi parpol agar dapat ikut serta dalam Pemilu. 

Sesungguhnya perlu disadari bahwa segala bentuk permasalahn yang menhimpit kaum perempuan seperti kemiskinan, pelecehan, penindasan, dan eksploitasi merupakan dampak dari penerapan sistem kapitalisme. Dalam perspektif kapitalisme sendiri, wanita dipandang dalam aspek materi, yaitu target terselubung untuk menjadikan perempuan faktor produksi berharga murah sekaligus menjadi pangsa pasar.Dengan kata lain, sebagai roda perekonomian industri kapitalisme yang perlahan menjauhkan perempuan dari peran politik dan strategisnya sebagai ibu generasi pencetak peradaban Islam. Jika seorang ibu sudah kehilangan fungsi utamanya maka sudah bisa dibuktikan akan membawa kehancuran pada sebuah bangsa karena akan berujung pada kerugian social cost seperti split personality bagi generasi, narkoba merajalela, free sex menjadi life style, kriminalitas meningkat karena laki-laki pengangguran, premanisme, syndrom cinderella compleks pada perempuan.Akibat gerakan feminisme dan kesetaraan gender ini  telah menampakkan kerusakan.

Pemberdayaan Perempuan Dalam Islam
Dalam pandangan Islam, perempuan dilarang dijadikan sebagai mesin atau komoditas ekonomi. Tidak pula patut mengeksploitasi fisik, finansial, apalagi kehormatan mereka atas nama pemberdayaan ekonomi. Dengan demikian, perlu disadari bahwa pemberdayaan perempuan dalam kumparan kapitalisme bersifat eksploitasi.Islam memuliakan perempuan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang wajib dihormati, dijaga, diberi jaminan perlindungan dari segala modus eksploitasi pihak manapun dan menetapkan kedudukan laki-laki dan perempuan secara adil dan sama dalam kapasitasnya sebagai hamba, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surat At Taubah: 71: “Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan tat kepada Allah dan RasulNya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 

Secara garis besar peran hakiki perempuan terdapat pada dua ranah, yaitu ranah domestik (keluarga/rumah tangga) dan ranah publik. Dalam ranah domestik, peran utama perempuan adalah sebagai ummu wa rabatul ‘bait (ibu manajer rumah tangga) dan ummu ajyal (ibu pencetak generasi). Kesuksesan seorang perempuan di sektor domestik ditandai dengan sempurnanya ia berperan sebagai ummun wa robbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Ia menjadi istri sholihah bagi suaminya yang juga sholeh. Ia menjadi pendidik anak-anaknya, ia pun menjadi pengatur urusan rumah tanggannya. Dalam ranah publik, Islam pun menetapkan bahwa perempuan harus melakukan interaksi dengan masyarakat dalam rangka berdakwah dan mengawal kebijakan pemerintah. Islam juga membolehkan wanita untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan sistem Islam, menyampaikan pendapatnya, atau dia menjadi wakil orang lain untuk menyampaikan pendapat. Seperti yang terjadi pada tahun ke -13 pasca kenabian. Rasulullah kedatangan 73 orang pria dan dua orang perempuan (Ummu ‘Ammarah binti kalb dari Bani Mazin, dan Asma’ binti Amr ibn ‘Adi  dari Bani Salamah) untuk membaiat beliau sebagai pemimpin negara.

Islam membolehkan perempuan bekerja di luar rumah dalam rangka mendukung pembangunan masyarakat, misalnya sebagai tenaga pendidik, tenaga kesehatan, sebagai manajer atau direktur sebuah perusahaan, pemilik supermarket dan sebagainya , namun harus mermperhatikan bahwa aktivitasnya di luar rumah tidak melalaikan tugas utama sebagai ibu juga istri  dan memperhatikan hukum-hukum tertentu. Diantaranya, izin dari wali atau suami ketika hendak keluar rumah, berjilbab, tidak melakukan khalwat ataupun tabarruj.Islam juga menempatkan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan sesuai sifat dan karakter khususnya dalam rangka saling mengiringi bukan menyaingi.

Demikanlah Islam memberi panduan pemberdayaan perempuan yang sesuai dengan fitrah perempuan. Tulang rusuk yang diberdayakan selayaknya tulang rusuk, bukan sebagai tulang punggung. Dengan demikian, untuk mewujudkan model pemberdayaan perempuan ini diperlukan Khalifah dan sistem pemerintahan yang menerapkan syariat Islam dalam tatanan bermasyarakat. Wallahu’alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post