Drama di balik Pengangkatan Stafsus Presiden

Oleh : Rina Tresna Sari, S.Pd.i
Praktisi Pendidikan dan Member Akademi Menulis Kreatif

Bagaikan punuk merindukan bulan, itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan harapan memiliki uang Rp51 juta, setiap bulannya bagi rakyat jelata. Bagaimana tidak, uang tersebut sangat besar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari selama setahun, bahkan bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang mewah. Namun apalah daya, bagi orang biasa uang sebesar itu hanya impian semata.

Baru-baru ini ramai diperbincangkan publik mengenai kebijakan presiden Joko Widodo terkait pengangkatan staf khusus presiden. Dari 13 staf khusus, 7 di antaranya adalah kaum milenial. Mereka adalah CEO, founder, dan anak-anak milenial berprestasi dari penjuru negeri, yang diberi gaji Rp51 juta. Dilansir Kompas.com (23/11/2019) besaran gaji yang mereka terima sesuai dengan Perpres No. 114/2015, yakni Rp51 juta. Presiden menambahkan, karena mereka adalah para milenial yang memiliki kesibukan, maka mereka tidak wajib ngantor setiap hari.

Hal ini disorot oleh beberapa politisi. Seperti pakar hukum tata negara Refly Harun menyebutkan bahwa staf khusus Presiden yang dipilih Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya akan membebani anggaran negara yang lebih besar. Hal senada juga disampaikan  Saleh Partaonanan Daulay (Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanah Nasional) yang menyatakan pengangkatan staf khusus itu terlalu gemuk dan tidak efisien. 

Kontroversial pengangkatan stafsus ini bukan hanya karena gaji yang fantastis dengan tufoksi yang masih belum definitif. Mereka diangkat dengan latar belakang partai dan sosok konglomerat penyokong Jokowi pada kampanye pilpres. Maka publik lebih melihat pengangkatan ini sebagai fenomena makin menguatnya politik oligarkhi direzim jilid 2.

Berbeda dengan Islam, dalam Islam penyusunan birokrasi dilakukan agar terhindar dari politik oligarkhi. Semua kebijakan didasarkan pada hukum syara', bukan karena kepentingan individu dan pertimbangan yang lainnya. Hal ini  karena adanya pemimpin adalah semata-mata untuk melayani urusan umat, dengan menerapkan seluruh hukum syara'. 

 Begitupun dalam pengangkatan para pembantu khalifah (wazir), mereka dipilih, diangkat, dan diberhentikan oleh khalifah sesuai kriteria yang telah ditetapkan syara' yang didasarkan pada kompetensi dan keprofesionalan. Wazir diangkat bukan karena orang partai pendukung pemerintahan, orang dekat ataupun karena banyaknya harta.

Meski kewenangan mengangkat dan memberhentikan wazir ada di tangan khalifah, namun Majelis Umat sebagai  representasi umat berhak untuk "merasa tidak senang" terhadap wazir. Pendapat  Majelis Umat dalam hal ini bersifat mengikat, Khalifah pun wajib memberhentikannya seketika. ( al-'Allamah al Qasdhi Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Hukm, hal. 227) Karenanya siapa saja yang hidup di dalamnya akan mendapat kebaikan. kebaikan yang tidak hanya dirasakan  orang- perorangan, tetapi kebaikan yang dirasakan oleh seluruh umat manusia.

Wallahu a'lam bishshowab

Post a Comment

Previous Post Next Post