Ada Apa Di Balik Radikalisme dan Deradikalisasi ?

Oleh : Mahganipatra
Aktivis Muslimah Peduli Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif

Tak pernah ku sangka kau telah berubah
Kau membagi cinta dengan dirinya
Aku yang terluka, sungguh aku kecewa

Entah apa yang merasukimu
Hingga kau tega mengkhianatiku
Yang tulus mencintaimu

Lagu viral "Entah apa yang merasukimu"  layak untuk menggambarkan isu radikalisme yang digulirkan rezim saat ini. Bahaya radikalisme disampaikan oleh para petinggi negeri ini, dari mulai Presiden Joko Widodo, Menteri Agama Fahrul Rozi sampai Menkopolhukam Prof.Mahfud MD. Mereka ramai-ramai bersuara nyaring mengangkat isu radikalisme sebagai program penting dan mendesak dari program lainnya.
Bahkan tidak  cukup sampai di situ, upaya deradikalisasi langsung di goalkan dalam bentuk kebijakan rezim dan jajarannya. Salah satu langkahnya adalah  akan merombak 155 buku agama yang disinyalir berkaitan dengan radikalisme. 

"Dulu buku agama di sekolah kan ditulis oleh Kemendikbud. Undang-Undang (Sistem) Perbukuan memberikan amanat kepada Kementerian Agama yang melakukan penulisan buku. Karena Kementerian Agama yang (ditugaskan) menulis, maka akan ditulis ulang," kata Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Komaruddin Amin, dalam sebuah diskusi di Kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika Jakarta. Demikian dikutip dari Antara, Selasa (12/11).

Kamaruddin mengatakan, peluncuran buku agama yang ditulis ulang Kementerian Agama untuk semua jenjang pendidikan mulai dari SD hingga SMA itu akan dilakukan langsung oleh Menteri Agama Fachrul Razi pada akhir Desember.

"Ada 155 buku yang sedang kami siapkan. Insya Allah akhir tahun ini bisa diluncurkan oleh Menteri Agama," kata Kamaruddin.

Sementara itu, Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan sudah ada tim untuk merombak buku pelajaran agama Islam. Sementara mengenai penghapusan sejarah khilafah masih terus dikaji.

"Saya secara teknis belum sampai ya. Tapi memang ada tim yang sudah membahas itu untuk melihat mana  materi yang perlu dihapus mana yang nggak. Tapi secara teknis dengan kelompok kerja," ujar Fachrul di JCC Senayan, Jakarta Selatan, Selasa 12 November 2019.

Rencananya perombakan buku agama dimulai dari literatur yang digunakan di kelas I SD hingga XII SMA. Masalah isi materi yang akan menggantikan pembahasan khilafah, kata Fachrul masih dalam pembahasan.
Fachrul Razi mengatakan dia tidak bekerja sendiri dalam masalah perombakan buku agama melainkan ia bekerja sama dengan Pokja (Kelompok Kerja). Menghilangkan materi pelajaran khilafah dalam pelajaran agama Islam, Fachrul mengatakan akan mempertimbangkan menambah materi pelajaran agama yang lain.

Kemudian isu ini kian bergulir dan diamini oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dengan terbitnya kesepakatan bersama 12 Menteri dan Lembaga terkait portal aduan ASN yang terpapar radikalisme.

Dilansir  dari REPUBLIKA.CO.ID Jakarta, (Selasa,26/11/2019), Moeldoko mengungkapkan tujuan penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 Menteri tentang Penanganan Radikalisme pada ASN dan PP Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan. Menurut Moeldoko, aturan itu hanya sekadar panduan.

Dalam komentarnya di kantor KSP Jakarta, beliau menegaskan bahwa, "Sebenarnya lebih ke sebuah panduan bahwa pendekatan untuk deradikalisasi itu pendekatan yang komprehensif, tidak hanya pendekatan keamanan, pendekatan komprehensif itu bisa melalui pendidikan edukasi, perbaikan infrastruktur sosialnya, infrastruktur pendidikan, perbaikan dan lain-lain."  Jakarta, Selasa(26/11/2019).

SKB tersebut diterbitkan pada 12 November 2019 bersamaan dengan peluncuran portal aduanasn.id. Para menteri yang terlibat dalam SKB ini adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Agama Fachrul Razi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate.


Isu Radikalisme, Upaya Rezim Menutupi Kegagalan

Sebenarnya, benarkah 'Radikalisme dan Deradikalisasi' mengancam negeri ini?
Mengingat banyak persoalan lain yang lebih 'urgent' dan berbahaya di bandingkan dengan isu radikalisme dan deradikalisasi. Banyak pula media pembanding yang  memberitakan tentang kondisi ekonomi Indonesia yang kian terpuruk yang seharusnya menjadi agenda lebih penting yang diurus oleh pemerintah, misalnya tentang kondisi masyarakat yang mengalami  kelaparan dan stunting.

Dilansir dari Jakarta, CNN Indonesia, (6/11/2019) -- Asian Development Bank (ADB) melaporkan 22 juta orang Indonesia masih menderita kelaparan. ADB bersama International Food Policy Research Institute (IFPRI) mengungkapkan hal itu dalam laporan bertajuk 'Policies to Support Investment Requirements of Indonesia's Food and Agriculture Development During 2020-2045'.

Kelaparan yang diderita 22 juta orang tersebut, atau 90 persen dari jumlah orang miskin Indonesia versi Badan Pusat Statistik (BPS) yang sebanyak 25,14 juta orang disebabkan masalah di sektor pertanian, seperti upah buruh tani yang rendah dan produktivitas yang juga rendah.

Benarkah karena upah buruh dan produktivitas pertanian yang rendah penyebab tingginya penderita kelaparan?

ADB mengatakan bahwa "sektor pertanian di Indonesia telah berkembang secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir." 
Kepada DW Indonesia (detiknews, Kamis 7 November 2019), Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Prof. Dwi Andreas Santosa, mengatakan menurunnya angka penderita kelaparan berkorelasi dengan membaiknya indeks ketahanan pangan Indonesia, meskipun Andreas juga mempertanyakan dasar besaran angka yang dirilis laporan tersebut.

Menurut Andreas, ada empat komponen yang berperan dalam meningkatnya ketahanan pangan di Indonesia. Komponen tersebut adalah ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, keamanan pangan serta ketahanan dan sumber daya alam.
Lebih lanjut Andreas mengatakan penting bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan kesejahteraan petani.

"Sampai saat ini saya tidak melihat upaya atau suatu program yang keras dari pemerintah untuk mensejahterakan petani. Pemerintah terlalu fokus terhadap peningkatan produksi tetapi lupa kesejahteraan petani. Itu kunci terbesar," jelasnya.

Ternyata, selain kelaparan tingkat pengangguran di Indonesia juga masih tinggi. Diantara gencarnya program pembangunan infrastruktur yang terus berkelanjutan tidak mampu menyelesaikan problem pengangguran yang terus meningkat sehingga berimbas pada maraknya kasus-kasus kriminal yang terjadi akibat dari kondisi ekonomi yang terus merosot di tengah masyarakat. Hal ini memicu timbulnya persoalan-persoalan sosial di tengah masyarakat. Jadi sejatinya isu radikalisme ini sengaja di goreng semata-mata untuk menutupi kegagalan rezim dalam mengurus dan mensejahterakan masyarakat.

Alih-alih menyelesaikan problem yang ada, rezim justru sibuk mempropagandakan radikalisme sebagai bahaya yang mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila. Rakyat terus di pecah belah untuk saling mencurigai dengan upaya-upaya deradikalisasi yang menyerang dan menyudutkan Islam sebagai ajaran radikal.
Benarkah Islam adalah ajaran radikal yang berbahaya dan memiliki potensi menghancurkan NKRI ?

Ada perbedaan mendasar antara istilah radikalisme dengan radikal. Radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan dan pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politik. Sementara radikal  berasal dari bahasa latin, yakni 'radix' yang berarti 'akar'. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata radikal memiliki arti mendasar (sampai pada hal prinsif); sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); maju dalam berpikir dan bertindak. Secara bahasa Islam adalah ajaran radikal. Sebab, Islam terdiri dari akidah ( yang sangat mendasar) dan juga syariah ( sebagai implementasi dari akidah).

Akidah Islam memberikan jawaban yang komprehensif dari pertanyaan mendasar tentang kehidupan, yaitu "Dari mana kita berasal, untuk apa  hidup kita dan  setelah hidup kita mau kemana?"
Islam mampu menjawab dengan lugas, tegas, mampu memuaskan akal serta menentramkan jiwa. Bahwa manusia diciptakan oleh Allah Swt dengan misi besar menjadi khalifah di muka bumi. Tujuan penciptaannya semata-mata agar manusia hanya beriman dan beribadah kepada Allah Swt dengan ketaatan yang sempurna.
Akidah Islam  mengajarkan serta membentuk ketakwaan pada setiap pribadi individu muslim. Sehingga dari ketakwaan ini akan lahir kesadaran akan hubungannya dengan Allah Swt, dan bahwa Allah Swt akan menghisab semua perbuatannya pada hari kiamat. Keyakinan dalam Islam memberikan pemahaman ada surga dan neraka tempat kembalinya manusia sebagai konsekuensi dari perbuatan manusia selama hidup di dunia. Maka kesadaran ini akan menuntun setiap individu muslim untuk terikat kepada hukum-hukum syariat. Sebab, ia telah meyakini bahwa hari perhitungan pasti akan datang.
Seorang muslim meyakini firman Allah Swt yang berbunyi:

فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَ ه(٧) وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ(٨)

Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya,
dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.

(Q.S Az-Zalzalah (99) : 7- 8)

Demikianlah, sejatinya isu radikalisme yang dipropagandakan rezim ke tengah rakyat hanya untuk mengalihkan umat dari kondisi yang sebenarnya. Yaitu rakyat disibukkan dengan isu tentang radikalisme. Kemudian rakyat merasa takut dengan upaya deradikalisasi oleh rezim yang terus berusaha memadamkan cahaya Islam. Sementara disaat yang lain pihak swasta semakin mencengkram negeri ini dengan penguasaan SDA atas nama investasi. Karena, sesungguhnya isu radikalisme ini tidak terjadi dengan sendirinya. Namun merupakan grand desain global negara adidaya AS dan sekutunya. Mereka membuat strategi deradikalisme dengan tujuan:

1. Membuat citra buruk Islam dengan cara mencegah penyebaran Islam politik yang dapat menghantarkan kepada kebangkitan Islam.
2. Saat melakukan perlawanan hindarkan kesan bahwa 'AS' menentang Islam.
3. Mencegah pemikiran Islam negara di adopsi umat dengan cara menyibukkan umat dengan persoalan ekonomi, sosial, dan gerakan politik sekuler yang memperjuangkan demokrasi di negeri-negeri muslim.

Maka untuk menghadang  grand desain Barat yang menggunakan propaganda radikalisme oleh rezim saat ini, umat harus melawan. Umat harus mewujudkan persatuan dan kesatuan yang solid. Umat jangan mau dipecah belah dengan isu radikalisme_radikalisasi_dan Islam moderat. Umat Islam harus memiliki kesadaran politik Islam. Yaitu kesadaran untuk mewujudkan kepemimpinan yang satu yakni khilafah ala manhaju Nubuwwah yang akan mempersatukan seluruh kaum muslimin di dunia dengan berhukum kepada syari'at Allah Swt sang pemilik dan pencipta semesta.  Khilafah akan membebaskan kaum muslimin dari kezaliman Barat dan sekutunya serta membebasnya dari penguasa ruwaibidhah yang mengurus mereka.

Wallahu a'lam bi ash shawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post