Peran Ibu Membentengi Hoaks dalam Keluarga

Oleh : Tawati 
(Muslimah Revowriter Majalengka)

Perempuan harus menjadi garda terdepan mencegah berita bohong atau hoaks karena perempuan merupakan sumber informasi dalam keluarga. Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Barat, Atalia Praratya Kamil, menyatakan hal itu saat memberikan kuliah umum ‘Hoaks, Sosial Media, dan Perempuan dalam Revolusi Industri 4.0’ di Universitas Widyatama, Kota Bandung, Senin, 30 September 2019.

Menurut Atalia, perempuan, terutama ibu-ibu memiliki peran penting dalam pemberian informasi yang akurat untuk anak-anaknya. Salah satunya adalah meningkatkan literasi keluarga sekaligus menjadi tembok penghalang hoaks dalam keluarga. "Anak-anak umumnya menanyakan satu dan hal lainnya kepada orang tua, termasuk ibu. Karenanya informasi terbaik itu harus dari orang tuanya," kata istri Gubernur Jawa Barat ini. (Tempo.co, 30/9/2019)

Apa Itu Hoaks?
Ahli Komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Profesor Muhammad Alwi Dahlan, menjelaskan bahwa hoaks merupakan kabar bohong yang sudah direncanakan oleh penyebarnya. “Hoaks merupakan manipulasi berita yang sengaja dilakukan dan bertujuan untuk memberikan pengakuan atau pemahaman yang salah,” ujar Alwi. Dia menjelaskan ada perbedaan antara hoaks atau berita bohong biasa karena hoaks direncanakan sebelumnya. “Berbeda antara hoaks dan berita karena orang salah kutip. Pada hoaks ada penyelewengan fakta sehingga menjadi menarik perhatian masyarakat.” Alwi menjelaskan bahwa hoaks sengaja disebarkan untuk mengarahkan orang ke arah yang tidak benar (Antaranews.com, 11 Januari 2017).

Islam memerintahkan untuk menjauhi kebohongan atau hoaks dan tidak menyebarkannya. Untuk itu, Islam mensyariatkan untuk melakukan tabayyun. "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (TQS al-Hujurat : 6).

Kata tabayyun bermakna klarifikasi. Itu menjadi kata kunci dalam menghadapi berita hoax. Imam ath-Thabari memaknai kata tabayyun dengan, “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya. Jangan terburu-buru menerimanya.” Syaikh al-Jazairi mengatakan, tabayyun berarti, “Telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat atau memvonis.”

Karena itu dalam berbicara dan bermedia sosial, hendaknya kita tidak gampang men-share apa saja yang diterima. "Cukuplah orang dinilai pendusta jika dia biasa menceritakan semua yang dia dengar" (HR Muslim).

Di era milenial dan serba digital ini, mudah sekali orang-orang membuat berita atau informasi hoaks. Hampir semua berita bisa dibubuhi informasi palsu. Mulai dari politik hingga kesehatan. Akibatnya banyak pihak, tua, muda, remaja bahkan anak-anak termakan berbagai informasi palsu atau bohong.

Sebagai orang tua, tentu kita tidak ingin melihat anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang mudah termakan berita palsu. Terlebih, menjadi generasi yang kurang cerdas, tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Untuk itu, perlu kesadaran bagi orang tua untuk “melatih anak berpikir kritis” sejak dini dan selalu melakukan tabayyun. Tidak hanya itu, mengajari anak berpikir kritis juga bisa mengembangkan sisi kognitifnya.

Mengapa harus diajarkan sejak dini? Karena anak-anak punya rasa ingin tahu yang jauh lebih besar dari orang dewasa. Membiasakan mereka berpikir kritis sejak dini akan membantu mereka untuk memahami sesuatu dengan lebih baik. Latihan berpikir kritis ini bukan hanya sekadar pendidikan iseng yang dilakukan oleh orang tua pada anak. Melainkan pendidikan jangka panjang, sebagai bekal kehidupan saat anak beranjak dewasa kelak.

Berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengevaluasi sesuatu secara sistematis atau kemampuan untuk menganalisa fakta yang ada dan membuat perbandingan. Dengan membuat perbandingan anak bisa menarik kesimpulan dan membuat solusi dari suatu masalah yang muncul dengan sudut pandang Islam.

Agen pendidikan pertama kali bagi anak-anak adalah orang tua mereka. Anak-anak usia 3 – 5 tahun menghabiskan 70% waktu mereka di rumah. Untuk itu, orang tualah yang bertanggung jawab untuk memberikan pondasi pendidikan di masa emas perkembangan mereka. Salah satu prinsip utama dalam membentuk anak untuk berpikir kritis adalah dengan pertanyaan. Beruntunglah orang tua yang memiliki anak-anak yang rajin bertanya. Itu berarti keinginan belajar mereka sangat kuat. Jangan mematahkan semangat mereka dengan menghentikan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Jika saja setiap orang tua memiliki kesadaran untuk melatih anak berpikir kritis, maka bukan impian lagi menjadikan Indonesia terbebas dari hoaxs lebih cepat. Negara kita ini membutuhkan generasi-generasi hebat, generasi cerdas, generasi yang tidak mudah termakan berita hoaks, serta generasi yang mampu menciptakan sesuatu. Generasi ini tercipta dari anak-anak usia dini yang dilatih untuk berpikir kritis. Wallahua'lam bishshawab[].

Post a Comment

Previous Post Next Post