Revisi UU KPK: Koruptor Berjaya, Rakyat Sengsara




Oleh: Silpianah
Member Akademi Menulis Kreatif


“The Duty of youth is to challenge corruption.” Begitulah bunyi quote dari seorang penyanyi dan penulis lagu dari grup band Nirvana, Kurt Cobain. Tugas kaum muda adalah melawan tindakan korupsi, quote tersebut sangat tepat dengan kondisi para mahasiswa saat ini yang tengah berjuang melawan kebijakan pemerintah yang justru pro terhadap para koruptor.

Keputusan DPR dan pemerintah untuk mempermudah bebas bersyarat bagi koruptor, tercermin dengan disepakatinya Revisi UU Pemasyarakatan. Seperti dilansir oleh CCN Indonesia pada Rabu (18/09/2019), Komisi Hukum DPR dan pemerintah sepakat membawa revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan ke Rapat paripurna dalam waktu dekat. Kesepakatan itu diambil dalam rapat yang digelar di Ruang Rapat Komisi III, Kompleks Parlemen, Jakarta pada Selasa (17/9) malam.

Revisi UU Pemasyarakatan ini dinilai mempermudah posisi dan membuat leluasa napi koruptor bahkan napi koruptor bisa berekreasi di mall. Kondisi tersebut bisa dilihat pada Pasal 9 huruf c yang mengatur hak narapidana untuk mendapatkan hak rekreasional.

Tak hanya UU Pemasyarakatan, DPR dan Pemerintah juga berencana mengesahkan Revisi UU KPK yang menimbulkan pro dan kontra.

Pemerintah dan DPR pada Selasa (17/9) lalu resmi mengesahkan perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Revisi UU KPK. (Tribunnews.com 21/09/2019).

Berdasarkan naskah Revisi Undang-undang KPK tersebut terlihat pasal-pasal yang dinilai dapat melemahkan KPK. Maka sangat wajar apabila banyak pihak yang menolak Pengesahan Revisi Undang-undang KPK tersebut diantaranya Lembaga KPK itu sendiri, publik dan kalangan akademisi. Bahkan kalangan mahasiswa kini turun ke jalan menolak kebijakan pemerintah dan DPR yang dinilai semakin kacau.

Jika lembaga KPK yang bertindak sebagai pemburu para koruptor dibatasi gerak langkahnya, maka bukan tidak mungkin koruptor akan semakin menjamur di negeri ini. Apalagi adanya keleluasaan yang didapat oleh para koruptor melalui Rvisi UU Pemasyarakatan.

Tanpa adanya peraturan legal terkait keleluasaan narapidana saja, hak rakyat dirampas dengan rakus oleh para koruptor apalagi difasilitasi dengan aturan resmi yang melonggarkan para napi. Para napi koruptor bukannya jera atas kesalahan dan  hukuman yang diterimanya namun justru merasa nyaman dan biasa saja. Bahkan tanpa rasa malu menampakan batang hidungnya ke layar kaca dan  berpose sumringah di depan kamera.

Pemerintah dan DPR terkesan memelihara dan melindungi para koruptor dengan adanya Revisi UU KPK dan Revisi UU Pemasyarakatan. Hukum negeri ini sangat tumpul ke atas namun justru tajam ke bawah. Koruptor semakin berjaya dan leluasa menikmati uang hasil rampok, sementara rakyat semakin sengsara karena kebijakan-kebijkan pemerintah yang zalim. Biaya hidup tinggi, harga-harga bahan pokok melonjak, mahalnya biaya kesehatan dan biaya pendidikan, serta beban pajak yang semakin hari semakin mencekik leher rakyat.

Kacaunya pemerintah dalam menangani koruptor atau pun dalam mengurus rakyat saat ini menjadi bukti bobroknya sistem pemerintahan yang dianut negeri ini. Demokrasi-kapitalisme, sistem atau aturan buatan manusia yang memisahkan agama dan kehidupan. Padahal manusia lemah dan punya keterbatasan, bagaimana bisa membuat aturan untuk mengatur kehidupan. Sementara ada aturan yang lebih sempurna dan lebih baik yaitu aturan dari Sang Pencipta.

Demokrasi merupakan sistem yang merusak yang melahirkan para pejabat publik menjadi koruptor yang merampas hak-hak rakyat dan merugikan negara. Melalui kesepakatan DPR dan Pemerintah dalam pembentukan Revisi UU yang melonggarkan gerak-gerik para koruptor membuktikan betapa bobroknya demokrasi.

Demokrasi berulang kali membuat rakyat tertipu oleh janji manis para elit politik dalam pemilu. Rakyat selalu menjadi korban atas kebijakan dalam sistem demokrasi yang tidak logis. Tentu akan jauh berbeda ketika sistem Islam yang menjadi panutan dalam mengurus negara dan masyarakat, termasuk dalam hal mengurus kasus korupsi.

Dalam Islam, tindakan korupsi telah diatur dengan jelas di dalam Alqur`an bahwa tindakan korupsi tersebut merupakan bentuk pengkhianatan. Tertulis dalam surat al-Anfal ayat 27, bahwa Islam mengharamkan dan mengutuk perbuatan korupsi atau pengkhianatan.

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.”


Islam mempunyai solusi dalam mencegah korupsi atau pengkhianatan yang dilakukan oleh pejabat negara, yaitu melalui 3 pilar penegakan hukum.

Pertama, ketakwaan individu. Ketakwaan individu yang terikat dengan hukum syara, mewajibkan setiap muslim mengikuti dan menjalankan hukum-hukum Allah ta'ala secara sempurna tanpa tebang pilih. Dengan begitu generasi bertakwa tetap terjaga sehingga sangat tidak mungkin terjadi kejahatan dalam kepengurusan negara dan masyarakat. Sebab para pejabat negara meyakini bahwa setiap tindakan dan kebijakan yang diambil akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Kedua, adanya kontrol masyarakat. Masyarakat khususnya kaum muslimin wajib beramar ma'ruf nahi mungkar. Dalam kasus korupsi masyarakat berperan sebagai pengawas yang mengontrol para pejabat negara. Masyarakat wajib mengingatkan pemimpin apabila terjadi kekeliruan dalam pengambilan kebijakan.

Sabda Rasulullah sholallohu ‘alaihi wasallam: Dari Abu Sa’id Al Khudri ra, ia berkata saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka ubahlah kemungkaran tersebut dengan tangannya jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).

Ketiga, negara menerapkan seluruh hukum Islam. Apabila negara menjalankan hukum-hukum Allah secara totalitas, peluang adanya korupsi sangat sedikit sebab dalam sistem politik Islam tidak membutuhkan biaya besar layaknya demokrasi. Selain itu para pejabat negara juga merasa takut akan dosa apabila melakukan tindak pidana korupsi. Justru pejabat negara sangat fokus dalam meri'ayah rakyat, menjamin kebutuhan pokok dan menjamin kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.

Selain itu dalam Islam, negara akan memberikan sanksi yang berat dan tegas bagi pejabat negara yang korup. Dengan begitu negara akan terbebas dari tindakan korupsi yang merugikan masyarakat dan negara. Alhasil rakyat bisa hidup dengan sejahtera karena hak-haknya terpenuhi. Wallahu a'lam bishshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post